"Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat berarti mengkonstruksi ingatan historis dan membangkitkan ingatan emosional agar menumbuhkan kesadaran untuk memaknai sejarah secara benar." (Sri Sultan Hamengku Buwono X)
Peringatan Tingalan Jumenengan Dalem atau Ulang Tahun Kenaikan Takhta Sri Sultan Hamengku Buwono X dilaksanakan berdasarkan Kalender Jawa dalam upacara sugengan atau selamatan yang dilanjutkan dengan tradisi Labuhan.
Untuk menyemarakkan peringatan tersebut, sejak 5 Maret hingga 7 April 2019, Kraton Yogyakarta pun menyiapkan sejumlah rangkaian acara. Salah satu acara yang digelar adalah pameran naskah kuno Keraton Yogyakarta. Pameran ini terbuka untuk umum mulai pukul 09.00 WIB. Pengunjung hanya perlu membayar biaya administrasi masuk ke Bangsal Pagelaran.
Kali ini saya berkesempatan mengunjungi pameran bersama teman-teman blogger dari Kompasiana Jogja. Cuaca yang cukup cerah mendukung kegiatan kami hari Jumat siang itu. Setibanya di Keagungan Dalem Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta kami pun disambut Prajurit Dhaeng yang tengah berjaga di pintu masuk ruang pameran. Setiap pengunjung yang datang pun tidak diperkenankan membawa tas, kamera, atau gawai. Semua harus dititipkan di petugas jaga.
Di ruang pertama pengunjung akan diperlihatkan replika dari koleksi sepuluh peralatan emas yang khusus digunakan untuk penobatan Raja. Berbagai macam peralatan yang digunakan dalam prosesi penobatan Raja tersusun rapi di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta, tepat setelah pintu masuk. Yah, Kraton memang syarat dengan makna dan filosofi begitupun dengan kesepuluh benda berwarna emas yang menjadi simbol dari sifat yang harus dimiliki seorang Raja ketika berkuasa.
Kesepuluh pelambang sifat Raja itu pun dipamerkan sebagai bagian dari peringatan 30 tahun bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X. Setelah itu semakin memasuki ruangan pengunjung akan dimanjakan oleh penampakan beberapa naskah kuno yang ditulis ratusan tahun lalu. Ini adalah kali pertama naskah-naskah asli yang ditulis dengan aksara Jawa tersebut dapat dilihat langsung oleh khalayak luas.
Naskah-naskah yang dipamerkan ini diletakkan di dalam sebuah kotak kaca. Naskah-naskah kuno tersebut berbentuk babad, serat dan cathetan warni-warni dari perpustakaan keraton, KHP Widyabudaya. Sementara teks-teks bedhaya, srimpi, dan pethilan beksan, serta cathetan gendhing berasal dari koleksi KHP Kridhamardawa.
Babad berisi tentang sejarah Kraton Jogja. Sedangkan serat berisi tentang ajaran leluhur yang berkaitan dengan seni dan budaya. Naskah-naskah tersebut dipamerkan dalam 2 ruang pamer yang terpisah. Kabar gembiranya selain pameran naskah dalam bentuk fisik, beberapa naskah yang diserahkan British Library ditampilkan pula di pameran dalam bentuk digital.
Seperti yang kita tahu dalam catatan sejarah, Kraton Yogyakarta banyak kehilangan naskah yang berisi berbagai ajaran leluhur sejak peristiwa Geger Sepehi pada tahun 1812 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Hal itu terjadi setelah Inggris berhasil merebut Jawa dari Belanda.
Setelah ditelusuri, banyak manuskrip kuno milik Kraton yang hilang tersebut tersimpan di British Library. Selain di British Library, manuskrip kuno ini juga tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda.
Manuskrip ini telah diserahkan ke pihak Kraton dalam bentuk digital. Kini 75 manuskrip digital yang sebelumnya telah dikembalikan ke Kraton Ngayogyakarta dari British Library di Inggris bisa diakses oleh masyarakat umum melalui situs web Kraton Jogja dengan memilih menu Kapustakan.
Budaya dan sejarah adalah bagian yang tak terpisahkan dari lingkup lingkungan masyarakat yang mendiami suatu daerah. Oleh sebab itu, dengan terus mengingat, merawat, serta menjaga apa yang telah diwariskan leluhur adalah bentuk apresiasi kita dalam upaya pelestarian itu sendiri.
Seperti dimuat dalam situs resmi keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X berharap masyarakat luas dapat memaknai sejarah penting di masa lalu guna membangun peradaban yang lebih bermartabat, menyambut terciptanya keraton milenial untuk generasi bangsa dan semesta.