Mohon tunggu...
ARSaleh
ARSaleh Mohon Tunggu... Pensiunan ASN

Pensiunan ASN, hobi menulis cerpen/novel/opini. Terkadang menulis ilmu pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamar di samping rumah

11 Oktober 2025   17:26 Diperbarui: 11 Oktober 2025   17:26 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat dengan bantuan ChatGPT

Abdul Rahman Saleh

Waktu aku kecil, lamat-lamat masih teringat buyutku. Ia tinggal bersama nenekku, tapi bukan di rumah utama. Untuknya dibuatkan semacam "kamar" di samping rumah---bukan kamar yang sungguh layak, lebih seperti ruang sisa yang ditempeli dinding seadanya. Saat itu aku terlalu kecil untuk mengerti, hanya melihat bagaimana buyutku seperti hidup di pinggiran rumahnya sendiri.

Bertahun-tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Nenekku---yang hartanya melimpah, sawah luas, rumah dan pekarangan yang akhirnya dihibahkan kepada omku---tidak menempati rumah utama. Ia juga dibuatkan kamar kecil yang menempel di rumah itu. Aku melihatnya dengan mata sendiri: seorang ibu yang telah memberi segalanya, justru ditempatkan di pinggir.

Aku sering memikirkan itu. Kenapa orang tua yang seharusnya dimuliakan justru dipisahkan, disingkirkan secara halus? Apakah anak-anak merasa terganggu bila orang tuanya berada di tengah rumah? Apakah keberadaan mereka dianggap bayang-bayang yang mengurangi kenyamanan?

Di luar, sawah-sawah yang sudah dihibahkan tetap hijau. Rumah yang luas tetap berdiri. Tetapi nenekku hidup dalam ruang sempit yang terasa asing---kamar yang seolah menyimbolkan posisinya: ada, tapi tak sungguh dihitung.

Sejak menyaksikan itu, pikiranku selalu dihantui satu pertanyaan getir: bagaimana kelak jika aku sendiri sampai di masa tua? Apakah aku akan mengalami nasib yang sama? Apakah istriku juga akan disisihkan, diberi "kamar" di pinggir rumah anak?

Bayangan itu sungguh menakutkan. Hidup seakan hanya menunggu giliran untuk dipindahkan ke tepi, ke ruang sempit yang tak lagi punya arti, meski seluruh tenaga dan harta sudah dihabiskan untuk anak-anak.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri: benarkah masa tua hanyalah menunggu kapan tubuh dipindahkan---entah ke kamar sempit di samping rumah, entah ke panti jompo, atau entah ke liang lahat?

Dan semakin aku berpikir, semakin terasa jelas: tak ada jaminan anak yang kita besarkan akan benar-benar memeluk kita di akhir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun