Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pentingnya Konferensi Asia-Afrika 2025 di Era Perang Dagang

16 Mei 2025   03:59 Diperbarui: 20 Mei 2025   05:38 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perang Dagang  (sumber: dokumen pribadi)

Di tengah arus transformasi global yang kian masif, dunia menghadapi apa yang disebut sebagai World Mega Shift -- sebuah pergeseran besar yang didorong oleh kemajuan serta disrupsi teknologi digital, perubahan lanskap ekonomi sekaligus lanskap geopolitik, dan tantangan krisis global seperti ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, hingga konflik kemanusiaan. 

Mustafa Suleyman, dalam bukunya "The Coming Wave" (2023), menggambarkan gelombang ini sebagai titik kritis di mana teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi memiliki potensi untuk mengubah tatanan sosial, ekonomi, dan politik secara radikal. Namun, di sisi lain, gelombang ini juga membawa risiko ketidaksetaraan yang semakin lebar, dominasi kekuatan besar, dan ancaman terhadap kedaulatan bangsa-bangsa yang lebih kecil.

 Dalam konteks ini, semangat Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955, yang memasuki usia 70 tahun pada 2025, menemukan relevansi baru sebagai panduan moral dan strategis untuk menghadapi dinamika global yang kompleks.

Suleyman mengingatkan bahwa "The Coming Wave" bukan sekadar gelombang perubahan kemajuan teknologi digital serta kecerdasan buatan, tetapi sebuah kekuatan yang dapat memperkuat hegemoni atau memperdalam ketimpangan jika tidak dikelola dengan bijak. AI, misalnya, memiliki potensi untuk merevolusi sektor kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, tetapi juga dapat menciptakan kesenjangan akses, di mana negara-negara maju mendominasi pengembangan dan distribusi teknologi. Bioteknologi, di sisi lain, membuka peluang untuk menyelesaikan krisis pangan atau kesehatan, namun juga menimbulkan risiko etis dan keamanan jika disalahgunakan. Dalam bukunya, Suleyman menekankan perlunya tata kelola global yang inklusif untuk memastikan bahwa manfaat teknologi ini tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit atau negara adidaya.

Tantangan ini serupa dengan apa yang dihadapi dunia pada 1955, ketika negara-negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung untuk menentang kolonialisme dan imperialisme. Saat itu, dunia terbelah oleh Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, dengan negara-negara berkembang sering kali menjadi korban kepentingan adidaya. KAA melahirkan Dasasila Bandung, sepuluh prinsip yang menekankan kedaulatan nasional, kesetaraan, perdamaian, dan kerja sama antarnegara. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi pedoman bagi Gerakan Non-Blok, tetapi juga inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan dan keadilan global, termasuk dukungan terhadap hak-hak rakyat Palestina.

Gerakan Non-Blok (GNB) resmi terbentuk pada tahun 1961, dengan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 sebagai tonggak awalnya. KAA, yang dihadiri oleh 29 negara Asia dan Afrika, mengusung prinsip-prinsip kedaulatan, anti-kolonialisme, dan kerja sama ekonomi untuk menentang dominasi blok Barat (NATO) dan Timur (Pakta Warsawa) selama Perang Dingin. Namun, di era tatanan baru dunia yang ditandai dengan berakhirnya multipolaritas diganti unilateralisme, disrupsi teknologi digital serta kecerdasan buatan, penurunan kualitas lingkungan hidup serta krisis iklim, dan ketegangan geopolitik, apakah GNB melalui semangat KAA masih relevan? 

Konteks Tatanan Baru Dunia

Dunia saat ini telah beralih dari bipolaritas Perang Dingin menuju multipolaritas, lalu sekarang sedang mengalami perubahan besar (mega shifting) dengan munculnya kekuatan seperti Tiongkok, India, dan Uni Eropa di samping Amerika Serikat dan Rusia. Persaingan global kini berfokus pada teknologi (AI, 5G, semikonduktor), energi, dan pengaruh di kawasan strategis seperti Indo-Pasifik. Ancaman non-tradisional seperti perubahan iklim, pandemi, dan ketimpangan ekonomi juga mendominasi agenda global. Dalam konteks ini, GNB menjadi suatu keniscayaan sejarah yang harus beradaptasi agar semangat KAA 1955 tetap relevan di tengah dinamika yang kompleks dan kepentingan nasional anggota yang sering bertentangan.

Relevansi Gerakan Non-Blok melalui Konferensi Asia-Afrika

Bung Karno sebagai tokoh penting saat itu menunjukkan konsep diplomasi cerdas untuk mengingatkan dunia akan pentingnya nilai-nilai universal yang tidak terkooptasi kepentingan politik serta dominasi Amerika ataupun Soviet. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun