Mohon tunggu...
Timothy Calvin Yang
Timothy Calvin Yang Mohon Tunggu... Mahasiswa di Universitas Airlangga

Menulis itu (seharusnya) menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebebasan Berpendapat vs Stabilitas Negara, Dari Sudut Pandang Immanuel Kant

5 Agustus 2025   21:47 Diperbarui: 5 Agustus 2025   22:02 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan berpendapat adalah faktor yang integral – terutama dan terdepan – dalam berdirinya sebuah demokrasi. Namun, agar sebuah demokrasi dapat senantiasa berjalan dengan rakyatnya merasa aman, stabilitas pemerintahan wajib pula dijaga. Dilema ini lah yang kerap kali muncul sebagai isu yang terus-menerus dibahas di Indonesia. Sejak awal pendirian negara, undang-undang tentang kebebasan berpendapat di Indonesia telah berulang-kali diubah – Ke arah yang lebih baik maupun ke arah yang buruk. 

Pada focus group discussion (FGD) yang dilakukan kelompok garuda tujuh ksatria lima, enam, tujuh, dan delapan, isu yang dibahas persis itu: “Apakah kebebasan berpendapat boleh dibungkam demi stabilitas negara?” Dalam FGD tersebut, masing-masing kelompok Ksatria berperan sebagai pihak yang memiliki peran dalam dunia politik, khususnya bidang yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat – Secara berurut dari ksatria lima hingga delapan: Pemerintah, mahasiswa, aktivis HAM, dan pengamat politik. Saya sendiri termasuk dalam ksatria delapan, pengamat politik. Kendati demikian, saya lebih condong menyukai argumen yang disampaikan ksatria lima, pemerintah. Walaupun posisi yang diambil oleh pengamat politik dan pemerintah sama-sama cenderung netral, tetapi saya lebih menyukai penggunaan istilah dari ksatria lima. Argumen-argumen mereka adalah sebagai berikut:
1. Kebebasan tidak absolut sehingga harus dibatasi demi tanggung jawab sosial,
2. Pembatasan adalah bentuk perlindungan bagi sipil, dan
3. Ketertiban menciptakan ruang dialog yang nyata.
Pendapat saya mengenai dilema ini kurang lebih dapat dirumuskan dalam 3 poin di atas. 

Pertama, bahwa tidak ada kebebasan absolut. Saya mengutip pemikiran filsuf Jerman abad ke-18, Immanuel Kant. Kant membagi kebebasan menjadi dua: eksternal dan internal. Kebebasan eksternal didefinisikan sebagai ketiadaan batasan yang diterapkan orang lain kepada seorang individu. Kant menyebut keadaan itu sebagai anarki, kondisi masyarakat yang tidak dapat berfungsi. Dalam kondisi hipotetis ini, semua orang menjadi bebas mengambil nyawa orang lain karena tidak ada yang menghalangi, sedangkan orang yang nyawanya diambil menjadi tidak bebas untuk hidup. Jadi, sederhananya, kebebasan eksternal kita hanya dibatasi oleh kebebasan eksternal orang lain. Oleh karena itu, Kant condong mendukung implementasi kebebasan internal yang didefinisikan sebagai kebebasan seseorang bertindak dalam batasan moral law dan logika. Bila setiap orang memiliki kebebasan internal, masing-masing individu akan secara logis menghormati kebebasan individu lain, dan masyarakat akan menjadi fungsional. 

Bila mencocokkan ide-ide Kant ke dalam isu kebebasan berpendapat, kita dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat itu baik adanya karena semua orang boleh saja memiliki pendapat, asalkan unjuk pendapat tersebut tidak mengganggu kebebasan orang lain. Jika sudah mengganggu kebebasan orang lain, tindakan itu dapat digolongkan ke dalam anarkisme. Tentu terdapat beberapa pengecualian untuk pola pikir ini, seperti keadaan force majeure saat pilihan terakhir bagi masyarakat untuk mengubah sistem yang korup adalah untuk memicu anarkisme. Namun sebelum itu, terdapat pilihan berlimpah untuk mencapai hasil yang sama tanpa anarkisme, contohnya melalui dialog.

Kedua dan ketiga, bahwa dialog hanya dapat dijalankan bila keadaan negara tertib dan bila dialog tersebut terbuka untuk didengar oleh umum. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah agar tidak terdapat konflik kepentingan dari perwakilan-perwakilan yang menjalankan dialog. 

Buah pikiran saya adalah untuk membuat forum bagi para demonstran agar dapat berdialog secara damai dengan pihak yang berwajib, tanpa intimidasi atau paksaan dari pihak manapun. Karena dialog merupakan komunikasi dua arah, maka pihak berwajib juga harus mau mendengar dan memproses kritik dari demonstran. Jika salah satu pihak menolak dialog, seperti pihak berwajib yang tidak menerima kritik atau pihak demonstran yang langsung memicu anarki, maka demokrasi tidak mungkin berlangsung. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun