Mohon tunggu...
Tinton Ditisrama
Tinton Ditisrama Mohon Tunggu... Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya

"Seorang pembelajar dan penikmat hukum, politik, dan juga musik yang dengan senang hati bisa berbagi pemikiran dan wawasan." Penulis buku: 1. Hukum Tata Negara Indonesia -Teori dan Penerapan- (Pengantar: Dr. Bambang Soesatyo, MBA); dan 2. Teori dan Hukum Konstitusi (Pengantar: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH; dan Prof. Dr. Fauzi Yusuf Hasibuan, SH, MH)

Selanjutnya

Tutup

Music

"Ngak-Ngik-Ngok": Saat Soekarno Melawan Musik Barat

2 Maret 2025   05:37 Diperbarui: 2 Maret 2025   05:37 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Soekarno menutup telinga agar tidak mendengar musik barat (Foto:Z News)

Pada masa Orde Lama (1945--1966), perkembangan musik Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh kebijakan pemerintah yang berusaha menanamkan identitas nasional dan menolak budaya Barat yang dianggap merusak. Presiden Sukarno, misalnya, melarang musik yang disebutnya sebagai "ngak-ngik-ngok", yang merujuk pada musik Barat seperti rock and roll, cha-cha, tango, dan mambo. Beliau menganggap musik-musik tersebut mewakili semangat neokolonialisme dan imperialisme yang dapat mengikis budaya bangsa. Dalam orasinya, Bung Karno menekankan bahwa musik "ngak-ngik-ngok" harus dihapuskan, dan pemuda-pemuda bertanggung jawab untuk menghilangkan pengaruh kebudayaan Barat yang berlebihan. 

Kebijakan ini menyebabkan pembatasan terhadap musik-musik Barat dan mendorong perkembangan musik lokal yang sesuai dengan nilai-nilai nasional. Genre seperti keroncong dan langgam Jawa mendapatkan tempat istimewa karena dianggap mencerminkan identitas budaya Indonesia. Keroncong, misalnya, berkembang sejak kedatangan Portugis dan mengalami popularitas pada masa perjuangan kemerdekaan, dengan lagu-lagu seperti "Bengawan Solo" karya Gesang Martohartono menjadi ikon nasional. 

Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo (Foto: Google)
Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo (Foto: Google)

Selain itu, pemerintah Orde Lama juga mendorong penggunaan musik tradisional dan daerah sebagai upaya memperkuat identitas nasional. Musik-musik seperti gamelan, tembang Sunda, dan berbagai musik daerah lainnya mendapatkan perhatian lebih dalam upaya pelestarian budaya lokal. Namun, pembatasan terhadap musik Barat tidak sepenuhnya menghilangkan pengaruhnya; beberapa musisi tetap terinspirasi oleh genre tersebut dan menciptakan karya yang menggabungkan unsur-unsur lokal dan Barat secara terselubung.

Pada masa ini, industri musik Indonesia juga mengalami tantangan terkait dengan teknologi rekaman. Piringan hitam menjadi media utama untuk distribusi musik, tetapi dengan keterbatasan teknologi dan kebijakan pemerintah, produksi musik menghadapi berbagai kendala. Meskipun demikian, periode ini menandai upaya serius untuk membentuk identitas musik nasional yang bebas dari pengaruh kolonial dan imperialisme budaya.

Setelah berakhirnya Orde Lama dan memasuki era Orde Baru, kebijakan terhadap musik Barat menjadi lebih longgar, yang memungkinkan masuknya kembali berbagai genre musik Barat dan mempengaruhi perkembangan musik Indonesia selanjutnya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun