Apalagi misalnya Cina yang boleh dikatakan kompetitor Amerika. Tak heran, itulah kenapa pemerintah Cina tetap mempertahankan "prestasinya" sebagai penyumbang polusi terbesar di dunia. Ada egoisme pada masing-masing negara.
Melihat itu semua, bocah itu berkesimpulan bahwa sains tak berkutik di hadapan lobi politik dan industri yang tamak. Meskipun menyoal rumah tempat tinggal umat manusia. Begitu juga, banjir Jakarta.
Selain itu, bocah itu lagi-lagi tak bisa naif. Ia menggelengkan kepala, lalu berujar, "Tak bisa... ini sulit... terlalu sulit" saat kampanye akan dunia yang lebih hijau kian massive, tetapi secara sadar, kita pun menikmati sangat misalnya deretan mal baru itu, yang menawarkan tempat nyaman nan trendi untuk nongkrong, sembari memesan kopi hangat + ditemani Free WiFi.
Lantas, masihkah bocah itu bisa berharap? Toh, pertemuan para pemimpin dunia di Perancis, juga para pemuka agama di Kopenhagen itu tak memuat sanksi, masih sebatas seruan. Pakta itu hanya sebuah komitmen bersama tanpa ikatan. Dan sayangnya, sang bocah justru jadi pesimis: biarkan saja Jakarta terendam, atau biarkan saja negara kepulauan di Pasifik itu lenyap ditelan air laut, kendati ia hanya menyumbang 0,06%, sedang 5,82 miliar ton per tahun dari seluruh emisi karbon dioksida di dunia sebanyak 47,59 miliar ton, jelas-jelas diproduksi dengan bangga oleh Amerika yang tak kan tenggelam oleh air laut yang naik itu (World Resource Institute, 2015). "Adilkah?" gusar sang bocah pada dirinya sendiri.
"Cukup sudah," jelas bocah itu. Selembar kertas itu telah selesai dan jadi. Nampaknya, meski telah dewasa dan menetap di Jakarta, ia tak lupa 15 lipatan yang membentuk speadboat kertas itu. Tapi, tak ada banjir yang tingginya separuh dari betisnya. Di sini, banjir ialah momok menakutkan --bukan sesuatu yang diharapkan datang, seperti saat ia kecil dulu di kampung halamannya.
Maret 2017
(Tulisan ini sebelumnya dimuat di laman blog penulis tiyangewah.tumblr.com)