Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Indonesia memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah bangsa ini, dimulai sejak masa kerajaan Nusantara hingga periode yang lebih modern, seperti masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan. Masing-masing periode tersebut memberikan kontribusi terhadap pembentukan sistem fiskal dan pengelolaan keuangan negara Indonesia yang kita kenal saat ini, meskipun dengan karakteristik dan tantangan yang sangat berbeda.
Masa Kerajaan Nusantara: Fondasi Tradisional PNBP
Pada masa kerajaan-kerajaan besar di Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Mataram Kuno, Sunda, hingga Gowa-Tallo, meskipun belum ada istilah resmi seperti "Penerimaan Negara Bukan Pajak" atau PNBP, praktik ekonomi dan pemerintahan menunjukkan adanya sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari luar pajak. Sistem ini banyak dipengaruhi oleh kekuasaan politik dan legitimasi sosial budaya, dan berfungsi untuk membiayai kehidupan kerajaan serta berbagai fungsi publik yang melekat pada peran raja atau penguasa lokal.
Penerimaan negara pada masa itu antara lain berupa upeti, yang diberikan oleh wilayah taklukan atau bawahan kepada kerajaan pusat sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaan raja. Upeti ini bisa berupa hasil bumi seperti beras, kelapa, rempah-rempah, bahkan emas dan perak. Selain itu, kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Makassar memungut retribusi pelabuhan dari kapal-kapal yang singgah, yang lebih menyerupai konsep PNBP modern dalam bentuk penerimaan jasa negara.
Selain itu, denda atau sanksi adat juga berfungsi sebagai sumber penerimaan kekuasaan, digunakan untuk membiayai kegiatan sosial, ritual, atau bantuan komunitas. Dalam hal ini, denda adat pada dasarnya berfungsi serupa dengan PNBP di sektor hukum dan ketertiban pada masa kini.
Masa Kolonial Belanda: Pengelolaan Ekstraktif dan Birokratis
Masuknya kolonialisme Belanda ke Indonesia membawa transformasi besar dalam struktur ekonomi dan sistem penerimaan negara. Pada masa ini, pengelolaan penerimaan negara mulai bersifat lebih terpusat, rasional, dan sistematis, meskipun eksploitatif dan diskriminatif terhadap penduduk bumiputra.
Pada awal abad ke-19, di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, diterapkan sistem landrente atau sewa tanah yang mengharuskan petani membayar sewa atas penggunaan lahan pertanian kepada negara kolonial. Sistem ini menunjukkan pergeseran dari pengelolaan tanah yang sebelumnya dikelola secara feodal menjadi sebuah mekanisme penguasaan negara atas tanah rakyat.
Selain itu, kolonial Belanda juga memaksimalkan sumber daya alam dengan menguasai sektor perkebunan besar dan pertambangan, yang menghasilkan pendapatan negara dalam bentuk sewa lahan, royalti, dan perizinan usaha. Pemerintah Hindia Belanda juga memonopoli sejumlah komoditas seperti garam, candu, dan rempah-rempah, yang menjadi sumber utama penerimaan negara bukan pajak pada masa itu.
Pemerintah kolonial juga mengenakan retribusi pelabuhan dan monopoli komoditas, yang semakin memperlihatkan sistem ekonomi yang bersifat eksploitatif, di mana negara menjadi satu-satunya penguasa ekonomi dengan sedikit kontrol dari masyarakat.