Rocky Gerung kerap kali menyatakan bahwa ijazah itu tanda pernah sekolah, bukan tanda pernah berpikir. Jika berdasar pada kalimat itu, maka sekolah, yang adalah lembaga pendidikan formal, belum tentu menjadi tempat tumbuhnya pikiran. Jika itu benar, maka sekolah belum bisa menjelma lebih dari sekadar tempat bertemunya guru dan murid. Belum mampu menjadi tanah subur tempat benih pikiran disemai.
Jauh di bagian awal, pikiran adalah perangkat utama manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan pikiran, manusia mampu melakukan banyak hal, bahkan yang pada awalnya tak terpikirakan oleh manusia itu sendiri. Di saat mengukur diameter Matahari merupakan suatu kemustahilan bagi instrumen fisik, pikiran hadir untuk memberikan jawaban, misalnya.
Maka benar, saat Ren Descartes menempatkan pikiran sebagai sumber utama pengetahuan. Baginya, pengetahuan tidak datang dari pengalaman panca indera. Ia hadir melalui pikiran logis dan jernih. Dunia luar boleh dan bisa menipu, namun pikiran jernih tak bisa melakukan itu.
Descartes memulai perjalanannya dengan penuh keraguan. Bukan hanya tentang Tuhan dan dunia, ia bahkan meragukan persepsinya sendiri. Di tengah segala bentuk keraguan itu, ia kemudian berpikir. Hasilnya, Descrates merumuskan serangkaian logika matematis: jika saya ragu, maka saya bepikir; jika saya berpikir, maka saya ada; jika saya ada, maka Tuhan ada dan orang lainpun ada. Descrates akhirnya memformulasikan kebenaran yang tak bisa disangkal, setidaknya saat itu oleh dirinya sendiri. Cogito ergo sum, jika aku berpikir, maka aku ada. Kalimat ini bukan sekadar tentang ekistensi manusia, tetapi lebih penting tentang kedaulatan pikiran manusia. Bagi Descartes, berpikir adalah bukti eksistensi entitas manusia. Dengan berpikir, segala bentuk pengetahuan bisa dilahirkan, dikuasai, dan dilakukan.
Pemikiran Descartes mengonstruksi aliran filsafat pendidikan klasik rasionalisme. Inti pemikiran rasionalisme berada pada keyakinan bahwa pikiran memiliki kemampuan untuk menemukan kebenaran melalui deduksi logis dan prinsip universal. Deduksi logis merupakan proses perjalanan pikiran untuk menurunkan sesuatu yang bersifat umum menuju simpulan spesifik yang valid. Proses ini memerlukan kelengkapan pikiran yang berfungsi. Lebih lanjut, rasionalisme memandang bawa pengetahuan sejati tidak bergantung pada pengalaman yang bersifat subjektif, melainkan pada struktur berpikir rasional yang bersifat pasti dan teratur. Konsekuensinya, kebenaran diperoleh melalui latihan berpikir sistematis dan reflektif.
Berbasis pada rasionalisme, sekolah dengan segala kelengkapannya merupakan instrumen pengembangan keterampilan berpikir. Dalam hal ini, berpikir bukan berarti sekadar aktivitas otak. Lebih dari itu, berpikir merupakan tindakan secara sadar dan terencana untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran. Setidaknya terdapat tiga langkah penting dalam proses berpikir. Pertama, keraguan metodis. Pada tahap ini, setiap individu meragukan segala sesuatu agar hanya yang benar-benar pasti yang dapat diterimanya. Kedua, analisis logis. Di tahap ini, setiap individu menguraikan suatu persoalan menjadi segmen-segmen lebih kecil untuk dapat diterima dengan nalar. Ketiga, sintesis. Tahap sintesis merupakan proses kontruksi hasil analisis pada setiap individu untuk membentuk pengetahuan yang utuh dan rasional.
Dalam praktik pendidikannya, pembelajaran yang mengembangkan proses berpikir memiliki cirinya sendiri. Pembelajaran itu tidak berorientasi pada penerimaan siswa terhadap sesuatu, melainkan dipandang berhasil saat siswa mempertanyaan sesuatu. Sebab, bertanya berarti berpikir. Siswa juga tidak dituntut menghafal dan tahu semua tentang materi yang dipelajari. Berpikir adalah proses bernalar, yang lebih dari sekadar mengetahui sesuatu melalui hafalan. Alih-alih bertanya tentang tahapan fotosintesis, guru akan bertanya bagaimana apabila fotosintesis tidak terjadi, misalnya. Lebih lanjut, siswa diberikan keleluasaan membangun pengetahuannya sendiri, dengan cara dan jalan pikirnya sendiri. Bukan justru meminjam pikiran orang lain. Ini paling sederhana terlihat dari konstruksi kalimat yang digunakan siswa menyampaikan pikirannya.
Di pihak lain, berpikir rasional memerlukan keberanian. Berani bertanya, berani berbeda, berani salah. Sebab, dalam setiap pertanyaan, perbedaan, dan kesalahan, selalu ada jalan untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran.
Ruang kelas, secara khusus, harus membangun keberanian itu. Ruang kelas tidak boleh hadir untuk mengekang kemerdekaan berpikir. Mengekangnya berarti menihilkan pengetahuan. Dogma "guru selalu benar" harus diubah karena ia adalah penghalang tumbuhnya pikiran siswa. Dogma itu harus hilang dari pikiran siswa, masyarakat, bahkan dari pikiran guru itu sendiri. Sepenuhnya.
Termasuk pengekangan pikiran, baik secara sadar maupun tidak, atas nama norma kesopanan juga perlu ditinggalkan. Norma kesopanan tidak membatasi alam pikiran. Teori mengatakan bahwa sistem sosial dan budaya, termasuk norma, adalah hasil dari konstruksi sosial yang berkembang untuk memfasilitasi kehidupan bersama. Norma akan membatasi sesuatu yang diungkapkan secara terbuka, namun tidak membatasi proses berpikir internal. Pikiran manusia tetap bebas untuk mengeksplorasi ide-ide, bahkan di luar batasan norma, meskipun ekspresi eksternal mungkin disesuaikan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Tsing et al., 2019; Ellis, 2015).