Mohon tunggu...
Tito Mahmudi
Tito Mahmudi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa PKN STAN

Mahasiswa PKN STAN

Selanjutnya

Tutup

Financial

Seberapa Bahayakah Utang Indonesia?

19 Januari 2020   10:10 Diperbarui: 19 Januari 2020   10:13 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Utang pemerintah Indonesia yang meningkat menjadi salah satu topik yang hangat di Indonesia saat ini. Utang pemerintah pada akhir tahun 2019 mencapai Rp 4.778 triliun sesuai catatan Kementrian Keuangan (Kemenkeu). 

Nilai tersebut meningkat sebesar 8,14% dari utang tahun sebelumnya yang bernilai Rp 4.418,3 triliun. Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa jika kenaikan utang terjadi secara terus-menerus, kemungkinan Indonesia akan bangkrut pada tahun 2030. 

Apakah pernyataan tersebut masuk akal, atau terlalu pesimistis? Selama masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertamanya dari tahun 2014 hingga tahun 2018, utang pemerintah Indonesia meningkat sebanyak 48%. 

Peningkatan ini cukup substansial dibanding periode sebelumnya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dari 2009-2013, nilai utang meningkat sebesar 26%.

Kementrian Keuangan menyampaikan bahwa utang pemerintah meningkat karena pemerintah sedang mengintensifkan pembangunan infrastruktur. 

Pengeluaran negara dalam pembangunan infrastruktur ini digunakan untuk hal-hal yang produktif yang akan mempermudah investasi, menciptakan sumber daya manusia yang unggul, dan jaringan komunikasi yang kuat. Manfaat dari pengembangan ini dapat dilihat dalam beberapa tahun ke depan. 

Pengeluaran telah disalurkan ke proyek-proyek skala besar secara besar-besaran, seperti bandara, pelabuhan, jalan tol, dan lain-lain. Pemerintah juga memprioritaskan pengeluaran pada 2 sektor utama ekonomi lainnya yaitu kesehatan dan pendidikan. 

Sesuai amanat dari konstitusi, pemerintah mengalokasikan 20% dari anggaran tahunan untuk sektor pendidikan. Dalam sektor kesehatan, pemerintah telah meningkatkan pengeluaran untuk meningkatkan sistem perawatan kesehatan. 

Pada tahun 2019, pemerintah telah mencakup sebagian besar masyarakat Indonesia dalam program perawatan kesehatan. Pengeluaran-pengeluaran tersebut dalam jangka panjang yang berkelanjutan akan meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia.

Pengeluaran-pengeluaran yang membutuhkan biaya besar tersebut tentu akan memperbesar defisit, dan solusi utama dari pembiayaan defisit adalah utang. 

Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa masyarakat Indonesia seharusnya tidak hanya melihat utang dari sisi nilainya yang besar, namun juga tujuan dari utang tersebut. Utang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi. Utang juga berperan penting dalam mengurangi kemiskinan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. 

Sri Mulyani juga mengatakan bahwa utang Indoneisa masih dalam batas yang aman dan bukan masalah ekonomi yang mengancam. Mantan menteri keuangan, Muhammad Chatib Basri, melihat utang Indonesia bukan sebagai hal yang mengkhawatirkan, namun hanya masih kurang dimanfaatkan. 

Penyebab isu tentang utang bisa begitu populer di Indonesia dan bahkan bisa lebih populer dibandingkan isu tentang pertumbuhan ekonomi yaitu karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum paham tentang apa itu pertumbuhan ekonomi.

Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga memilih untuk mengurangi pinjaman luar negeri dalam memperoleh utang sebagai strategi dalam mengurangi resiko melemahnya nilai tukar rupiah. Strategi ini dicerminkan oleh meningkatnya penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) oleh pemerintah kepada masyarakat. 

Dengan lebih memilih memperoleh utang melalui surat berharga dan pinjaman dalam negeri dibanding pinjaman luar negeri, pemerintah Indonesia akan lebih fleksibel dalam menggunakan utangnya karena pinjaman luar negeri seringkali disertai  syarat-syarat tertentu yang akan membatasi penggunaan utang tersebut. Namun, penerbitan surat berharga juga memiliki sisi negatif. Surat berharga di Indonesia memiliki tingkat bunga yang tertinggi di Asia. 

Dengan tingkat bunga yang tinggi, jika pemerintah Indonesia terlalu banyak menerbitkan surat berharga, maka beban pembayaran di masa depan akan meningkat, dan dikhawatirkan akan mengurangi belanja sosial di masa yang akan datang. Tapi, dengan PDB Indonesia yang dapat dikatakan masih tinggi, peningkatan beban pembayaran di masa depan tersebut bukan masalah yang mengkhawatirkan karena pemerintah diperkirakan mampu membiayainya.

Pada akhir 2019, rasio (perbandingan) antara utang dan PDB Indonesia adalah  29,8%. Rasio tersebut masih dalam kategori aman. Tingkat rasio yang dalam kategori aman ini merupakan hasil dari kebijakan fiskal yang ditetapkan secara berhati-hati oleh pemerintah Indonesia. Setelah krisis keuangan Asia terjadi, pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang yang menetapkan bahwa (1) Defisit anggaran pemerintah tidak boleh melebihi 3% dari PDB, dan (2) Rasio antara utang negara dan PDB tidak boleh melebihi 60%. 

Pada tahun 1999 setelah krisis keuangan Asia, rasio (perbandingan) utang terhadap PDB Indonesia mencapai 108%. International Monetary Fund (IMF) mengatakan bahwa dengan rasio antara utang dan PDB yang aman, ruang untuk pertumbuhan pendapatan pajak di Indonesia akan berkembang. Dibandingkan negara lain, rasio antara utang dan PDB di Indonesia relatif rendah dan masih bisa dikelola. 

Negara lain seperti Singapura dan Amerika Serikat memiliki rasio antara utang dan PDB yang melebihi 100%. Bahkan Jepang, rasio antara utang terhadap PDB-nya mencapai 253%. Meskipun begitu, World Bank (Bank Dunia) memperingati risiko rollover utang di Indonesia. 

Peningkatan aliran modal yang keluar dapat membuat Indonesia kesulitan membiayai kembali utang luar negerinya. World Bank juga merubah proyeksinya atas perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu, walaupun rasio utang Indonesia terhadap PDB masih tergolong aman, utang pemerintah Indonesia tetap harus dikelola dengan hati-hati dan dimanajemen dengan baik. Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengatakan bahwa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi peningkatan utang pemerintah adalah dengan memaksimalkan penerimaan pajak. 

Dibandingkan negara-negara lain, rasio antara pajak dan PDB Indonesia dapat dibilang rendah. Cara lain yang dapat diambil untuk mengurangi peningkatan utang yaitu dengan meningkatkan jummlah proyek yang menggunakan skema kemitraan dengan pihak-pihak swasta sehingga pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak dana untuk membangun infrastruktur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun