Di Balik Parade Para Pahlawan
Di bangku sekolah, sejarah diajarkan layaknya parade tokoh besar: jenderal yang gagah, presiden yang berwibawa, tokoh nasional yang diagungkan setiap tahun. Kita diajak menghafal nama-nama penting, tanggal-tanggal sakral, dan peristiwa-peristiwa monumental seolah itulah satu-satunya jalan cerita bangsa ini. Namun jarang ada ruang untuk suara rakyat biasa. Mereka yang mengangkat cangkul, menggelar spanduk, atau berseru di jalanan---nyaris tak pernah mendapatkan tempat dalam narasi resmi.
Padahal, sejarah bukan hanya tentang para pemimpin yang mencetak tanda tangan di atas naskah perjanjian. Sejarah adalah tentang rakyat yang rela berkorban meski tanpa janji penghargaan. Tentang perempuan yang menolak diam di bawah represi, tentang petani yang menggenggam tanahnya erat, tentang buruh yang menggugat keadilan di tengah gelombang ketidakpedulian.
Kita lupa bahwa bangsa ini dibangun bukan hanya oleh pidato dan strategi politik, tetapi juga oleh peluh, air mata, dan keberanian rakyat jelata. Mereka yang tak dikenal namanya, tapi jasanya menjalar ke segala sendi negeri.
Lalu, di manakah kisah mereka hari ini?
Apakah kita membiarkan apinya padam perlahan?
Ketika Sejarah Dikorbankan di Meja Kekuasaan
Sejarah nasional, sebagaimana kita pelajari di buku teks, sering kali disusun dari sudut pandang penguasa. Ia menyeleksi mana yang layak dikenang dan mana yang harus dilupakan. Ia membungkus konflik menjadi harmoni, menghapus suara-suara bising dari rakyat yang pernah menggugat.
Bukan berarti semua tokoh besar tidak layak dihormati. Tapi menjadi masalah ketika sejarah berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan---memahat satu kebenaran tunggal sambil menenggelamkan beragam suara lain. Di titik inilah kita perlu bertanya: sejarah siapa yang kita baca? Untuk siapa sejarah itu ditulis?
Dalam banyak narasi, pemberontakan petani, pemogokan buruh, gerakan perempuan, dan protes anak muda kerap disederhanakan, atau bahkan disisihkan. Mereka yang menuntut keadilan sering kali dicap sebagai "pengacau," "pemberontak," atau "ancaman stabilitas."
Sejarah resmi lebih suka mengenang momen-momen yang memperkuat narasi nasionalisme terkontrol, daripada merekam riuh rendah perjuangan rakyat dari bawah. Ini bukan sekadar soal isi buku teks. Ini soal cara sebuah bangsa mengingat dirinya sendiri.
Menggali Akar, Membuka Jalan
Mengingat sejarah rakyat adalah mengingat fondasi bangsa ini. Rakyatlah yang membajak sawah, menyalakan api perlawanan, mengorbankan hidup tanpa pernah menuntut nama. Dengan menggali kisah mereka, kita tidak hanya adil kepada masa lalu, tetapi juga membuka jalan bagi masa depan yang lebih jujur.
Sejarah rakyat mengajarkan bahwa perubahan besar tidak lahir dari satu-dua pidato elite. Ia tumbuh dari akumulasi keberanian kecil: dari obrolan di sudut warung kopi, dari rapat-rapat diam-diam di bawah ancaman, dari keteguhan hati yang tak pernah tercatat kamera.