Mohon tunggu...
ARSaleh
ARSaleh Mohon Tunggu... Pensiunan ASN

Pensiunan ASN, hobi menulis cerpen/novel/opini. Terkadang menulis ilmu pengetahuan. Mohon maaf, belakangan ini saya tidak konsisten mengunggah Cerbung saya karena sistemnya sering error, katanya karena padatnya traffic. Jadi bukan saya sengaja terlambat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hotel Seumur Hidup

10 Oktober 2025   13:47 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:47 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikreasikan dengan bantuan ChatGPT

Waktu itu aku sedang duduk berdua dengan seorang kawan lama. Kami sama-sama pernah jadi pejabat eselon dua, sama-sama merasakan bagaimana hidup di puncak karier---dikelilingi rapat, tanda tangan, dan orang-orang yang menghaturkan hormat.

Obrolan kami dimulai ringan, tentang kesehatan, tentang anak-anak yang sudah besar. Tetapi kemudian, entah mengapa, percakapan itu tiba-tiba menukik ke soal hari tua.

Kawanku berkata dengan nada mantap, "Kalau aku nanti sudah benar-benar tidak bisa bekerja, aku ingin tinggal di hotel. Biar saja aku sewa kamar, bayar bulanan. Makan sudah ada yang menyiapkan, kamar selalu rapi, dan ada orang yang menjaga kalau aku sakit. Aku tidak mau merepotkan anak-anak."

Aku menatapnya, separuh takjub, separuh getir. Baginya, hotel seolah menjadi simbol kemandirian, pelarian terakhir agar tidak menjadi beban. Tapi bagiku, hotel justru terasa asing---tempat singgah, bukan tempat pulang.

Aku mencoba tersenyum. "Kau bisa bilang begitu karena anak-anakmu semua sudah mapan. Rumah besar ada, tabungan cukup, kendaraan pun masih baru. Hotel untukmu adalah pilihan. Tapi bagiku?"

Aku menarik napas panjang. Bayangan rumah kecil tipe RSS yang kutempati selama ini terlintas begitu jelas. Mobil tua yang saban bulan harus masuk bengkel. Anak-anak yang hidupnya masih harus berjuang, bahkan sebagian masih menggantung pada tenagaku.

"Aku bahkan tidak yakin," kataku lirih, "apakah kelak punya cukup untuk sekadar bertahan hidup. Hotel? Mungkin terlalu mewah untuk sekadar mimpi."

Kawanku terdiam. Ia menatapku, lalu memalingkan wajah. Ada jeda yang lama, seolah di antara kami terbentang jurang bernama kenyataan.

Hari itu aku pulang dengan pikiran yang kalut. Bukan soal hotel, bukan pula soal fasilitas masa tua. Tetapi soal arti dari semua kerja keras yang sudah kulalui: rapat yang tak berkesudahan, tugas yang kerap mengorbankan keluarga, dan masa muda yang terkuras habis untuk negara.

Jika pada akhirnya aku hanya kembali ke rumah kecil yang terasa semakin sempit, dengan mobil tua yang makin sering mogok, apa arti semua itu? Apakah hidupku hanya sekadar singgah---seperti kamar hotel yang bisa ditinggalkan kapan saja?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun