Suara kretek-kretek terus menggerogoti otakku. Berselingan dengan kicauan merdu Gatari yang tidak berhenti bertanya, "di mana harus menyimpan periuk?"
Mataku terbelalak. Di meja kayu lapuk dekat dinding gedek semut berderet. Jatah kami makan dua hari, nyaris tak tersisa. Periuk-periuk menganga kelaparan ditinggalkan oleh beras dan nasi. Barisan semut berwarna coklat tembaga telah mencurinya bahkan saat angin lembah belum lagi bertiup.Â
Kicauan Gatari semakin lama serupa kidung kuno yang di curi dari mulut canggahnya. Tinggi rendah nada terdengar harmonis mencercaku segala rupa. Tangannya sibuk menurunkan perkakas dari meja ke pawonan yang dari semalam tak tersentuh api. Kemudian berhenti. Tangannya berhenti. Kakinya berhenti. Tapi tidak dengan mulutnya.Â
"Lihat semut-semut itu mencuri seluruh makanan kita. Aku lapar. Apa yang bisa kamu perbuat untukku? Haruskah kita bakar rumah ini, atau desa ini, agar seluruh semut itu hangus, agar aku tak kelaparan lagi. Katakan padaku, di mana aku harus menyimpan periuk?"
Ya, kami belum makan sejak semalam. Nasi sepiring kecil sisa kemarin sore yang hendak kami gunakan sarapan pagi ini, sebagian besar sudah berpindah ke sarang semut. Mataku nanar menatap semut datang dan pergi, tanganku menggaruk perut. Mungkin jamur yang tumbuh subur di kulitku sedang menikmati makan pagi. Sialan memang.Â
Di mana harus menyimpan periuk ketika setan kecil itu terus berdatangan berbondong-bondong beserta anak cucunya? Seandainya ada doa untuk mengusir semut seperti doa mengusir setan. Saat ini bukan semut pergi, melainkan Gatari yang pergi. Dia membalikkan badan, melenggang keluar rumah tanpa berbicara sepatah katapun.Â
Akhirnya rumah ini sunyi. Hanya ada aku dan periuk-periuk. Periuk gerabah yang hangus di bagian bawahnya setelah berpuluh kali dilumat api demi mengenyangkan perut kami. Dan saat senggang, dialihkan sebagai tempat menyimpan beras yang tak seberapa.
Perhatianku kembali ke semut-semut berbaris di garis yang sama seperti tentara berangkat ke medan laga. Tak bergeser sedikitpun. Keteguhan kaum kecil itu sedikit memicu rasa kagumku.
Aku mengamatinya, menikmati pemandangan tentara berbaris seperti menonton televisi. Aku menikmatinya dengan tangan menyuapkan nasi ke mulutku. Nasi sisa sekepal kutambah sejumput garam untuk menahan tenagaku agar selalu ada. Hari ini aku harus mencangkul tanah seluas dua are, maka aku harus makan. Lauk garampun tak mengapa. Asin dengan rasa pedas. Tiada lauk sepedas semut.
Kemiskinan sudah sedemikian menelan kami. Dahulu ketika baru menikah, kami masih bisa menikmati uang. Setiap hari, lauk tempe atau tahu atau telur bisa tersedia di atas meja. Terkadang daging ayam, kami masih makan. Gatari masih bisa tertawa di dalam rumah, memasak makanan dengan riang gembira.Â