Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pembusukan di Lingkaran Istana & Konstelasi Politik Nasional di Balik Penangkapan 2 Menteri Jokowi Periode Kedua

6 Desember 2020   18:53 Diperbarui: 6 Desember 2020   22:48 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : kompas.com)


Kita terkejut mengetahui berita Menteri Sosial Juliari P Batubara menyerahkan diri di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari sesudah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Sosial terkait bantuan sosial (Bansos) untuk wilayah Jabodetabek 2020.

KPK menetapkan lima tersangka dengan barang bukti Rp14,5 miliar dalam kasus tersebut. Kelima orang yang menjadi tersangka dalam gelar perkara usai KPK melakukan OTT terhadap pejabat Kemensos tersebut yaitu :

1. Menteri Sosial (Mensos), (Juliari Batubara.)
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos COVID-19 Kemensos, (Matheus Joko Santoso.)
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos COVID-19 Kemensos, (Adi Wahyono.)
4. Supplier rekanan bansos COVID-19, (Ardian I M.)
5. Supplier rekanan bansos COVID-19, Harry Sidabuke

Kejutan sebelumnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, Rabu (25/11/2020) dini hari. Menteri KKP Edhy Prabowo beserta istrinya, Iis Rosita Dewi adalah dua diantara 17 orang  yang diamankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan tipikor izin ekspor benih lobster.

Rakyat terkejut, kecewa, dan marah membaca realita dua menteri kabinet Presiden Jokowi ditangkap kurang dari dua bulan terakhir di penghujung tahun 2020.


Kita tentu saja patut acungi jempol atas gebrakan KPK mengungkap korupsi sampai di tingkat menteri. Namun ada hal yang lebih menarik untuk kita kaji bersama dengan pertanyaan sederhana :

Ada konstelasi persoalan apa dalam peta politik Nasional di balik penangkapan 2 menteri ?

Penangkapan Menteri Sosial oleh KPK menyusul Menteri KKP hanya dalam tempo kurang dari dua bulan selain dari dimensi penegakkan hukum UU Tipikor juga tentu memiliki dimensi politis. Menteri adalah pembantu presiden yang mayoritas berasal dari partai politik dan hanya sebagian kecil dari para menteri berasal dari kelompok profesional. Kondisi ideal yang diharapkan oleh presiden tentunya adalah terciptanya sinergi politik dalam birokrasi pemerintahan.

Namun idealita politik tersebut dihadapkan pada disrupsi kepentingan pragmatis para politisi.

Pemberlakuan diskresi kebijakan dalam menjalankan strategi penanggulangan pandemi Covid-19 tentunya membawa harapan akan kecepatan dan efektifitas layanan pemerintah kepada rakyat. Pada sisi lain, diskresi kebijakan menambah risiko terjadinya ancaman bahaya runtuhnya moral (moral hazard) para pejabat untuk melakukan penyalahgunaan otoritas yang menguntungkan mereka.

Disrupsi Kepentingan Elit Politik di Tengah Momentum Pandemi Covid-19

Penangkapan Menteri KKP Edhy Prabowo dari Partai Gerindra  bulan November dan diikuti penangkapan Mensos Juliari Batubara dari partai PDIP menunjukkan parahnya sengkarut kepentingan oknum pejabat tinggi dalam kabinet Presiden Jokowi periode ke-2.

Ada proses pembusukan dilingkaran Istana Presiden dengan fenomena rusaknya integritas pejabat kementerian yang bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada Presiden Jokowi.

Dua menteri ditangkap KPK dalam waktu kurang dari 60 hari, bukan hal biasa. Kita beberapa kali mengetahui Gubernur kepala daerah ditangkap KPK, namun ditangkapnya menteri saat sedang menjabat aktif  merupakan kasus spesial.

Pada sekitar bulan April 2020, Rudy S Kamri sudah menulis opini tentang banyaknya cacing kremi di seputar istana yang akan mengganggu kinerja pemerintah dan mengancam citra presiden. Tulisan opini Rudy S Kamri (April 2020) yang menyoal kegaduhan staf khusus Presiden di awal pandemi sangat jelas dan tegas bahwa  Presiden harus membuang cacing kremi di lingkaran Istana.

Potensi kasus buruknya kinerja para menteri sebenarnya sudah tersirat dari kemarahan Presiden Joko Widodo dalam video yang ditayangkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020). Dalam video pidato pembukaan sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020), Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan keras dan menyoroti buruknya kinerja para menteri kabinetnya, serta mengeluarkan ancaman perombakan atau reshuffle kabinet.

Presiden marah dan menyoroti lambannya kinerja menteri yang tercermin dari rendahnya serapan anggaran penanganan Covid-19. Kementerian kesehatan saat itu disoroti tajam dalam lambannya respon penanganan covid-19.

Ketua KPK Firli Bahuri di kantornya, Jakarta, (Ahad, 6 Desember 2020) menjelaskan kepada berbagai media kronologi pemantauan kasus korupsi dengan adanya program pengadaan bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan total anggaran senilai sekitar Rp5,9 triliun.

Dalam upaya menjalankan program tersebut, Juliari menunjuk dua Pejabat Pembuat Komitmen di Kemensos, yaitu Adi Wahyono, serta Matheus Joko Santoso. Para pejabat tersebut diberi kewenangan untuk bisa menunjuk langsung rekanan yang mengerjakan proyek.

Matheus dan Adi sebagai pejabat pembuat komitmen (ppk) kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa perusahaan penyedia paket bantuan sosial, seperti Ardian I.M, Harry Sidabuke, dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) pada periode Mei sampai November 2020. PT RPI diduga milik Matheus, dan penunjukan langsung perusahaan tersebut terindikasi telah diketahui oleh Juliari.

