Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Terjebak dalam Ranah Kognitif

28 Juli 2017   09:02 Diperbarui: 1 Agustus 2017   14:08 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana acara peningkatan kompetensi guru (PKG) bagi para guru-guru SILN se-Malaysia di Johor Bahru, Johor. Foto/T.H. Salengke

Dunia pendidikan selalu terjebak dalam ranah kognitif, sampai saat ini dikotomi ilmu pengetahuan tetap saja berjalan di Indonesia. Penjurusan IPA dan IPS di jenjang Sekolah Menengah Atas (IPA) merupakan salah satu contoh bahwa pendidikan Indonesia senantiasa berada dalam kongkongan asumsi keberhasilan siswa yang diukur dari kemampuan kognitif.

Para praktisi pendidikan, orang tua, dan siswa sendiri sulit membersihkan persepsi bahwa kelas IPA untuk siswa yang pintar dan sebaliknya siswa yang kurang cerdas digiring ke kelas IPS. Selama masih ada jurusan di SMA, selama itu juga dunia pendidikan Indonesia belum sepenuhnya mendidik dan mengembangkan potensi siswa berdasarkan minat dan talentanya.

Buah dari penjurusan dan pemaksaan baik dari guru maupun orang tua, anak akan kebingungan memilih jurusan di perguruan tinggi karena terpaksa memilih berdasarkan jurusan saat SMA. Kalau akan memilih jurusan berdasarkan minat, pengetahuan dasarnya tidak cukup karena tidak pernah dipelajari di jenjang sebelumnya.

Orang tua sering terbawa-bawa mensikapi dikotomi ilmu pengetahuan yang melihat bahwa kelas IPA lebih bonafit dibandingkan dengan kelas IPS. Mereka sanggup memaksa anak masuk ke kelas IPA walaupun minat anak lebih dominan di IPS karena bagi mereka, kelas IPS diisi oleh anak-anak yang tidak pintar dalam akademik.

Keberhasilan di dunia pendidikan bisa saja didukung oleh aspek kognitif tetapi kesuksesan hidup seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh kognitif semata tetapi mencakup berbagai hal seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang saling melengkapi. Untuk itu, jangan sepelekan bidang minat anak karena kehidupan memerlukan job skill dan mental skill.

Dewasa ini, pemerintah Indonesia gusar dengan berbagai permasalahn sosial yang melanda masyarakat Indonesia. Segala bentuk penyimpangan sosial marak terjadi dan sangat meresahkan sehingga timbul ide penguatan moral sejak dini di lembaga pendidikan. Maka muncullah bermacam-macam program seperti literasi, pola pembiasaan mengawali dan megakhiri belajar dengan membaca do yang intinya penguatan moral yang biasa disebut aspek afektif.

Pada hemat saya, apapun bentuk programnya tidak akan berdampak besar selama agen dasar sosialisasi yang kita ketahui sangat mempengaruhi perilaku seorang anak tidak ditangani dengan bijak. Ada empat agen sosialisi yang berpengaruh besar terhadap kawarkter seseorang yaitu, keluarga, sekolah, masyarakat, teman sepermainan dan media massa. 

Ketika orang tua atau keluarga yang merupakan tahap awal sosialisasi berlangsung masih setengah hati dan bakan tidak peduli dengan karakter putra-putrinya, apapun program yang dilakukan di sekolah tidak akan berdampak besar. Demikian juga sekolah, selama masih terjebak dalam menilai anak dominan dari aspek kognitif, maka akan melahirkan orang-orang yang pintar tetapi tidak bijaksana. 

Teman sepermainan dan lingkungan masyarakat berpengaruh langsung terhadap perkembangan karakter anak. Namun dalam artikel ini, tidak menyorot banyak dua aspek ini.

Di zaman modern ini dengan teknologi komunikasi yang canggi, siswa mendapat pengaruh yang besar terutama media sosial dan juga televisi. Sehari-hari disuguhkan dengan hal-hal yang tidak mendidik sehingga peran pendidikan untuk menggilap mutiara bangsa menghadapi kendala yang besar apalagi berbagai kalangan cenderung bersikap represif daripada preventif.

Untuk itu, pendidikan terkesan bukan untuk membangun karakter tetapi melakukan rehabilitasi mental siswa yang telah terpengaruh oleh teman sepermainan, masyarakat yang acuh dan media massa yang kurang mendidik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun