Mohon tunggu...
Sofah D. Aristiawan
Sofah D. Aristiawan Mohon Tunggu... Penulis - Sofah D. Aristiawan

Pengagum Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Percakapan Seorang Bocah tentang Perahu Kertas, Banjir Jakarta, dan Film Before The Flood (2016)

16 Agustus 2018   16:12 Diperbarui: 16 Agustus 2018   16:44 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selain dari pembuktian bahwa perubahan iklim pasti pelan-pelan akan mengancam kelangsungan hidup manusia lewat fenomena yang direkam + perhitungan sains yang akurat, sinema dengan penonton terbanyak mencapai angka 30 juta itu mengindikasikan apa yang prioritas untuk dibenahi dengan segera bersama-sama.

Sebuah kecemasan yang menular cepat --kendati, bukanlah isu yang sama sekali baru. Ia jadi universal, tak peduli dari negara atau bangsa atau agama mana. Pokoknya, siapa saja yang tinggal di planet bumi tentu resah.

Maka, yang paling diingat, tentu Konferensi Perubahan Iklim (COP 21) PBB di Paris, Perancis tahun 2015 + Deklarasi Antar Agama (kesepakatan para pemimpin Kristianitas, Islam, Hinduisme, Buddhisme, Sikhisme) soal perubahan iklim tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark yang berkomitmen bahwa bumi kita cuma satu, ia satu-satunya. Kini, kian rusak oleh polusi dan kerakusan. Mari hentikan!

"Tunggu", ujar bocah itu. Tampaknya, ia tak seoptimis itu saat mendengar kata kerakusan itu. Ia lagi-lagi tak bisa naif. Sebab, dalam film berjudul Before The Flood itu dipertontonkan bagaimana untuk menyelamatkan bumi yang bulat ini ternyata tak bisa tanpa pertikaian.

Barangkali, keuntungan dari memperkosa bumi yang demikian besarnya, jadikan isu rusaknya lingkungan itu susah untuk diprioritaskan. Bahkan masih banyak para politikus menyangsikan ancamannya.

Di Florida, para pejabat resmi dilarang menggunakan kata perubahan iklim sejak tahun 2011. Michael E. Mann, klimatolog dari Universitas Pennsylvania, Amerika yang menerbitkan grafik soal suhu udara bumi yang kian naik, dituduh sebagai penipu statistik oleh Wall Street Journal, juga Fox News.

Tak selesai di situ, ia pun dicerca oleh anggota kongres, sampai-sampai FBI (Biro Investigasi Federal Amerika) mesti memastikan kelangsungan hidupnya saat ancaman kematian padanya itu nyata.

Agaknya, kita tak begitu kaget, di negeri yang punya andil besar membuat lapisan ozon berlubang itu demikian pelik untuk sekadar menyepakati bahwa laut ini, yang bukan milik Partai Republik atau Partai Demokrat, senantiasa volumenya terus naik. Sebab, ada industri raksasa yang terusik, yang paling penting, ada gaya hidup dan konsumsi yang sangat bergantung pada energi yang murah, kendati merusak.

Dan ini kian pelik, ketika isu ini dibahas dalam forum-forum internasional. Saling kecam pun terjadi. Termasuk kritik Sunita Narain (aktivis India yang rutin mengampanyekan green concept ofsustainable development) atas seruan Amerika untuk tak abai pada lingkungan hidup, di mana haruslah ada dalam masterplan pembangunan tiap negara.

Agaknya, Amerika harus melihat diri, ia sang antagonis bagi bumi yang rusak. Narain menunjukkan grafiknya: konsumsi energi listrik oleh seorang Amerika setara dengan 1,5 warga Perancis; 2,2 warga Jepang; 10 warga Cina; 34 warga India; 61 warga Nigeria. Itu barulah listrik, bagaimana dengan sektor industri dan lainnya yang seakan tak bisa lepas dari energi fosil? Yang pasti, kita akan tercengang...

Nampaknya, tak salah, menurut Narain, jika India sebagai negara berkembang (yang tentu masih banyaknya warga miskin) tak sudi mendengar titah Amerika untuk beralih pada energi yang ramah lingkungan. Alasannya cukup kuat: perlu ongkos yang tak sedikit. Sambil iseng berceloteh, "Kenapa bukan anda saja? Anda itu negeri maju yang kaya raya, mulailah dari diri anda!" India bersikap demikian. Itu barulah India.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun