Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mari Sepakat, Tidak Ada Kamus Darurat Regenerasi Petani di Negeri Agraris!

27 April 2019   20:51 Diperbarui: 29 April 2019   12:17 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : instagram @kementerianpertanian

Cara baik mempertahankan kesinambungan pangan adalah regenerasi petani. Sementara cara yang terbaik menciptakan kedaulatan pangan adalah regenerasi petani yang visioner. ~Thurneysen

Bagiku, Thomas Robert Malthus (1766-1834) adalah seorang yang visioner. Salah satu teorinya berkata bahwa bahan pangan bertambah mengikuti deret hitung, sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur.

Artinya, pada titik tertentu bahwa jumlah penduduk akan jauh lebih cepat dibandingkan dengan ketersediaan pangan. Jika tidak segera diatasi, maka kemiskinan dan kemelaratan di muka bumi pun akan terjadi.

Setidaknya dengan teori tersebut, orang mulai berpikir dan berpacu untuk memecahkan masalah dengan mengembangkan teknologi pertanian. Salah satunya yang kemudian hari kita kenal dengan gagasan Revolusi Hijau.

Bangsa kita pun tidak luput dalam hal itu. Mengingat jumlah penduduk sudah menembus angka di atas 260 juta jiwa, maka sejatinya ketersediaan pangan pun harus tetap menjadi prioritas.

Kita Butuh Regenerasi Petani dan Petani Visioner

Aku tidak termasuk pada dua kategori judul kecil ini. Bukan bagian dari regenerasi petani, apalagi petani yang visioner.

Dulu, memang saya pernah kuliah di jurusan pertanian. Tapi tidak pernah bercita-cita menjadi seorang petani. Setelah menjalani kuliah dua semester di pertanian, baru menyadari bahwa ternyata hatiku tidak pernah jatuh cinta dengan jurusan tersebut.

Bahkan kalau mencoba mengingat kembali, ternyata dari kecil hingga menjelang kuliah tidak sedikitpun terbesit dalam benakku menjadi seorang sarjana pertanian.

Jujur, saya hanya mengambil jurusan pertanian karena ada tawaran beasiswa dari sebuah kampus swasta di kota Medan. Tawaran beasiswa tersebut tidak lain karena rata-rata Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMA-ku yang lumayan baik.

Alhasil, setelah menjalani perkuliahan setahun, ternyata tidak sedikutpun rasanya menikmati kuliah di jurusan pertanian. Kartu Hasil Studiku (KHS) memang tergolong baik dari satu angkatan. Tapi apalah artinya nilai baik kalau hatiku tidak ada pada bidang tersebut.

Prinsipku, lebih baik saya langsung pindah daripada berlama-lama menjalaninya. Kemudian, saya pun memutuskan untuk ikut tes UMPTN. Itulah akhir kisahku mengikuti kuliah di jurusan pertanian.

Berbeda dengan teman-temanku. Ada banyak yang sangat menikmati kuliah di jurusan pertanian. Saya kagum melihat perjuangan mereka. Mereka begitu antusias mengikuti perkuliahan dan mengerjakan setiap tugas praktikum semester demi semester.

Disamping karena kecintaan terhadap jurusan pertanian, ternyata mereka berasal dari keluarga yang memang sudah turun temurun menjalankan tradisi bertani. Bahkan diantara mereka ada yang berkuliah di jurusan pertanian karena memang ingin mendukung usaha orangtuanya setelah menyelesaikan pendidikan.

Wajar saja kalau mereka memiliki dasar kecintaan yang kuat serta lebih mudah beradaptasi dengan jurusan pertanian dibandingkan dengan diriku yang tidak ada latar belakang petani.

Tapi sayangnya, sebagian yang sudah terlanjur menyatakan jatuh cinta dengan jurusan pertanian, ternyata komitmen mereka lambat laun pudar juga, hanya bertahan 4 atau 5 tahun atau ketika kuliah saja.

Diantara teman-temanku, tidak sedikit yang kemudian mengubur impiannya, yang sudah lama dipupuk. mereka lupa kalau ingin menjadi seorang yang sukses di dunia pertanian.

Setelah menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pertanian (S.P.), ternyata pada akhirnya mereka justru memilih berkarir di luar jalur pertanian. Ada yang bekerja di bank, marketing, broker, dan lain sebagainya. Sebagian tergiur karena pekerjaan di luar jalur pertanian ada yang lebih "menjanjikan".

 Walau memang tetap ada juga yang bertahan pada jalur tersebut.

Memilih keluar dari jalur pertanian, memang sah-sah saja, tidak ada yang salah. Semuanya adalah pilihan setiap orang.

Pertanyaannya, apa kira-kira yang bakalan terjadi seandainya banyak sarjana pertanian yang pada akhirnya meninggalkan jalur pertanian dan bekerja di jalur non pertanian? Singkatnya, pertanian kita tentu tidak akan pernah maju.

Siapa yang akan membuat terobosan-terobosan baru terhadap kemajuan pertanian? Tentu mereka yang berkecimpung di sana dan yang pernah mendalami ilmu pertanian.

Bisa Anda bayangkan, sudah menggeluti jurusan pertanian selama 4 atau 5 tahun, tapi ilmu pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di kampus tidak diaplikasikan sama sekali. Sayang saja menurutku!

Hal itu pernah menjadi sindiran dari Bapak Presiden Joko Widodo pada sebuah acara Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) ke-54 di Bogor tahun 2017 lalu.

"Mahasiswa lulusan IPB banyak yang kerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?"

Jadi, cukuplah pengalamanku dan teman-temanku yang yang tidak komitmen berkuliah di jurusan pertanian. Berharap tidak menjadi pengalaman orang lain juga. Ketika sudah menggeluti kuliah di pertanian, tetap perjuangkan komitmenmu, majukanlah pertanian negeri ini.

Sesungguhnya bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis SDM di bidang pertanian. Dalam sebuah siaran pers yang pernah dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (www.lipi.go.id) mengatakan bahwa:

"Saat ini, usia petani nasional mengalami ancaman penuaan karena sebagian besar petani berusia 45 tahun keatas. Bahkan, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan mencatat bahwa rata-rata usia petani padi di tiga desa pertanian padi Jawa Tengah mencapai 52 tahun dan sedikit pemuda yang bersedia untuk melanjutkan pertanian keluarga. Berkaca dari hasil survei tersebut, bila ke depan kondisi itu dibiarkan saja, maka Indonesia akan mengalami krisis petani. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan regenerasi petani di negeri ini untuk mencegahnya."

Kemudian dari hasil survei LIPI tersebut pula dikatakan bahwa anak petani yang kembali menjadi petani untuk melanjutkan usaha tani keluarganya ternyata hanya berkisar pada angka 3 persen. Padahal berdasarkan data FAO tahun 2014 menunjukkan bahwa 90 persen pangan nasional diproduksi oleh pertanian skala kecil, bahkan untuk tingkat global 80 persen pangan diproduksi oleh pertanian keluarga skala kecil.

Sesungguhnya, apa yang harus kita lakukan untuk menyiasati masalah tersebut?

Kesadaran kita harus disegarkan kembali. Bangsa kita tetap masih menjadi negara agraris selain maritim. Pertanian masih cukup seksi sebagai ladang mata pencaharian dari masa ke masa. Lihat saja fakta berikut! Bahwa nilai dari investasi pertanian 2013-2018 di negeri ini ternyata masih sangat menjanjikan.

Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Untuk itu, perlu ditanamkan terus-menerus bahwa cita-cita menjadi petani masih menjadi peluang besar di negeri ini. Tidak akan ada matinya untuk bisnis pertanian. Hanya perlu ditawarkan dengan konsep kekinian yang sesuai era digital dan internet.

Sumber gambar : instagram @kementerianpertanian
Sumber gambar : instagram @kementerianpertanian
Kita perlu optimis dan mendukung pemerintah yang masih tetap mengejar target tahun 2019 akan lahir 1 juta petani milenial. Mengingat mereka adalah generasi melek digital yang ada di era ini. Maka tidak salah lagi kalau pemerintah sedang menyiapkan Indonesia sebagai Energi Digital Asia 2020. Dalam hal itu, sedang dilakukan pengembangan 4 inisiatif digital pada sektor strategis pertanian.

Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Selanjutnya, melalui sebuah kutipan dari www.detik.com, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi (yang mewakili menteri pertanian) pada acara Dies Natalis ke-63 Fakultas Pertanian Universitas Andalas, menyampaikan dalam orasi ilmiahnya tentang 6 strategi mengatasi kurangnya minat generasi muda yang terjun di sektor pertanian. Sehingga kesinambungan regenerasi petani tidak akan terganggu. 

Pertama, melakukan transformasi pendidikan tinggi vokasi pertanian. Enam STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian) yang semula program studinya hanya penyuluhan (pertanian, perkebunan, dan peternakan), harus ditambah dengan orientasinya pada agribisnis hortikultura, agribisnis perkebunan, mekanisasi pertanian.

Artinya, mereka harus disiapkan bukan sebagai petani saja, tetapi juga sebagai pelaku usaha.

Kedua, menginisiasi program penumbuhan wirausahawan muda pertanian bekerja sama dengan 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ketiga, melibatkan mahasiswa/alumni/pemuda tani untuk mengintensifkan pendampingan/pengawalan program Kementerian Pertanian. Keempat menumbuhkan Kelompok Usaha bBrsama (KUB) yang difokuskan pada bidang pertanian bagi pemuda tani. Kelima, mlakukan pelatihan dan magang bagi pemuda tani dalam bidang pertanian. Serta keenam, mengoptimalisasi penyuluh untuk mendorong dan menumbuh kembangkan pemuda tani.

Semoga dengan strategi tersebut, geliat regenerasi petani di negeri ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Apalagi mengingat bahwa semangat orang mengikuti kuliah di jurusan pertanian dari tahun ke tahun masih terus meningkat.

Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Sumber infografis : instagram @kementerianpertanian
Kita berharap, setelah menuntaskan perkuliahannya, para mahasiswa tersebut terus bertekad bulat menggeluti jalur pertananian ketika sudah menjadi seorang sarjana pertanian. Kemudian menjadi inspirator bagi anak bangsa, terutama para anak muda yang tinggal di daerah pertanian. Sehingga pertanian di negeri ini semakin maju dan diperhitungkan oleh bangsa lain. 

Dan pada akhirnya, tidak ada lagi kamus darurat regenerasi petani di negeri agraris ini. Bukan begitu?

Sumber Referensi : 1 , 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun