"Terserah!!!"
Akhirnya aku pun hanya bisa menangis.
Suamiku tahu, aku adalah tipe wanita penirut dan cepat memaafkan. Karena itu dalam.beberapa hari hubungan kami kembali membaik.
Namanya kebiasaan ya...siapa menyangka bila sekarang hal ini kembali terulang.
Aku tahu suamiku orangnya supel. Tapi ngga perlu begitu juga kali, sampai tidak memikirkan perasaanku.
"Kamunya aja yang terlalu cemburuan. Orang Mas ngga ada hubungan apa-apa kok. Hubungan kami masih dalam batas yang wajar, " katanya membela diri.
"Wajar??? Coba tanyakan sama teman-teman Mas yang sudah berkeluarga. Kalau banyak dari mereka yang masih menelpon adik angkatnya atau teman wanitanya saat istrinya tertidur di malam hari selama berjam-jam, maka Mas boleh bangga kalau jawaban Mas benar," tantangku.
Aku kesal sekali. Intonasi suaraku bahkan meningkat beberapa oktaf. Maafkan aku Tuhan, seharusnya aku tak boleh bersuara lebih nyaring darinya. Tapi hal ini benar-benar membuatku jengkel.
"Maaf ya...," katanya sambil memelukku erat.
Kupejamkan mataku sambil menikmati dekapannya. Lagi-lagi hatiku luluh.
Aku sadar kejadian semacam ini akan terus berulang. Maaf dariku mungkin akan selalu terucap. Tapi, suamiku melupakan satu hal.Â