Dugaan KPK, mereka menarik fee sebesar Rp 10 ribu dari tiap paket sembako seharga Rp 300 ribu  yang disalurkan ke masyarakat di Jabodetabek.

Juliari diperkirakan menerima Rp 17 miliar dari hasil korupsi bansos Covid-19 itu, dengan rincian pada periode pertama dari uang sebanyak Rp 12 miliar menerima Rp 8,2 miliar. Sementara pada periode kedua penyaluran bansos, duit yang diterima Juliari berjumlah Rp 8,8 miliar. KPK menduga uang itu digunakan untuk keperluan pribadi Juliari.

Beredar viral pernyataan Juliari tentang pentingnya pendekatan humanis untuk mencegah korupsi menjadi ironi setelah rakyat tahu justru menteri sosial pembuat statemen pencegahan korupsi ditangkap KPK.

Dugaan pungutan Rp 10.000 per paket sembako dari perusahaan rekanan, bisa saja dianggap "bukan korupsi" oleh para pejabat di lingkungan Kementerian Sosial.

Praktik pungutan seperti itu nampaknya merupakan praktik umum yang biasa dilakukan dalam siklus pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi pemerintah.

Dana pungutan liar itu bisa bermacam- macam sebutan, misalnya bisa dikenal sebagai dana taktis, dana koordinasi (dako), ada pula yang menyebut dana lobby.

Service Fee, Dana Taktis, Dana Koordinasi ... dianggap wajar dan aman jika besarnya kurang atau sama dengan 20%.

Sistem kita sebetulnya sudah sangat rumit untuk mencegah korupsi, mulai peraturan terkait prosedur pengadaan barang dan jasa termasuk standard harga barang dan jasa. Serumit apapun sistem tentu masih ada celah yang memungkinkan peluang terjadinya pelanggaran (fraudulence).

Mengapa dua menteri itu ditangkap KPK ?

Pasti ada konstelasi peta politik Nasional yang melibatkan para elit negeri ini. Konstelasi politik itu kemudian memicu (trigger) pengungkapan korupsi oleh oknum pejabat politik sebagai pelaku namun sekaligus korban.

Permainan korupsi oleh oknum pejabat tinggi jika terlalu kasar, ya pasti sangat beresiko. Setiap kasus pelanggaran hukum di instansi pemerintah by system pasti akan terdeteksi secara berjenjang baik oleh inspektorat, BPKP, BPK dan KPK.  

Permasalahannya ada pejabat yang sensitif dan lantas sadar dengan sistem peringatan dini korupsi, namun banyak juga yang skeptis.

Saat pejabat skeptis dengan "early warning system", maka kondisi mereka akan tergantung pada dua hal yaitu bisa melakukan countertrade atau tidak. Mereka yang tidak bisa melakukan negosiasi taktis  sudah pasti akan terkena tindakan penegakkan hukum.

Kita mendukung penegakkan hukum bagi para koruptor, siapapun dia. Pengungkapan kasus korupsi di tingkat menteri ini lebih bernuansa politis.

Para oknum tokoh oposisi Presiden Jokowi merasa terancam dengan dipersempitnya ruang gerak mereka dan sebagian diungkap korupsinya,  serta banyak dari mereka terancam dilakukan tindakan hukum.

Situasi ini memicu pemantauan khusus beberapa menteri di kabinet yang nakal. Oknum pejabat yang nakal seharusnya memang diungkap dan ditangkap "by system."

Ada dua faksi di internal komisioner KPK, mereka yang dekat secara politik dengan pemerintah, dan mereka yang berseberangan. Kita tahu proses pemilihan anggota dan pimpinan KPK melibatkan proses politik. Itulah hal yang menyebabkan munculnya dua faksi itu.

Pengungkapan kasus korupsi sayangnya diduga kuat adalah bagian dari deal politik elit.

OTT menteri kelautan, memberi pressure ke Prabowo oleh tokoh kuat yang juga didukung eks para pendukungnya.  Tampilnya Novel Baswedan yg dekat dengan tokoh oposisi pemerintah bisa menyiratkan konstelasi politik pendukung oposisi dibalik penangkapan menteri KKP. Kepentingan para tokoh oposisi tersebut bisa saja untuk memancing Prabowo agar curiga dan ikut bergabung dengan oposisi Jokowi.

Media juga ramai memberitakan kasus Bosowa yang secara tidak langsung membawa nama Jusuf Kalla. Kita juga tahu bahwa Karni Ilyas sebagai tokoh media dengan program ILC nya, yang cenderung berpihak pada oposisi juga sedang diselidiki dan mulai diungkap adanya indikasi korupsi.

Ada 3 entry point untuk membuka kartu mati lawan politik di Indonesia yaitu pidana korupsi, pidana kriminal (umum & khusus), dan pidana pajak.

Jika ada masalah maka akan dilakukan protokol "countertrade" oleh para tokoh elit politik.

Jika apes tiba, si tokoh dengan profilenya akan bernasib sama seperti menteri sosial Juliari dan menteri KKP Edhy Prabowo.

Peristiwa penangkapan menteri kader Gerindra dan kader PDIP, selain karena tindakan pelanggaran hukum yang sudah mereka lakukan, bisa jadi juga merupakan pesan politis menjelang pergantian KAPOLRI dan pemilihan Panglima TNI tahun 2021.

Countertrade di dunia politik Indonesia masih saja terjadi dalam sistem politik negara sebagai proses mencari kesetimbangan antara Partai dan Presiden.

Kita harus memperbaiki sistem politik Indonesia untuk mempersempit ruang gerak poitik transaksional dan memastikan kedaulatan sistem hukum dengan kepeminpinan yang kuat dan bersih seperti telah ditunjukkan presiden Jokowi. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun