Strategi "bumi hangus" finansial yang dilancarkan Zuck mulai membuahkan hasil. Laporan dari Bloomberg menyebutkan bahwa Meta berhasil "membajak" salah satu peneliti utama dari Google DeepMind, Jack Rae, untuk bergabung dengan tim Superintelligence. Ini adalah sebuah kemenangan besar, seperti merebut jenderal kunci dari pasukan musuh.
Johan Schalkwyk, yang sebelumnya memimpin divisi machine learning di startup Sesame AI, juga dilaporkan telah bergabung. Manuver ini menunjukkan bahwa daya tarik uang tunai dalam jumlah masif memang nyata dan efektif. Meta sedang mengirimkan sinyal kuat: kami punya uang tak terbatas, dan kami tidak takut menggunakannya.
Saat Uang Ternyata Bukan Segalanya
Namun, di sinilah cerita menjadi semakin menarik. Ternyata, dalam perang perebutan otak ini, dompet tebal saja tidak cukup untuk menjamin kemenangan. Ada sebuah masalah besar yang menghantui Meta, banyak talenta AI mereka yang tidak betah.
Laporan dari perusahaan modal ventura SignalFire mengungkapkan sebuah data yang menampar. Pada tahun 2024, Meta kehilangan 4,3% dari talenta AI-nya yang pindah ke perusahaan lain. Angka ini dikenal sebagai attrition rate (tingkat karyawan yang pergi), dan Meta mencatatkan angka tertinggi kedua setelah Google (5,4%). Sederhananya, Meta seperti ember yang bocor. Mereka berhasil mengisi ember dengan talenta-talenta mahal, tapi banyak juga yang merembes keluar.
Lalu, ke mana para jenius ini pergi?
Banyak dari mereka memilih bergabung dengan kompetitor seperti OpenAI (pencipta ChatGPT) atau sebuah perusahaan yang menjadi kuda hitam dalam perlombaan ini, Anthropic.
Anthropic menjadi sorotan karena memiliki retention rate (tingkat karyawan yang bertahan) tertinggi di industri, mencapai 80%. Angka ini jauh melampaui Meta (64%) dan OpenAI (67%). Ini artinya, sekali seorang pakar AI bergabung dengan Anthropic, kemungkinan besar mereka akan "betah" dan tidak ingin pindah.
Mengapa? Ternyata, bagi para ilmuwan di level ini, ada hal lain yang sama pentingnya, atau bahkan lebih penting, dari sekadar gaji. Salah satunya adalah akses terhadap komputasi. Membangun AI canggih membutuhkan kekuatan komputasi supermasif dari ribuan GPU (kartu grafis) yang bekerja bersamaan. Beberapa kandidat dilaporkan menolak tawaran Meta karena merasa bisa mendapatkan akses ke "dapur komputasi" yang lebih canggih dan bebas di OpenAI atau Anthropic.
Ini seperti menawarkan gaji miliaran kepada seorang chef bintang lima, tapi hanya memberinya kompor listrik satu tungku. Ia mungkin akan lebih memilih gaji lebih kecil di restoran lain yang memberinya akses ke dapur paling canggih di dunia.
Pertaruhan Terbesar untuk Masa Depan Meta
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Mark Zuckerberg adalah sebuah pertaruhan raksasa. Ia tahu bahwa siapa pun yang memenangkan perlombaan AI akan mendominasi lanskap teknologi untuk dekade-dekade mendatang. Membangun "Superintelligence" adalah caranya untuk memastikan Meta tidak hanya bertahan, tapi juga memimpin revolusi ini.
Perang ini mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga. Di puncak piramida keahlian, nilai seorang manusia tidak lagi diukur dengan cara biasa. Ini adalah pertarungan di mana uang triliunan, budaya perusahaan yang suportif, visi yang menginspirasi, dan akses ke alat terbaik harus berpadu untuk bisa memenangkan loyalitas segelintir otak paling brilian di planet ini.
Masa depan sedang dinegosiasikan di ruang-ruang rapat pribadi, dengan tawaran-tawaran yang akan tercatat dalam sejarah. Dan kita semua hanyalah penonton dari perang paling senyap namun paling menentukan di zaman kita.