Mohon tunggu...
Tiknan Tasmaun
Tiknan Tasmaun Mohon Tunggu... Administrasi - Praktisi herbal sekaligus blogger

Praktisi herbal yang ingin bermanfaat bagi sesama. Punya website di www.tiknan.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Zulkarnain, Nilai Tauhid dan Dakwah Wali Songo

5 Agustus 2010   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Zulkarnain

Kali ini penulis ingin membicarakan tentang nilai-nilai tauhid serta metode dakwah dengan melihat contoh praktek antara Zulkarnain dengan para Wali Songo di Tanah Jawa ini. Seperti diketahui bahwa nilai tauhid adalah nilai dasar segala ajaran agama tauhid. Dalam hal ini juga termasuk agama-agama budaya maupun filsafat-filsafat yang berisi ketauhidan. Karena dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia ini, seperti yang ditegaskan dalam salah satu ayat Quran sendiri, ternyata tiap bangsa oleh Allah swt dikaruniai ‘pembawa petunjuk atau pembawa kebenaran’ masing-masing. “Petunjuk” yang dimaksud adalah ajaran yang berisi nilai-nilai tauhid atau sekurang-kurangnya ajaran yang ‘mengarah’ kepada tauhid. Yang tentu saja kemudian kita yakini sebagai muslim bahwa muara kebenaran dari ajaran-ajaran agama terdahulu maupun ajaran-ajaran filsafat tersebut kemudian ‘diverivikasi’ oleh risalah yang dibawa Baginda Nabi besar Muhammad saw. sebagai khotimul ambiya’, Sang Penutup Segala Nabi atau Nabi Terakhir.

Petunjuk – petunjuk atau nilai – nilai murni yang berisi ketauhidan atau yang mengarah kepada ketauhidan atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai ketauhidan yang ada dalam bangsa-bangsa itulah yang kita namai zaman sekarang dengan sebutan ‘kearifan lokal’. Dari sejarah Zulkarnaen dan para Wali Songo kita bisa belajar bagaimana berdakwa dengan cara menghargai kearifan lokal tersebut sehingga dakwa bisa berhasil ‘membumikan’ tauhid – ‘membumikan’ Islam. Mengapa demikian ? Karena justru dari sejarahnya Zulkarnain sendiri bukanlah orang dari jazirah Arab, Syam, Persia, Palestina ataupun Tanah para Nabi. Dia dari Yunani. Tentu saja jauh dari ‘syari’at’ Nabi Musa maupun para Nabi lainnya. Namun nama beliau justru diabadikan dalam Quran. Beliau diilhami 'petunjuk' kebenaran oleh Allah. Itulah ‘petunjuk, pituduh, ngelmu sejati, shirath al mustaqiim, agama taudhid’ anugerah Allah kepada beliau yang kemudian beliau dakwahkan kepada sesama. Itulah nilai murni yang disusupkan Allah sebagai ilham kepada beliau melalui hati nurani beliau dengan cara Allah sendiri. Dan nanti kita lihat bagaimana cara beliau menyebarkan dakwah kebenaran yang telah beliau terima dengan tetap menghormati nilai-nilai kebenaran kearifan lokal pada bangsa-bangsa lain yang beliau dakwahi.

Di bawah ini saya turunkan tulisan yang sangat bagus dari Abdul Wahid Asa di halaman Refleksi dalam majalah AULA No. 04 Tahun XXXII April 2010 ( Majalah yang diterbitkan oleh PWNU Jawa Timur), demikian selengkapnya……

…..”Zulqarnain, atau ditulis Zulkarnain, dalam Bahasa Arab yang Indonesianya “bertanduk dua”, atau mempunyai dua tanduk. Sebuah gelar yang mengacu kepada hewan sapi misalnya, yang mempunyai senjata alat bela diri berupa dua tanduk di kepalanya. Tokoh yang nama aslinya Iskandar, atau dalam ungkapan barat bernama Alexander, kisah keberhasilannya menyatukan dua benua Barat dan Timur dimuat dalam Al-Quran surat Al-Kahfi, atau surat ke-18.

Zulkarnain, Alexander The Great, Alexander Agung ( Orang Jawa menyebut Sekender Agung : pen.) yang hidup 356 – 326 sebelum kelahiran Nabi Isa, salah seorang Maharaja Macedonia, Yunani Kuno. Ayahandanya Raja Philip putra Amytas II. Pada usia 13, selama dua tahun berguru kepada Aristoteles (384 – 322 SM), seorang filosof kenamaan dan dikenal hingga kini. Setelah itu diangkat sebagai Putra Mahkota. Hanya empat tahun magang, pada usia 19 tahun sudah dilantik sebagai Raja (336 SM).

Kisa Zulkarnain melegenda di dunia dan selalu dikaitkan dengan kebesaran, kekuasaan dan kebijaksanaan. Allah menurunkan firman tentang Zulkarnain, antara lain menjawab pertanyaan Kafir Kuraisy yang ingin menguji kebenaran kerasulan Kanjeng Nabi Muhammad saw. Orang Makkah pra-Islam sesungguhnya tidak tertarik dengan kisah ini karena mereka adalah masyarakat ‘picik’ yang kurang dikenal dalam pergaulan dunia. Pertanyaan tentang Alexander dan pemuda pengelana ‘Ashabul Kahfi’ merupakan titipan orang Yahudi di Medinah. Merekalah yang tertarik dengan kisah ini. Ternyata jawaban Al-Quran jauh lebih dari yang mereka butuhkan.

Iskandar Zulkarnain memang pribadi yang bisa dijadikan uswah bagi umat manusia. Usianya yang muda dengan kekuasaan yang besar dan bekal ilmu yang cukup, mendukung ambisinya yang kuat untuk mengembangkan keluhuran nilai kemanusiaan. Dalam masa pemerintahannya yang hanya sepuluh tahun, Iskandar mampu mengembangkan daerah kekuasaan dari Barat (pantai Samudera Atlantik) sampai ke Timur (tepi Samudera Pasifik). Dalam Al-Quran diungkap sebagai maghribassyamsi, tempat terbenam matahari dan mathli’assyamsi, tempat terbit matahari. Atau Maroko dan Spanyol di ujung barat, dan India serta Cina di ujung timur.

Sukses Aleksander dalam masa kerja sepuluh tahun ini, terbukti periode ideal setiap pemimpin menduduki kursi yang sama. Rasulullah saw sendiri masa efektif kerasuklannya di Madinah ternyata juga hanya sepuluh tahun. Tiga belas tahun waktu di Makkah merupakan tenggang apersepsi yang melandasi satu dasawarsa berikutnya. Kursi Presiden AS juga hanya diberi hak diduduki orang yang sama dalam dua masa jabatan. Menjadi Presiden seumur hidup atau berkuasa sampai tigapuluh tahun di Indonesia juga terbukti malah menimbulkan ketidakbaikan (mafsadah).

Kendati menaklukkan negara lain, Zulkarnain tidak serta merta menghancurkannya sebagaimana umumnya bangsa penjajah. Tapi dia malah menjalin kerja sama memperbaikinya. Alkisah, waktu berhasil mengalahkan Raja Persia Darius III (331 SM), Iskandar tidak menghancurkan peradaban Persia. Ia menggunakan politik akulturasi, yaitu mempertemukan budaya Barat dan Timur. Bersama itu menyampaikan pesan agar masyarakat hanya menyembah Tuhan Yang Esa. Di Persia dia mengawini putri Raja Darius, dan mengambil banyak pengawal dari tentara asli Persia (Iran sekarang).

Dari sini juga membuktikan bahwa budaya luhur tiap bangsa bersifat universal, tidak mengenal batas wilayah dan tenggang waktu. Begitu juga pesan ke-esa-an Tuhan atau tauhid yang menjadi inti ajaran Islam. Cara pandang semacam ini dianut oleh Walosongo – diteruskan oleh Nahdlatul Ulama – yang menghargai kultur setempat sebagai bagian dari agama. Para penyebar Islam di Indonesia (khususnya di Jawa), menggunakan budaya lokal sebagai media dakwah. Yaitu dengan menghilangkan unsur-unsur yang mengarah ke syirik dan menggantinya dengan nilai Islami. Dengan begitu, masyarakat sasaran dakwah tidak merasa tercerabut dari akarnya, serta tidak menimbulkan perbenturan nilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun