Mana yang lebih baik? Beberapa orang dokter tetap menyarankan pola makan seimbang sesuai fitrah manusia yang dikaruniai gigi taring. Yang mana, gigi taring tersebut tentu saja untuk mengoyak daging, seperti pada struktur hewan pemakan daging atau karnivora.
Satu hal yang pasti berbeda, ketika membeli makanan maupun snack di luar, saya sedikit kesulitan karena harus meneliti apakah makanan tersebut mengandung protein hewani atau tidak. Contohnya saja gorengan. Bisa saja dalam adonan gorengan tersebut mengandung telur. Ketika makan di resto atau cafe pun sejujurnya saya kesulitan mendapatkan makanan murni plant based, bahkan untuk sekadar penyetan. Jikalaupun kita cukup berani untuk memesan lauk tahu tempe dan lalapan saja (tambah bonus tatapan prihatin dari penjual dan pengunjung lain), maka kita perlu meragukan sambalnya. Karena pada umumnya menggunakan sambal terasi.
Meski cukup populer, di Indonesia, sepertinya 'kurang ramah' vegan. Terbukti kurang banyaknya resto, kedai, atau tempat makan apapun yang khusus menyediakan makanan bagi veganisme. Sesuai yang saya alami, pandangan orangpun masih asing terhadap kaum vegan ini.Â
Lalu apakah kelak saya akan meneruskan menjadi vegan selamanya? Atau akan melakukan pola makan ini kapan-kapan? Saya lebih memilih kembali ke setelan pabrik. Jiwa omnifora saya meronta-ronta. Nasi padang dengan rendang, nasi cumi hitam, bebek goreng, sungguh begitu sulit saya lewatkan.Â
Dari sini, akhirnya saya benar-benar mendapatkan hikmah berupa kesabaran, menahan keinginan, mendapatkan ilmu baru, dan pastinya menghasilkan tulisan.Â
Negeri Veganism, 15 Agustus 2025Â
Catatan 3 Agustus 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI