Berapa gaji impianmu? Rp 50 juta sebulan? Rp 100 juta? Mungkin Rp 500 juta sudah terasa seperti di puncak dunia. Sekarang, coba bayangkan seseorang mendekatimu, menatap matamu dengan serius, dan berkata, "Bagaimana kalau saya tawarkan kamu gaji Rp 13,5 miliar. Setiap bulan."
Bukan, ini bukan adegan film atau lotre. Ini adalah realitas baru yang sedang terjadi di Silicon Valley. Dan orang yang memegang "cek kosong" itu adalah Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook dan CEO Meta.
Selamat datang di arena pertarungan paling brutal dan paling mahal di abad ke-21, Perang Perebutan Talenta Kecerdasan Buatan (AI). Sebuah perang di mana amunisinya bukanlah peluru, melainkan penawaran gaji yang bisa membuat para sultan minder. Dan Zuck, tampaknya, siap menggelontorkan berapa pun untuk menang.
Mark Zuckerberg tawarkan gaji miliaran untuk memburu talenta AI langka. Namun, perang ini membuktikan uang bukan segalanya karena Meta sulit mempertahankan mereka. - Tiyarman Gulo
Misi Gila Zuck Membangun Tim "Avengers" Bernama Superintelligence
Di balik layar, Mark Zuckerberg sedang membangun sesuatu yang terdengar seperti nama tim pahlawan super di film Marvel, "Superintelligence". Ini bukan sekadar departemen riset biasa. Ini adalah tim elite berisi 50 orang jenius yang misinya adalah satu, membangun AI yang setara, atau bahkan melampaui, kecerdasan manusia.
Proses rekrutmennya pun bukan kaleng-kaleng. Zuck tidak mengandalkan HRD atau situs lowongan kerja. Dilaporkan, ia turun gunung langsung, mengundang para kandidat terpilih ke kediaman pribadinya di Lake Tahoe dan Palo Alto. Ia mendekati mereka secara personal, membujuk, dan menegosiasikan tawaran yang sulit ditolak.
Menurut Deedy Das, seorang staf di perusahaan modal ventura Menlo Ventures, penawaran yang disodorkan Zuck benar-benar di luar nalar. Gaji minimumnya saja mencapai 2 juta dolar AS per tahun, atau sekitar Rp 32,6 miliar!
Namun, tunggu dulu, itu baru pemanasan. "Zuck secara personal menegosiasikan 10 juta dolar AS (sekitar Rp 163,1 miliar) lebih per tahun dalam bentuk tunai," ungkap Das lewat akun LinkedIn-nya. "Saya belum pernah melihat penawaran seperti itu."
Jika kita hitung, angka itu setara dengan Rp 13,5 miliar per bulan. Sebuah angka yang cukup untuk membeli beberapa mobil mewah setiap kali gajian.
Mengapa Sebuah Otak Bisa Dihargai Semahal Itu?
Pertanyaan logisnya, mengapa? Mengapa satu orang bisa dihargai semahal itu? Jawabannya sederhana, kelangkaan ekstrem.
Menurut para pakar industri yang diwawancarai majalah Fortune, jumlah orang di seluruh dunia yang benar-benar memiliki kualifikasi untuk membangun model AI paling canggih saat ini diperkirakan kurang dari 1.000 orang. Ya, Anda tidak salah baca. Dari 8 miliar populasi manusia, hanya ada segelintir orang yang menjadi kunci untuk membuka gerbang masa depan teknologi.
Mereka ini seperti spesies panda di dunia teknologi, sangat langka, sangat berharga, dan semua "kebun binatang" raksasa (baca: perusahaan teknologi) berebut untuk memiliki mereka. Mereka bukan sekadar programmer; mereka adalah arsitek yang bisa merancang dan melatih "otak" digital raksasa yang kita kenal sebagai AI. Inilah yang membuat Meta, Google, OpenAI, dan semua pemain besar lainnya rela berperang habis-habisan.
Manuver Agresif
Strategi "bumi hangus" finansial yang dilancarkan Zuck mulai membuahkan hasil. Laporan dari Bloomberg menyebutkan bahwa Meta berhasil "membajak" salah satu peneliti utama dari Google DeepMind, Jack Rae, untuk bergabung dengan tim Superintelligence. Ini adalah sebuah kemenangan besar, seperti merebut jenderal kunci dari pasukan musuh.
Johan Schalkwyk, yang sebelumnya memimpin divisi machine learning di startup Sesame AI, juga dilaporkan telah bergabung. Manuver ini menunjukkan bahwa daya tarik uang tunai dalam jumlah masif memang nyata dan efektif. Meta sedang mengirimkan sinyal kuat: kami punya uang tak terbatas, dan kami tidak takut menggunakannya.
Saat Uang Ternyata Bukan Segalanya
Namun, di sinilah cerita menjadi semakin menarik. Ternyata, dalam perang perebutan otak ini, dompet tebal saja tidak cukup untuk menjamin kemenangan. Ada sebuah masalah besar yang menghantui Meta, banyak talenta AI mereka yang tidak betah.
Laporan dari perusahaan modal ventura SignalFire mengungkapkan sebuah data yang menampar. Pada tahun 2024, Meta kehilangan 4,3% dari talenta AI-nya yang pindah ke perusahaan lain. Angka ini dikenal sebagai attrition rate (tingkat karyawan yang pergi), dan Meta mencatatkan angka tertinggi kedua setelah Google (5,4%). Sederhananya, Meta seperti ember yang bocor. Mereka berhasil mengisi ember dengan talenta-talenta mahal, tapi banyak juga yang merembes keluar.
Lalu, ke mana para jenius ini pergi?
Banyak dari mereka memilih bergabung dengan kompetitor seperti OpenAI (pencipta ChatGPT) atau sebuah perusahaan yang menjadi kuda hitam dalam perlombaan ini, Anthropic.
Anthropic menjadi sorotan karena memiliki retention rate (tingkat karyawan yang bertahan) tertinggi di industri, mencapai 80%. Angka ini jauh melampaui Meta (64%) dan OpenAI (67%). Ini artinya, sekali seorang pakar AI bergabung dengan Anthropic, kemungkinan besar mereka akan "betah" dan tidak ingin pindah.
Mengapa? Ternyata, bagi para ilmuwan di level ini, ada hal lain yang sama pentingnya, atau bahkan lebih penting, dari sekadar gaji. Salah satunya adalah akses terhadap komputasi. Membangun AI canggih membutuhkan kekuatan komputasi supermasif dari ribuan GPU (kartu grafis) yang bekerja bersamaan. Beberapa kandidat dilaporkan menolak tawaran Meta karena merasa bisa mendapatkan akses ke "dapur komputasi" yang lebih canggih dan bebas di OpenAI atau Anthropic.
Ini seperti menawarkan gaji miliaran kepada seorang chef bintang lima, tapi hanya memberinya kompor listrik satu tungku. Ia mungkin akan lebih memilih gaji lebih kecil di restoran lain yang memberinya akses ke dapur paling canggih di dunia.
Pertaruhan Terbesar untuk Masa Depan Meta
Pada akhirnya, apa yang dilakukan Mark Zuckerberg adalah sebuah pertaruhan raksasa. Ia tahu bahwa siapa pun yang memenangkan perlombaan AI akan mendominasi lanskap teknologi untuk dekade-dekade mendatang. Membangun "Superintelligence" adalah caranya untuk memastikan Meta tidak hanya bertahan, tapi juga memimpin revolusi ini.
Perang ini mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga. Di puncak piramida keahlian, nilai seorang manusia tidak lagi diukur dengan cara biasa. Ini adalah pertarungan di mana uang triliunan, budaya perusahaan yang suportif, visi yang menginspirasi, dan akses ke alat terbaik harus berpadu untuk bisa memenangkan loyalitas segelintir otak paling brilian di planet ini.
Masa depan sedang dinegosiasikan di ruang-ruang rapat pribadi, dengan tawaran-tawaran yang akan tercatat dalam sejarah. Dan kita semua hanyalah penonton dari perang paling senyap namun paling menentukan di zaman kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI