Namaku Bagja. Aku seorang barista di sebuah kedai kopi di Bintaro. Tapi, tunggu dulu, aku sebenarnya tidak terlalu nyaman menyebut diri sebagai barista. Aku lebih senang menyebut diriku sebagai peracik kopi. Bagiku, istilah barista hanya mengesankan modernitas belaka, kalau tak boleh dibilang sok kekinian.
Namaku Bagja. Sudah hampir lima tahun aku menjadi peracik kopi. Kedai tempatku bekerja tidak besar dan tak semewah kafe-kafe yang hilir mudik di Instagram. Namun kedai tempatku bekerja adalah rumah bagi para penikmat kopi nusantara. Tempat di mana para pelanggan menemukan teman-teman barunya. Seringkali mereka membaur begitu saja meskipun belum saling hapal nama masing-masing. Seorang pelanggan tetap menyebut suasana kedai kami sebagai tempat peleburan aneka ide dan opini. Ini adalah sinkretisme kedai kopi, katanya.
Namaku Bagja. Setelah hampir lima tahun menjadi peracik kopi, ada satu obsesi yang belum kucapai. Yaitu meracik sebuah minuman kopi spesial. Beberapa kali sudah kucoba namun aku merasa belum puas.
Hingga suatu malam, datanglah seorang tamu ke kedai kami. Badannya besar, berambut gondrong, dan memakai pakaian serba hitam. Kutaksir umurnya lebih dari setengah abad.
Lelaki itu memesan espresso dingin, namun bukan seperti yang biasa kami sajikan. Dia ingin espresso dingin khusus dengan komposisi dan cara bikin yang dia mau. Maka satu persatu dia menuntunku membuat racikan sajian espresso dingin seperti maunya.
Proses yang cukup rigid dan bukan saja membutuhkan waktu lumayan lama untuk segelas espresso namun juga membutuhkan tenaga lumayan ekstra untuk mengocok balok-balok es, espresso, dan es cream menggunakan shaker.
Hasilnya, segelas espresso dingin dengan tekstur yang lembut dan rasa creamy dengan jejak tipis rasa kopi.
"Kamu bisa membuatnya untukmu dan untuk pelangganmu," katanya, "namun ingat, jangan sampai tertukar sedikit pun prosesnya,"
"Dan berhentilah ketika suara gaduh balok-balok es dalam shakermu berubah menjadi suara yang merdu," sambungnya, "kau tahu, setiap yang merdu dapat melenakanmu."
Aku hanya terpaku mendengar ucapan tamuku malam itu. Dan ketika aku belum sempat berkenalan dengannya, dia sudah pergi meninggalkanku sendiri di dalam bar. Kemudian lampu tiba2 menyala terang dan kudengar suara emak membangunkaku. Ya Tuhan, ternyata aku bermimpi!
*
Namaku Bagja. Aku seorang peracik kopi. Mimpi pada malam itu benar-benar melekat dalam ingatanku. Espresso dingin spesial dengan tekstur lembut dan coffee-creamy dengan proses pembuatan yang rigid dan tak boleh tertukar sedikit pun.
Pagi itu aku buru-buru menuju kedai. Lebih pagi dari biasanya. Aku segera saja mempraktikkan apa yang diajarkan oleh lelaki misterius itu, sebut saja namanya Mr. X.
Kuulangi persis seperti yang dia ajarkan di dalam mimpiku. Tak sedikit pun yang meleset. Dan, ya, Tuhan, espresso dingin ini benar-benar memikat lidahku. Bertekstur lembut dengan rasa creamy dan jejak tipis rasa kopi.
Bukan hanya aku yang terpikat dengan racikan eapresso ini, teman-temanku pun sepakat denganku. Dan pernah sekali waktu kucoba membuatnya dengan urutan proses yang berbeda dengan yang diajarkan Mr X, hasilnya... sungguh berbeda. Tak senikmat sebelumnya.
Namaku Bagja. Aku seorang peracik kopi, atau yang biasa kau sebut barista. Kau bisa bertemu denganku di kedai tempatku bekerja di Bintaro. Namanya Laku Kopi. Dan kau bisa memesan espresso dingin itu dengan menyebutkan namanya: Triple-X. Ini adalah menu yang disukai pelanggan namun dihindari barista karena rasanya yang memikat lidahmu namun bikinnya penuh perjuangan.
***
@thriologi
Bintaro, 20 Mei 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI