Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Dimengerti

18 Oktober 2023   10:11 Diperbarui: 18 Oktober 2023   10:40 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajahnya bersinar menyemangati sesuatu yang belum dipahaminya. Waktu merekam lambaian tangan yang digiring sebuah senyuman hangat di dua belah bibir pucat itu. Paras kusam tampak cerah. Lihatlah, malaikat pagi mengajaknya bercanda hingga rona di pipi tampak berseri. Kaos kebesarannya bahkan terpantul anggun. Senyum memoles semua bentuk kekurangan yang dimilikinya menjadi terhapus, meski hanya beberapa detik saja. Maka, penderitaan tatapan iba berlanjut tatkala dua kakinya terseret mendekati halaman rumah. Awan menggelap. Terik mendadak padam. Tubuhnya bergerak patah-patah. Kaku tampak mengemban beban yang amat berat. Angin seolah hendak dirabanya. Jemari masih berdiri di ambang udara.Hasratku melirik sejenak, memerhatikan jiwa yang merintih keadilan kepada alam. Kulempar sebuah senyuman seanggun melati yang mekar. Dua bola mata yang tidak memahami dosa itu berbinar, lebih cerah dibanding purnama nanti malam.

"Arg...arg...." gadis autis. Masih ingatkah kau pada pemilik gigi berantakan itu? Ia yang sering meraung ganas jika apa yang diinginkannya tidak terpenuhi. Sering pula piring juga gelas dilesatkan mengimajinasikan rudal yang baru saja ditembakkan. Seolah dunia ingin digelapkan serupa makna hidupnya yang suram bertambah kelam. Ia, gadis kecil yang tidak diberi kesempatan Tuhan untuk memilih sebuah kesempurnaan gerak dalam tutur, juga kaki sukar terjulur.

Air liur menetes di dagu, kemudian meluncurkan diri meresap pada celah pori kain lembut. Ia susah payah berusaha berdiri menyeimbangkan tubuhnya. Memegang pilar rumah. Menatapku semringah. Sebuah sinar perhatian dipercikkan ke dalam hati, denyutku tergerak, aku mengerem langkah, maju menghampiri, hendak kuusap ubun yang jarang dibilas dalam mandi. Ia memanggil namaku dengan signal bola matanya. Bayangkan, Kawan! Dirinya malang, ditinggal Ayah ke ladang, Ibu rebah di tanah makam. Siapakah yang hendak menyiapkan sarapan? Perjamuan makan malam hambar, tiada sanak saudara yng memperdulikan, ayah jarang berkomunikasi, jika disulut lelah, maka pembaringan menjadi pelampiasan. Kau akan menyaksikannya termangu di sisi jendela, mengangakan bibir, mendongakkan kepala, wajah diciumi sinar purnama. Angin malam aku menyapu poninya yang jarang disisir rapi. Kehidupannya gelisah, diamuk keinginan yang tidak dapat dipenuhi oleh takdir. Kini, kembali aku di hadapan. Menggenggam tatapan kesepian yang hendak meledakkan kebebasan.

Ia roboh kembali. Duduk di lantai teras rumah. Aku mengembuskan napas beratku. "Kau ingin berjalan?" Perlahan leher itu mengangguk. Embun pagi menatap bening. "Kemarilah, berusahalah untuk berdiri!" Aku mengulurkan tangan. Ia memegang erat, seolah tak rela melepaskan. Sebuah genggaman terkuat yang pernah kurasakan, bahkan Ibuku belum pernah mencengkeram jemariku sehebat ini. Tulang telapakku serasa bergemeletak. Sebab tak ingin menciderai jiwanya maka aku pilih menahan perasaan tak nyaman. "Kau bisa berdiri!"

"Emm!" 

"Ayo bangkit!"

"Emm.."

Jangan pernah kau bosan mendengarkan melodi sumbang dari bibirnya, bukan karena ia bisu tak mampu menguraikan ungkapan, sayangnya ia memang dibatasi Tuhan dalam merangkai ucapan. Ketahuilah, ayahnya adalah sosok lelaki pemurung yang lebih sering menghabiskan waktunya bersama gundukan tanah dan rumput-rumput di ladang untuk menafkahi kekasihnya di kandang. Seekor sapi betina yang sedang mengandung keturunan.

"Apakah kau lelah?"

Lihatlah, mata bulatnya, mata jernihnya berkaca-kaca, perlahan leher itu, leher miliknya yang belum memahami kekejaman hidup di dunia ini mengangguk kembali. "Kau lelah berjalan seperti itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun