Baru-baru ini, sebuah berita senilai Rp 1 triliun mengguncang pasar. Grup Djarum, nama yang selama puluhan tahun identik dengan aroma khas cengkeh dan tembakau, memutuskan untuk membeli saham dalam jumlah besar di jaringan Rumah Sakit Hermina. Sontak, banyak orang bertanya-tanya. Bagaimana bisa, sebuah raksasa yang bisnis intinya adalah "asap", kini justru berinvestasi di pusat kesehatan dan penyembuhan?
Jawabannya tidak sesederhana "diversifikasi bisnis". Jawaban itu tersembunyi dalam sebuah perjalanan panjang selama lebih dari 70 tahun. Sebuah kisah tentang tiga generasi, yang mengubah sebuah usaha rumahan sederhana menjadi gurita bisnis raksasa yang tentakelnya kini menggenggam erat hampir setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Untuk memahaminya, kita harus kembali ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah, pada tahun 1951.
Berawal dari rokok kretek, Grup Djarum bertransformasi menjadi gurita bisnis 3 generasi. Kini, mereka ekspansi ke kesehatan via RS Hermina. - Tiyarman Gulo
Sang Perintis yang Melantai Bersama Karyawan
Kisah ini dimulai dari seorang pria bernama Oei Wie Gwan. Ia bukanlah seorang konglomerat sejak lahir. Pada tahun 1951, dengan visi yang tajam, ia membeli sebuah usaha kretek kecil-kecilan di Kudus. Selama setahun, ia membenahi segalanya, mengubahnya menjadi sebuah perusahaan resmi bernama PT Djarum, dengan sepuluh orang karyawan pertama.
Yang membuat Oei Wie Gwan berbeda adalah filosofinya. Ia bukan tipe bos yang hanya duduk di menara gading. Legenda mengatakan, ia ikut turun, duduk di lantai bersama para karyawannya, turut melinting kretek. Ia bukan hanya menjaga kualitas produk dengan tangannya sendiri, tetapi juga membangun fondasi budaya kerja yang solid. Baginya, Djarum bukan sekadar pabrik, tapi sebuah warisan rasa.
Duet Maut Hartono Bersaudara dan Penaklukan Dunia
Pada tahun 1963, Oei Wie Gwan berpulang. Tongkat estafet bisnis ia wariskan kepada dua putranya, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono. Di tangan duo Hartono bersaudara inilah, Djarum yang sudah kokoh di tingkat lokal mulai bermetamorfosis menjadi pemain global.
Mereka adalah duet maut dengan kekompakan luar biasa. Mereka tidak hanya mempertahankan warisan sang ayah, tetapi juga berinovasi. Pada tahun 1972, mereka melakukan langkah berani dengan mulai mengekspor produk Djarum ke luar negeri. Puncaknya, pada tahun 1981, mereka meluncurkan Djarum Super, sebuah jenama (brand) yang kelak menjadi ikonik dan melegenda.
Strategi mereka berhasil. Dari Kudus, produk-produk Djarum menyebar ke lima benua. Australia, Eropa, Asia, Amerika, hingga Timur Tengah, semuanya berhasil mereka taklukkan. Mereka juga mulai berinovasi dengan rasa, melahirkan produk-produk baru seperti rokok menthol untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Di bawah kepemimpinan mereka, Djarum bukan lagi sekadar produsen kretek, melainkan sebuah korporasi multinasional.
Generasi Digital dan Lahirnya Sang Gurita
Setelah sukses besar di industri rokok, Djarum memasuki babak ketiganya. Kini, komando perluasan bisnis berada di tangan generasi ketiga, tiga sosok kunci yang merupakan putra dari Hartono bersaudara, Victor Rachmat Hartono, Martin Basuki Hartono, dan Armand Wahyudi Hartono.
Jika generasi pertama adalah sang perintis dan generasi kedua adalah sang ekspansionis, maka generasi ketiga adalah sang diversifikator. Mereka adalah arsitek di balik transformasi Djarum menjadi gurita bisnis yang kita kenal hari ini. Mereka membagi peran dengan sangat strategis.
Victor Hartono. Mengurus "jantung" perusahaan. Ia memegang operasional inti PT Djarum sekaligus menjadi Presiden Djarum Foundation, wajah filantropi dan tanggung jawab sosial grup.
Martin Hartono. Menjadi "otak" digital. Lewat posisinya sebagai CEO GDP Venture, ia memimpin serangan Djarum ke dunia teknologi dan startup, memastikan grup ini tidak ketinggalan zaman.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!