Pernah gak sih kamu merasa pahit?
Bukan pahit kayak kopi tanpa gula, tapi pahit yang ada di hati.
Pahit karena pernah disakiti.
Pahit karena pernah ditinggalkan.
Atau... pahit karena dunia kayaknya gak pernah adil sama kamu.
Ada seseorang yang aku kenal. Dulu dia ceria banget. Selalu jadi tempat cerita, tempat bercanda, tempat semua orang nyaman. Tapi suatu hari, semuanya berubah. Dia mulai menarik diri. Wajahnya selalu datar. Dan kalau ngomong... ya, kadang tajam banget.
Ternyata dia menyimpan luka. Bukan dari keluarganya. Tapi dari temannya sendiri.
Teman yang dia percaya, yang selama ini dia bela, justru menusuk dari belakang.
Kepahitan ternyata gak cuma lahir dari masalah keluarga. Bisa dari cinta yang gagal, persahabatan yang rusak, pekerjaan yang bikin stres, atau bahkan dari harapan-harapan yang gak kesampaian.
Dan yang paling bahaya... kepahitan itu gak kelihatan. Tapi dia bekerja pelan-pelan, dari dalam.
Awalnya cuma rasa kecewa.
Lalu berubah jadi curiga.
Lama-lama, semua orang terasa salah. Semua hal terasa salah.
Dan yang lebih sedih lagi, orang yang menyimpan kepahitan biasanya gak sadar bahwa dirinya sedang hancur pelan-pelan.
Kepahitan itu kayak benih. Kalau gak dibersihin, dia bisa tumbuh dan jadi akar. Dan akar itu bisa mencengkeram hidup kita kuat-kuat---sampai kita susah bahagia, susah percaya, dan susah mencintai diri sendiri.
Jadi, apa harus kita lakukan?
Ya, mungkin kamu gak bisa langsung sembuh hari ini.
Tapi kamu bisa mulai... dari berhenti memelihara rasa itu.
Kamu bisa mulai... dari mengakui kalau memang ada luka.
Dan kamu bisa mulai... dari memutuskan untuk gak mau dikendalikan oleh luka itu lagi.
Kita gak selalu bisa memilih siapa yang nyakitin kita. Tapi kita selalu bisa memilih, mau jadi seperti apa setelah disakiti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI