Mohon tunggu...
Tito Adam
Tito Adam Mohon Tunggu... Jurnalis - Social Media Specialist | Penulis | Fotografer | Editor Video | Copy Writer | Content Writer | Former Journalist

Senang untuk belajar dan belajar untuk senang | Instagram @titoadamp | Email titoadamp@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hitobashira Urban Legend Jepang Kubur Manusia Hidup sebagai Pondasi Bangunan, Bagaimana di Indonesia?

24 Agustus 2021   11:10 Diperbarui: 24 Agustus 2021   11:30 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hitobashira, manusia dikubur hidup-hidup. Sumber :   Yokai

Masing-masing wilayah pasti punya cerita urban legend sendiri yang ramai diobrolin oleh kebanyakan orang-orang. Salah satu cerita urban legend yang terkenal ini datangnya dari negeri yang cukup dekat secara emosional dengan kita, yaitu negara Jepang.

Di Jepang, ada sebuah urban legend yang menyeramkan sekaligus mengerikan dan cukup terkenal, bernama Hitobashira. Jika diterjemahkan, Hitobashira memiliki arti pilar manusia.

Legenda ini cukup mengerikan karena untuk membangun bangunan penting, mereka harus mengubur manusia hidup-hidup sebagai "tumbal" pondasi agar bangunan tersebut kokoh dan kuat.

Dilansir dari laman Yokai, praktik Hitobashira ini praktik umum yang dilakukan selama proyek konstruksi besar dari zaman kuno hingga abad ke-16. Namun ada bukti bahwa hitobashira masih digunakan di beberapa proyek konstruksi selama abad ke-20.

Menurut kepercayaan daerah itu, diyakini jika pengorbanan jiwa manusia akan menenangkan roh-roh alam di suatu daerah. Terutama roh sungai di daerah yang sering terjadi banjir. 

Mereka juga digunakan untuk melindungi kastil dari serangan, kebakaran, dan bencana lainnya baik buatan manusia maupun alam. Ini mengingat di masa itu, perebutan wilayah masih berlangsung, sama seperti kerajaan-kerajaan di Indonesia jaman dahulu.

Ada beberapa kastil terkenal di Jepang yang disangkut pautkan dengan legenda hitobashira. Contohnya, Kastil Maruoka di Prefektur Fukui (Provinsi Echizen lama), salah satu kastil tertua yang masih ada di Jepang, konon berisi hitobashira di pilar tengah benteng.

Ceritanya, saat Kastil Maruoka sedang dibangun, temboknya terus runtuh tidak peduli berapa kali diperbaiki. Diputuskan bahwa seseorang harus dikorbankan dan dijadikan hitobashira untuk meningkatkan stabilitas kastil. 

Seorang wanita miskin bermata satu bernama Oshizu dipilih untuk kehormatan menjadi hitobashira. Sebagai hadiah atas pengorbanannya, dia dijanjikan bahwa putranya akan diangkat menjadi samurai. 

Setelah dia dikorbankan, kastil itu selesai dibangun. Namun, sebelum putranya menjadi samurai, penguasa kastil dipindahkan ke provinsi lain, dan janji itu tidak ditepati.

Setiap tahun setelah itu, luapan air hujan selalu datang dengan deras dari parit kastil ketika hujan musim semi datang. Orang-orang Maruoka menyalahkan ini atas pembalasan Oshizu, dan menyebut hujan ini “air mata kesedihan Oshizu.” 

Setelah itu, sebuah monumen didirikan untuk Oshizu di dalam halaman kastil untuk menenangkan jiwanya.

Tidak hanya itu saja, dilansir dari laman Japanese Station, salah satu kastil lainnya yang bernama kastil Matsue berlokasi prefektur Shimane yang dibangun pada abad ke-17. 

Menurut legenda setempat, selama masa pembangunan, dinding batu dari menara tengah kerap ambruk dalam berbagai peristiwa. Saat diyakinkan jika pilar manusia akan menstabilkan struktur, para pembangun memutuskan untuk mencari orang yang cocok pada festival Bon di daerah tersebut. 

Dari keramaian, mereka memilih wanita muda cantik yang tengah mendemonstrasikan kemampuan menari Bon yang luar biasa. Setelah menculiknya dari festival dan menyegelnya di dinding, para pembangun dapat menyelesaikan kastil tanpa ada kecelakaan.

Namun, jiwa sang gadis yang tak tenang akhirnya menghantui kastil setelah selesai dibangun. Menurut seorang pendongeng cerita rakyat, Lafcadio Hearn, mendeskripsikan kutukan dalam kastil tersebut dalam karyanya yang berjudul "Glimpses of Unfamiliar Japan" tahun 1894.

Katanya, seluruh struktur bangunan akan bergoyang setiap kali seorang gadis menari di jalanan Matsue, jadi sebuah hukum pun dikeluarkan untuk melarang tari-tarian umum.

Walaupun tak ada bukti nyata yang mengindikasikan jika pilar manusia itu betul-betul dipraktekkan di Jepang, telah diduga jika beberapa pekerja mungkin saja, secara sengaja, telah disingkirkan paska bekerja di kastil dengan alasan keamanan. 

Dengan melakukan hal tersebut, dipercaya akan mencegah bocornya informasi tentang rahasia dan kelemahan sebuah kastil yang mungkin akan jatuh ke tangan musuh.

Dari cerita-cerita urban legend di atas, mungkin hal ini menyebabkan cerita urban legend "sama" juga beredar di Indonesia namun dikemas dengan cerita yang berbeda. Biasanya orang Indonesia lebih mengenal "tumbal proyek".

Dilansir dari akun twitter Kisah Tanah Jawa, kisah "tumbal proyek" ini terjadi pada tahun 1914-1915 saat Perusahaan Kereta Api Negara (Staatsspoorwegen) membangun jalur kereta api antara Cirebon - Kroya.

Dibangunnya jalur baru itu bertujuan untuk mempersingkat perjalanan kereta api dari jalur selatan menuju kota Batavia (Jakarta) sebagai pusat pemerintahan kolonial.

Pembangunan jalur ini adalah yang tersulit, dikarenakan kondisi geografis yang cukup berat dan beresiko. Karena melewati beberapa perbukitan di daerah Notog serta lebar dan dalamnya sungai Serayu.

Pembangunan jalur ini cukup banyak menelan korban jiwa, karena dijalankan dengan sistem kerja paksa. Hal tersebut dibuktikan dengan terdapatnya makam tua di bukit diatas perlintasan kereta api di daerah Notog, yang merupakan makam dari pekerja paksa.

Menurut informasi warga sekitar, di salah satu pilar jembatan kereta api kali Serayu diyakini pernah ditanam satu grup Lengger (tayub) sebagai tumbal pembangunan jembatan.

Katanya, saat dulu proses pembangunan pondasi jembatan mengalami banyak kendala. Salah satu masalnya adalah struktur dasar pondasi pilar (jembatan) yang sering ambles karena tergerus oleh derasnya air sungai. 

Karena mengalami kebuntuan, akhirnya pihak Staatsspoorwegen mencoba mencari solusi kepada paranormal setempat. Hasil komunikasi dengan penguasa ghaib Sungai Serayu bernama Dewi Ayu Wuri Agung, menginginkan tumbal satu grup tayub lengger Banyumasan lengkap dengan perangkat gamelan.

Akhirnya dicarikan grup Lengger yang di ambil dari wilayah Banyumasan oleh centeng suruhan pihak Staatsspoorwegen, dengan dalih untuk "selametan" sekalian menghibur para pekerja pembuat jembatan.

Pihak grup Lengger pun menyanggupi, malah mereka dibayar 3 kali lipat dari biasanya dan dibayar didepan. Jelang senja, obor-obor mulai dinyalakan.

Sekitar pukul 21:00 para pemain lengger mulai turun menuju dasar konstruksi setelah sebelumnya mereka menaruh peralatan gamelan dibawah. Gamelan mulai ditabuh, 2 orang penari cantik yang berusia 19 tahunan mulai menari di iringi alunan musik. 

Para pekerja dan beberapa meener Belanda melihat pertunjukan tersebut dari atas lubang besar yang akan dijadikan dasar pondasi. Para pekerja sebenarnya sudah paham akan terjadi pembunuhan massal terencana.

Dikarenakan batu - batu besar telah disiapkan di atas lubang. Namun para pekerja tidak mampu menolak dan melakukan apa-apa, karena para centeng Staatsspoorwegen mengawasi mereka di setiap sudut 

Bisa dibayangkan, pertunjukan malam Lengger tayub yang mustinya menyenangkan, terasa garing dan mencekam. Malam itu rembulan bersinar cukup terang, sekitar pukul 00:00 mendadak obor - obor dimatikan oleh para centeng.

Bahkan tangga menuju dasar fondasi turut diangkat naik, para pengrawit beserta penari merasa bingung dan seketika musik berhenti, “apa yang terjadi??” gumam mereka

Sebelum kebingungan mereka berakhir, ratusan batu sungai yang berukuran besar dilemparkan dari atas oleh para pekerja atas intimidasi para centeng, disusul dengan material bahan bangunan beserta batu coral yg digelontorkan dari atas melalui talang yang terbuat dari kayu.

Singkat cerita, akhirnya para pengrawit dan penari terkubur hidup - hidup di dasar fondasi jembatan kereta api sungai Serayu itu. Hingga hari ini, terutama pada malam Rabu Wage terkadang masih terdengar suara gamelan tayub dari arah jembatan sungai tersebut 

Kata akun twitter Kisah Tanah Jawa, sebenarnya jika dilihat ke belakang terutama pada masa Mataram Kuno, sebenarnya tidak pernah ditemui penggunaan tumbal nyawa manusia yang dipergunakan pada setiap pembangunan candi ataupun bangunan lainnya 

Oleh karena itu, ini menjadi menarik, bagaimana bisa asal usul tumbal proyek ini sendiri. Bahkan, hingga sekarang, ketika ada jalan baru, jembatan baru selalu saja ada cerita misteri di baliknya.

Malah sering ditemui obrolan kosong warga ketika melihat kecelakaan usai peresmian jembatan, selalu dikaitkan dengan tumbal jembatan dan sebagainya. Padahal, di era kekinian, ilmu tentang pembangunan gedung dan landmark sudah semakin maju

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun