Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengajak Menikah, Sama Saja Mengajak Pergi Berperang

28 Februari 2020   16:55 Diperbarui: 28 Februari 2020   16:52 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebuah ruang keluarga kelas menengah, di mana suami dan istri masing-masing memiliki karir di luar rumah, telepon genggam sang istri berdering.   Kebetulan sang istri sedang berada di kamar dan membiarkan handphone miliknya tergeletak di meja, sementara sang suami sibuk menyelesaikan pekerjaannya tak jauh dari meja tersebut. 

Sekilas terbaca oleh si suami di layar ponsel sebaris nama seorang pria, yang tak dikenal oleh sang suami secara fisik, karena di samping belum pernah bertemu sang suami juga tak tahu siapa saja nama-nama yang tercantum dalam kontak di ponsel istrinya.  Begitu sang istri kembali dari kamar, dan melanjutkan urusannya di ruang keluarga sang suami memberitahu, bahwa tadi ada telpon masuk.  Sang istri melihat HP, dan menelpon balik sambil berjalan lagi ke luar dari area yang pembicaraan telponnya dengan sang pria berpotensi terdengar oleh suami. 

Demikianlah mereka melakukan aktivitas, pada suatu malam setelah seharian beraktivitas di luar rumah.  Sang suami tak mau ikut campur dengan urusan sang istri, demikian juga sang istri tidak mau terlibat terlalu jauh terhadap urusan suami.  Jangankan melihat nomor kontak, membuka HP sang istripun suami tak pernah.  Demikian juga sebaliknya.  Mereka berdua sepakat untuk menjaga privasi dan rahasia masing-masing, demikian juga terhadap kedua anak gadisnya yang kini beranjak dewasa. 

Demikianlah mereka menjalani mahligai rumah tangga sejak dua puluh dua tahun lalu.  Bayangkan jika suami terlalu punya rasa ingin tahu, dan sang istri harus jujur.  Lalu suami bertanya telpon tersebut dari mana, dan dengan jujur sang istri menjawab, "Dari bekas pacar di kampung dulu Yah...ngajak ketemuan besok.".  Hanya setan yang tahu apa yang akan terjadi kemudian pada malam tersebut.

Bagi individu-individu di keluarga tersebut, ada beberapa hal yang harus dirahasiakan dan menjadi privasi masing-masing.  Kehidupan keluarga dijalani dengan rasa saling percaya, yang sangat tinggi.  Sang istri tak perlu minta izin kepada sang suami untuk melakukan kegiatan apapun baik di dalam, maupun di luar rumah.  Cukup dengan memberitahu, kemudian si suami akan mengizinkan.

Jika hal yang dilakukan akan menimbulkan akibat yang merugikan di kemudian hari, maka sang suami akan menjelaskan akibatnya.  Namun jika sang istri tetap akan nekad mengerjakan keinginannya tersebut, suami setengah aneh tersebut akan mendukung dan siap ikut menanggung apapun risikonya.  Namun berkebalikan untuk apa yang dilakukan suami, harus mendapat izin dari sang istri, karena menurut kesepakatan mereka, tak adil jika istri dan anak harus menanggung akibat perbuatan yang dilakukan suami, sementara si istri sudah tidak memberi izin.

Demikian juga jika para anak minta izin, maka sang suami selalu mengiyakan sepanjang sang istri juga setuju.  Namun jika si istri menolak, maka anak dihadapkan kepada dua pilihan, membatalkan rencananya atau tetap mengerjakan apa yang diidamkan, dengan catatan bunda tidak merestui.  Suami seperti biasa, akan mendukung penuh dengan segala akibatnya.  Mereka beranggapan, seorang suami dan ayah adalah pahlawan yang bertanggung jawab penuh dan siap melakukan apapun, sepanjang hal tersebut diinginkan oleh para anggota keluarga lainnya.

Kendatipun demikian, selain masalah privasi yang terlihat sangat kaku, kehidupan keluarga tersebut lumayan harmonis.  Kedekatan sang ayah dengan kedua putrinya melebihi kedekatan antara ayah dan anak yang terjadi di keluarga pada umumnya.  Bayangkan saja, dari sejak anak pertama berusia tiga bulan, sang ayah sudah membacakan cerita (sang ayah memang gila cerita hingga kini) sebelum tidur hingga anak pertama kelas 2 SMA, itupun terhenti karena sang adik yang berusia dua tahun di bawahnya suatu hari, entah dengan alasan apa, membuka aib kakaknya di depan teman sekolahnya yang sedang bertandang ke rumah. 

"Kakak kalau malam suka minta dongeng sambil di pok pok (pukul-pukul dengan lembut) bokongnya sampai ketiduran.", comel sang adik kepada teman-teman kakaknya yang kontan tertawa riuh rendah.  Sang kakak murka bukan buatan, dan sejak itu tradisi dongeng di keluarga bahagia tersebut terhenti, di usia SMA kelas dua bagi sang kakak, dan kelas tiga SMP bagi sang adik.  Sang ayah melanjutkan dongengnya di depan para mahasiswa malam yang diajarnya, sambil sekali dua menulis di media digital.

Pertengkaran yang terjadi, sehebat apapun antara suami dan istri tersebut, tak akan mereka lakukan di hadapan kedua anaknya.

Ada kalanya ayah dan bundanya sedang berselisih paham, bahkan untuk persoalan yang kadang sangat besar, namun kedua anaknya tak pernah tahu.  Bahkan minimal sebulan dua kali mereka masih tidur berempat di ruang tidur ayah dan bundanya, dan untuk ayah dan bundanya separah apapun mereka bertengkar tak pernah pisah kamar.  Tetap tidur berdua, kendatipun di tempat tidur mereka hanya berdiam diri.  Kadang bisa sampai dua mingguan, bahkan tiga bulan lalu nyaris sebulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun