Mohon tunggu...
Timotius Cong
Timotius Cong Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penginjil

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prinsip Baik Orangtua Tidak Selalu Cocok Buat Anak

19 Mei 2020   15:17 Diperbarui: 3 Juni 2020   13:13 1256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi prinsip orangtua untuk anak (Sumber: Pixabay.com)

Saya suruh dia menghentikan obat tersebut, karena percuma. Akibatnya, kumatnya bertambah parah seperti sebelum pengobatan. Satu hari bisa sampai 20 kali menonjok wajah sendiri. 

Saya mulai bertanya, "Mengapa pengobatan selama ini, sama sekali tidak ada efek?". Menurut pemikiran saya, sekalipun tidak sembuh, harusnya tetap ada efek, bukan? Kondisinya, jangan sama seperti sebelum pengobatan, dong. Tetapi ini, kembali seperti dulu. Padahal baru sebulan berhenti obat. 

Saya mencoba mendiagnosa sendiri, "jangan-jangan ini masalah psikologis", karena saya perhatikan, saat olahraga pagi hari, dia tidak kumat. Padahal dia juga menggerak kaki.

Beberapa cara sudah kami coba, dari tidak mengingat penyakit tersebut sampai dilawan. Semua tetap tidak ada hasil. Sampai satu hari, tepatnya hari sabtu sore. Saat saya menemani dia mengedit video khotbah yang akan ditayangkan hari minggu untuk ibadah online. 

Secara tidak sengaja, kaki saya menyenggol kakinya. Betapa kagetnya saya, tangannya meninju mukanya tanpa terkontrol. Melihat hal itu, saya mulai curiga, kok separah ini. Biasanya waktu bangun baru kumat. Mengapa kali ini, hanya menyenggol kakinya sambil dia dalam posisi duduk sudah kumat. 

Saya coba ingat, memang dari kamis kami mengejar waktu untuk edit video. Jadi selama dua hari, dia fokus tanpa berhenti dari pagi sampai malam. Lalu saya menyimpulkan "jangan-jangan gerakan tangannya berkaitan dengan aktivitas otak." 

Selama ini, dia memahami stres dalam arti depresi. Saat saya tanya, apakah kamu lagi stres? Dia selalu jawab tidak. Stres yang sebenarnya yang pernah dijelaskan dokter pada kami adalah pemakaian otak yang terlalu lama dan banyak secara terus menerus tanpa istirahat.

Lalu saya coba, lihat apa yang dia lakukan setiap hari. Ternyata dia tidak pernah membiarkan otaknya istirahat. Terus baca ini dan itu, belajar dan kerja tugas. Lalu saya tanya kepada dia, "Mengapa kamu tidak membiarkan diri relaks?". Dia menjawab, "Tidak mau menyia-yiakan waktu yang Tuhan berikan." 

Wah betapa kagetnya saya, prinsip itulah yang saya ajarkan pada dia sejak kecil. Dia pakai sampai kuliah saat ini. Dari situ, saya belajar, tidak semua prinsip yang baik, bisa diterapkan pada anak. Anak memiliki kemampuan berbeda-beda. 

Maka saya mengajak dia terapi yaitu mengatur waktu antara fokus mengerjakan tugas kuliah dan mengistirahatkan otak, misalnya: mendengar musik, duduk santai atau tidur sebentar. Bagaimana hasilnya? 

Setelah 1 minggu. Ternyata, gerakan tangannya sudah mulai berkurang. Dalam dua minggu ini, di mana biasanya dia akan kumat lebih dari 10 kali. Sekarang sudah di bawah 10 kali. Bahkan hanya 3-5 kali. Kemarin minggu, 17 Mei cuman 2 kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun