Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jugun Ianfu Ajisai dari Flores

12 November 2017   18:00 Diperbarui: 12 November 2017   18:31 3009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari nutraforwhitebeauty.org, amazonaws.com, dan liputan6.com

Seri Jyestha, si Penjelajah Ruang-Waktu

12 November 1948. Jyestha harusnya berada di Yogyakarta, mendengarkan Tan Malaka menyampaikan "Uraian Mendadak' di hadapan peserta kongres peleburan tiga partai. Sedikit keleliruan teknis telah membuatnya berada di Tokyo, di hadapan Flores no Ajisai, Jugun Ianfu tercantik semayapada.

Jyestha sudah menyusun matang rencana sejak awal bulan ketika ia dimintai redaktur untuk menuliskan perjalanan hidup Tan Malaka dan mengupas perseteruan tokoh revolusioner itu dengan tokoh-tokoh PKI dalam hal taktik perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan sosialisme Indonesia.

Mewawancari Tan Malaka tentu tidak mudah. Pengalaman klandestin di beberapa Negara membuat tokoh itu sulit percaya orang baru. Itu sebabnya Jyestha berencana bertemu Chairul Saleh terlebih dahulu, lalu bersama-sama pimpinan Murba Jawa Barat itu menuju Yogyakarta. Ia berharap Chairul Saleh bisa mengatur pertemuan khusus dengan Tan Malaka pada 12 November 1948 di sela-sela keramaian Kongres yang akan meleburkan partai-partai kiri non-PKI menjadi satu partai, Murba.

Jyestha memilih Chairul Saleh dibandingkan Adam Malik yang juga orang dekat Tan. Informasi bahwa Adam Malik --beberapa tahun kemudian-- menjadi  agen CIA cukup mengganggunya.

Chairul Saleh bukan tak punya cacat politik dalam sejarah. Ketika menjadi Waperdam III, Chairul Saleh berusaha menyingkirkan Wakil PM I Soebandrio melalui intrik berbahaya di tahun 1964 dengan menerbitkan dokumen palsu tentang rencana kudeta, '"Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini."

Tetapi mengingat pengalaman klandestin Chairul Saleh dalam memimpin Laskar Bambu Runcing Jawa Barat, Jyestha merasa lebih aman melakukan perjalanan bersama Chairul Saleh dari Jawa Barat ke Yogyakarta dibandingkan dari Jakarta ke Yogya bersama Adam Malik yang pengalaman klandestinnya semata menyusup ke Sendenbu dan figuran dalam peristiwa Rengasdengklok. Di masa vivere pericoloso, tepat memilih kawan seperjalanan sangat menentukan keselamatan hidupmu.

Jyestha telah berhitung matang bahwa 12 November adalah kesempatan terbaik untuk mewawancara Tan Malaka. Sebelum tanggal itu sulit. Dua bulan sebelumnya, Tan Malaka masih dalam penjara Wirogunan.  Ia dijebloskan sejak 3 Juli 1946 oleh keterlibatannya mendirikan Persatuan Perjuangan. Tan Malaka bebas pada September 1948 ketika PKI, saingannya itu, tergelincir provokasi Madiun. Antara September hingga November, Tan tidak bisa ditemui sebab berada dalam persembunyian dan kesibukannya mempelajari konsekuensi persetujuan Linggarjati dan Renvile yang merugikan posisi Republik serta perkembangan-perkembangan perjuangan dan kondisi internasional.

Jika dilakukan setelah itu akan lebih sulit lagi sebab Tan sudah berada dalam pertempuran melawan tentara agresi Belanda di front Kediri. Apalagi Jyestha punya keinginan untuk mencegah Tan berangkat ke Kediri sebab di sana kelak, 21 Februari 1949, di lereng Gunung Wilis, pasukan Letda Soekojo dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya menembak mati Tan.

"Sudah kaupersiapkan matang perjalananmu? Tanggal berapa dan di mana rencana pendaratamu?" Dhiracitta, Pemred Harian Kabar Lintas Waktu bertanya.

"Sudah, Boss. Aku akan mendarat di Merak, Banten pada 5 November 1948. Chairul Saleh sedang berada di sana. Aku harus dekati dia dulu agar bisa mendapat kesempatan mewawancara Tan."

"Begitu ya? Coba masukkan pertanyaan soal pandangan teoretik Tan atas Jalan Baru Muso. Apakah mungkin Jalan Baru itu landasan bagi PKI fokus pada taktik parlementaris di kemudian hari? Minta Tan menjawab sebagai intelektual agar fair, bukan sebagai musuh PKI. Itu akan berguna untuk melihat dari sisi teoretik strategi-taktik perjuangan apakah PKI secara institusional mungkin atau tidak terlibat dalam petualangan September 1965."

"Noted, Boss. Sudah kupikir juga. Aku berangkat sekarang, Ya."

"Yuppp. Jaga baik-baik arloji time-travelmu. Siapkan cadangannya. Jika rusak bisa-bisa tak pulang Kau."

***

Jyestha seharusnya mendarat di luar area pelabuhan. Tetapi entah bagaimana terjadi selisih titik koordinat, ia jatuh di atas geladak kapal tepat setelah blast terakhir, pertanda kapal itu segera  melepaskan pelukan pada tubuh dermaga yang dingin. Beruntung Jyestha jatuh pada geladak di buritan ketika sedang tidak banyak orang di sana.

Jyestha membutuhkan sekitar 3 jam untuk memulihkan kesadaran dan tubuhnya yang limbung. Perjalanan melintasi waktu itu menyiksa fisik sebab ketika berangkat tubuh terurai menjadi partikel-partikel atomik yang bergetar dalam frekuensi sangat tinggi, dan ketika tiba getaran partikel-partikel atomik mereda agar tubuh kembali tersusun utuh.

Setelah kesadaran pulih, Jyestha berencana mencuri salah satu tender karet pada lambung kapal dan segera mengayuh kembali ke daratan. Tetapi beberapa  kelasi Belanda bersenjata dan sejumlah penumpang sedang berada di geladak samping. Memaksakan diri hanya akan memancing belay dan berujung penjara.

Saat itu, hingga 1956, Pelabuhan Merak masih berada di bawah kekuasaan Belanda dan berfungsi sebagai pelabuhan ekpor-impor hingga 1948. Jika tertangkap, tentulah ia jadi tahanan Belanda. Tak mungkin berharap pasukan Brigade Tirtayasa yang menguasai Banten untuk membebaskannya sebab sebentar lagi, 23 Desember 1948, pasukan Belanda berhasil menduduki Cilegon dan memaksa pasukan RI hijrah ke Yogyakarta.

Jyestha bergerak ke dalam, mencari open seating caffetaria. Syukurlah, ia menemukannya. Ia memesan kopi, memilih meja kosong di pojok, dan berpura-pura menikmati kopi agar dapat mendengarkan percakapan para penumpang.

Rupanya ini adalah kapal terakhir yang berangkat dari Merak menuju Jepang. Kapal ini sejatinya sebuah  Shimushu --kapal pertahanan pesisir-- namun telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menyerupai kapal cargo. Hal itu dilakukan Belanda dan Jepang untuk memulangkan dengan aman sisa-sisa orang Jepang di Indonesia.

***

"Aku pernah bersamanya selama seminggu ketika mengawalnya sejak dari Flores ke Singaraja. Syuco di Flores menghadiahkan Ia kepada Cokan Minseibu. Sejak ditangkap dari kebun kopi orang tuanya dan diantarkan ke hadapan Syuko, ia tidak pernah diapa-apakan. Kecantikannya membuat Syuko takut menyentuh. Ohhhh, sungguh ia seperti Izanami yang menurunkan kecantikan Amaterasu. Aku menjadi seperti inlander, tak pernah berani tengadah memandang wajahnya."

Seorang lelaki bercerita kepada dua rekan semejanya. Dari perawakan, Jyestha menebak bahwa ketiganya serdadu Kaigun golongan B3 yang terlalu penakut untuk hara-kiri setelah kalah perang.

"Ah, betapa beruntung Cokan Sjoo Sunda Shu," kata rekannya.

"Jangan salah sangka. Cokan itu pun rendah diri di hadapan si gadis. Ia mengirimkan si gadis ke bossnya di Makasar. Tetapi rupanya Sokan Minsefu di Makasar merasakan hal serupa. Jadi gadis itu diserahkan kepada Gunseikan Dain Ni Nankenkantai."

"Haaaa, akhirnya Gunseikan Armada Selatan II Kaigun yang beruntung."

"Ketika pertama melihatnya, Gunseikan lancung bercucuran air mata. Gunseikan merasa telah melihat Amaterasu. Jadi gadis itu sama sekali tidak disentuh selama seminggu berada di kediaman Gunseikan. Kemudian si gadis dikirim ke Jakarta, diserahkan kepada Gunseikan Seizabura Okazaki. Tetapi Gunseikan Okazaki pun merunduk pada kecantikannya sehingga mengirim si gadis ke Saigon sebagai hadiah kepada Saiko Shikikan Gunsheireikan Osamu Batai, Jendral Hitoshi Imamura."

"Bagaimana setelah Saiko Shikikan Imamura melihat gadis itu?"

"Gunsheireikan menderita lemah syawat seketika itu juga. Memandang gadis itu tanpa sanggup melakukan apa-apa adalah siksaan yang lebih hebat dibandingkan neraka. Maka Gunsheireikan Imamura melayarkan gadis itu ke Jepang, menyerahkannya kepada Admiral Isoroku Yamamoto."

"Ah, akhirnya ia jadi gundik Admiral Yamamoto yang perkasa."

"Jangan salah, kawan. Admiral Yamamoto seorang terdidik dan takut kutukan. Daripada menelan tulah tenggelam oleh torpedo musuh di tengah lautan, Admiral Yamamoto menolak pemberian itu. Akhirnya si gadis diantar kepada yang mulia Hideki Tojo."

"Haaaah! Apakah Kamisori  Tojo  menyerahkan gadis itu kepada kaisar?"

"Tidak. Kamisori Tojo berahi padanya. Tetapi kecantikan si gadis membuat  kemaluan Kamisori menolak tegak. Jenderal sangat putus asa meski tidak pernah kehilangan berahinya.  Kalian pernah dengar desas-desus sang Razor itu hendak hara-kiri dengan pistol pada September 1945 dahulu?"

"Ya, pernah, waktu ia akan ditangkap dan dipenjarakan bajingan MacArthur ketika kita kalah perang."

 "Alasan sebenarnya adalah karena sampai dirinya akan dipenjara, Jendral Tojo belum juga bisa menikmati si gadis. Ketika diangkut ke penjara, Jendral hanya meninggalkan satu pesan kepada Taisei Yokusankai agar si gadis jangan sampai dirampas orang. Ia takut, Jenderal Kuniaki Koiso yang mengganti posisinya sebagai perdana menteri akan merampas gadis itu."

"Ah, aku ingin sekali melihat paras jugun ianfu itu."

"Ia diculik sebagai jugun ianfu, tetapi diperlakukan sebagai dewi. Setelah tiba nanti kalian bisa melihatnya. Pergilah ke Kairaku-en di Mito, Perfektur Ibaraki pada hari Kamis. Flores no Ajisai, demikianlah masyarakat kini menjulukinya oleh karena kecantikan yang setara bunga Ajisai, akan berada di sana. Konon setiap Flores no Ajisai tiba, berbagai bunga dan seluruh isi Kairaku-en tertunduk malu. Sakura, Hanashobu, Yukitsuri, dan bahkan bunga-bunga Ajisai itu sendiri kehilangan kepercayaan diri di hadapan kecantikan Flores no Ajisai."

***

Setelah enam hari perjalanan, kapal itu tiba di pelabuhan Tokyo. Jyestha sudah memutuskan untuk menyelidiki kediaman Tojo. Menguping percakapan tiga serdadu di cafeteria kapal telah menerbitkan tekad melarikan Flores no Ajikai kembali ke tanah air.

Rumah Tojo bergaya Kyoto machiya. Pagar kayu sederhana yang melingkupinya membuat Jyestha mudah mempelajari keadaan dari luar, dari balik rimbun bambu. Bukan tentara formil yang saat itu berjaga-jaga di sana melainkan Taisei Yokusankai, organisasi para-militer fasis yang didirikan Tojo. Jumlahnya hanya 3 orang. Seorang duduk pada kursi di pintu gerbang, dua orang sedang berbincang di engawa depan.

Orang pertama, yang menjaga gerbang, menggenggam sepucuk  Arisaka dengan sankur berkilat tajam di ujungnya. Pada pinggangnya bergantung sepasang Daisyo, terdiri dari sebilah katana dan sebilah wakizashi. Dua temanya di engawa hanya bersenjata sebilah gunto. Kyu gunto pada pria sebelah kiri dan shin gunto tipe 94 pada pria satunya.

Jyestha memutar ke belakang, masuk melalui rumah tetangga yang berbatasan perkarangan belakang dengan rumah Tojo. Rumah itu sepi. Mungkin pemiliknya sudah lama mengungsi untuk menghidari ancaman perang.

Jyestha memanjat pagar bambu setinggi 2 meter yang memisahkan halaman belakang kedua rumah itu. Di taman belakang, seorang perempuan bernyanyi kecil sambil menatap bunga-bunga. "Luar biasa cantiknya. Aku yakin inilah Flores no Ajisasi yang terkenal itu."

"Sssstttsss." Si gadis menoleh. "Konnichiwa, Ajisai-san. Mendekatlah."

Perempuan jelita itu mendekat dalam langkah ragu.

"Hajimemashite. Watashi no namae wa Jyestha desu.  Tanah air kara  kimashita. Aku datang untuk membebaskanmu."

"Oh benarkah, onii-san?"

"Ajisai-san harus segera keluar dari rumah ini setelah lewat tengah malam nanti. Besok Pengadilan Militer Internasional memvonis hukuman mati Hideki Tojo. Ia akan dieksekusi gantung di penjara Sugamo pada 23 Desember nanti.  Aku kuatir  orang akan mengambil kesempatan untuk membalas dendam pada Tojo dengan mengapa-apakan Ajisai-san."

"Namaku Cecilia. Aku tak tahu mengapa Nipong memanggilku Ajisai. Tetapi bagaimana Jeystha-san hendak membebaskanku?"

"Malam nanti akan kuceritakan. Ini, ambillah! Di bungkusan itu ada ramuan obat tidur untuk para begundal Taisei Yokusankai yang berjaga malam nanti. Campurkan dengan sake agar mereka tertidur pulas."

"Akan kulakukan."

"Baiklah, Ittekimasu, Cecil-san."

"Arigatou Gozaimasu, Jyestha-san. Itterasshai"

***

Lamat-lamat Jyestha mendengar suara banyak orang meneriakan yel-yel, "Timor Leste!, Timor Leste! Timor Leste!" Tiba-tiba terdengar bunyi rentetan tembakan dan orang-orang berteriak panik. Jyestha berusaha membuka mata dan menyadari jika ia tertidur di pinggir pekuburan. Di dekatnya orang-orang berlarian, tubuh-tubuh bergelimpangan, dan suara tembakan terus terdengar, mengimbangi pekik ngeri perempuan dan suara meregang nyawa para pemuda.

Dalam kondisi belum benar-benar sadar, otak Jyestha berpikir keras. "Ya, ampun, ini Tragedi Santa Cruz, 12 November 1991!" Mungkin arloji time-travel telah kehabisan energi setelah mengantarkan Cecilia ke kampung halamannya. Seharusnya ia menempuh perjalanan 68 tahun menuju 12 November 2017. Kekurangan energi membuat arloji time-travel  hanya mampu menempuh jarak 43 tahun. Setingan semi-otomatis menyebabkan arloji mengantarkannya ke ruang berlangsungnya peristiwa penting dalam waktu itu.

Jyestha harus segera keluar dari waktu dan tempat ini. Ia merogoh kantung belakang untuk meraih arloji cadangan. Sial!  Sepertinya terjatuh di Jepang.  Baiklah, pakai saja yang soak ini. Entah kapan dan di mana ia akan mendarat terserah, asalkan bisa selamat dari sini dan tidak ikut menjadi bagian dari 200an pemuda Timor Leste yang tewas di ujung senjata pasukan pimpinan Prabowo.

***

"Revolusiiiii! Revolusiiiii! Revolusi sampai menang. Demokrasiiiii! Demokrasiiii! Demokrasi sampai mati!" terdengar gemuruh teriakan dari ratusan ribu pemuda.

"Ah, mati aku. Arloji ini rusak. Aku pasti belum beranjak dari Timor Leste."

"Tolak...tolak...tolak Habibiiiiii, tolak habibi sekarang juga!"

Ini tidak mungkin Timor Leste. Habibie lah yang mengeluarkan keputusan penyelenggaraan referendum di Timor Leste. Jika ini Timor Leste tentulah terima kasih yang seharusnya diteriakkan.

Hari sudah gelap. Lampu-lampu jalan dan gedung-gedung tinggi berderet. Jalanan dipenuhi orang-orang, sepertinya para pemuda dan mahasiswa, tampak dari jaket almamater dan bendera-bendera merah berlambang bintang kuning berkibar-kibar. Mereka berada di dalam barisan panjang yang entah  berujung di mana.  Yel-yel revolusi dan tolak Habibie masih terus diteriakkan, diselingi lagu Darah Juang yang diciptakan John Tobing.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Para  pengunjukrasa berlarian. Sebagian justru maju dan melemparkan molotov.

Jyestha memilih ikut lari dan terbawa arus massa menuju Kampus Atmajaya. Ia berbaur dengan para mahasiswa yang terus bergelombang masuk ke area kampus.

Jyestha meraih selebaran yang dibagikan soerang mahasiwi. "Ya, Tuhan! Ini 12 November 1998, hari kedua dari 3 hari Tragedi Semanggi I." Unjukrasa ini akan memanas di esok hari. Kelak 17 orang tewas, termasuk 6 orang mahasiswa dan 2 orang pelajar SMU yang diterjang peluru aparat.

Jyestha sudah teralu lelah untuk melanjutkan perjalanan lintas waktu. Ia memutuskan tinggal dulu barang seminggu di tahun 1998.

"Hhhhhh. Militer Belanda, militer Jepang, militer Orde Baru Indonesia. Adalah militer, satu nama, jiwa, dan nalar untuk beraneka warna seragam dan tanah air. Huaaahhhh, 12 November yang melelahkan."

***

Tilaria Padika

12112017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun