“Kamu baik-baik saja?”
Diam. Tapi aku tetap di sana.
Kata bosku, orang yang sedang sedih tidak selalu butuh nasihat. Kadang cukup tahu ada yang sudi menemani. Jadi aku menunggu. Menemani perempuan tanpa wajah itu dalam sunyi yang menggantung.
Satu jam. Dua jam. Matahari mulai tinggi. Bayangannya bergeser, tapi ia tetap tak bergeming. Hingga akhirnya, tubuhnya berguncang. Ia menangis. Air mata keluar dari wajah yang tak berbentuk.
Payung hitamnya terjatuh.
Aku reflek menangkapnya, lalu menaungkannya lagi ke atas tubuhnya yang mulai membungkuk. Ia menutupi wajahnya—atau mungkin rasa malu dan luka yang tersembunyi di baliknya.
Aku tak bicara. Hanya berdiri menopang payung itu di atasnya. Lama sekali. Kaki mulai pegal, perut keroncongan, tapi aku bertahan. Karena untuk pertama kalinya, aku merasa sedang melakukan sesuatu yang benar.
Sore mulai turun. Aku nyaris menyerah. Lalu seorang anak kecil muncul, berlari dengan bunga Lily putih di tangannya. Ia meletakkannya di bawah pohon tua, lalu pergi begitu saja.
Perempuan itu terisak lebih keras. Tapi ada nada lega di tangisannya. Sesuatu yang selama ini tertahan akhirnya mengalir keluar. Perlahan, wajahnya mulai tampak.
Dan ia sangat cantik.
Aku tertegun. Lalu jatuh. Tubuhku kalah oleh lelah. Sebelum pingsan, aku mendengar suaranya.