Libur seminggu penuh! Bagi karyawan mana pun, ini terdengar seperti mimpi yang jadi kenyataan. Sebuah hadiah dari perusahaan atas kerja keras mereka. Tapi jangan bayangkan para jenius di balik ChatGPT sedang bersantai di pantai atau mendaki gunung dengan tenang. Karena bagi OpenAI, libur sepekan ini bukanlah sebuah liburan. Ini adalah gencatan senjata di tengah perang brutal yang sedang mereka hadapi.
Ini adalah momen untuk mengatur napas, menyusun strategi, dan menahan gempuran dahsyat dari musuh yang datang dengan kekuatan penuh. Musuh itu bernama Meta.
Libur sepekan OpenAI adalah respons panik atas pembajakan peneliti oleh Meta. Ini adalah perang talenta AI yang brutal dengan tawaran uang fantastis. - Tiyarman Gulo
Alarm Darurat di Markas ChatGPT
Di balik dinding kaca markas besar OpenAI, alarm darurat berbunyi nyaring, meski tak terdengar. Pemicunya? Eksodus para talenta terbaik mereka. Dalam sepekan terakhir, sedikitnya delapan peneliti senior, otak-otak brilian yang menjadi tulang punggung riset, telah mengemasi barang mereka. Tujuannya, bergabung dengan "tim superintelligence" milik Meta, unit baru yang dibentuk Mark Zuckerberg untuk satu misi, menyalip OpenAI dan mendominasi dunia AI.
Eksodus ini bukan tanpa sebab. Tekanan di OpenAI dilaporkan sudah di level tidak manusiawi, dengan beban kerja mencapai 80 jam per pekan. Kelelahan dan burnout membuat para peneliti ini menjadi target empuk. Dan Meta tahu persis kapan harus menyerang.
"Seseorang Masuk ke Rumah Kita dan Mencuri Sesuatu"
Rasa sakit akibat "pembajakan" ini terasa begitu dalam hingga ke level pimpinan tertinggi. Dalam sebuah memo internal yang bocor ke publik, Chief Research Officer OpenAI, Mark Chen, tidak bisa lagi menyembunyikan amarah dan rasa dikhianatinya.
"Saya merasa sangat dalam sekarang, seolah-olah seseorang masuk ke rumah kita dan mencuri sesuatu," tulis Chen.Â
Kalimat ini bukan sekadar retorika korporat. Ini adalah teriakan pilu seorang komandan yang melihat pasukan elite-nya direbut di depan matanya.
"Percayalah, kami tidak tinggal diam," lanjutnya, menjanjikan sebuah respons strategis. Ia dan CEO Sam Altman disebut sedang bekerja tanpa henti, bukan untuk mengembangkan produk baru, melainkan untuk mempertahankan tim mereka agar tidak rontok.
Senjata Pamungkas Meta
Bagaimana cara Meta membujuk para jenius ini? Jawabannya sederhana dan brutal, uang. Uang dalam jumlah yang bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap.
Sam Altman sendiri yang mengungkap senjata paling mematikan dari Meta. Dalam sebuah podcast, ia menyebut bahwa Meta berani menawarkan bonus penandatanganan dan total kompensasi tahun pertama yang nilainya mencapai 100 juta dolar AS (sekitar Rp 1,6 triliun). Sebuah angka yang begitu fantastis, hingga terdengar seperti fiksi.
Meski pihak Meta membantah, sumber-sumber internal di OpenAI membenarkan adanya tawaran-tawaran dengan nilai luar biasa ini. Inilah dilema yang dihadapi para peneliti itu, bertahan demi loyalitas pada misi OpenAI, atau pindah dan menjadi miliarder dalam semalam?