Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Sarjana Hubungan Internasional. Pembaca, Penulis dan Analis Sosial.

Tertarik pada isu politik, hukum, filsafat dan dinamika global. Sesekali mengulas kultur populer dan review film.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Merajut Benang dan Memeras Lemon: Kisah Dua Perempuan Hebat Mewujudkan Asa Bersama Amartha

29 Juli 2025   20:35 Diperbarui: 29 Juli 2025   20:33 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, tetesan air dari kabut di Lembang masih menggantung dedaunan. Perjalanan angkutan mobil yang kami naiki melewati rute dengan barisan kebun dan pepohonan yang tegak berdiri di antara jajaran kebun yang menjadi ciri khas area pertanian di Kampung Pojok Girang, Lembang.

Master Lemon dan Rumah Penuh Asa Milik Ibu Lina

Jalanan kampung yang licin oleh embun belum sempat mengering saat Ibu Lina membuka pintu rumah untuk memulai Kembali produksi lemon kemasannya. Udara dingin di Lembang terasa menampar wajah kami. Ibu Lina membukakan pintu bagi kami, para penulis Kompasiana yang memang menjadwalkan kunjungan untuk liputan singkat tentang bisnis yang Ibu Lina tekuni.

Diantara kerja keras yang saat ini ia jalani, ada sesuatu yang membuatnya bersemangat setiap hari. Tentu, bukan karena secangkir teh hangat di pagi hari, tapi karena mimpi bahwa usaha yang saat ini ia jalani akan bertumbuh besar seiring harapannya.

Tumpukan lemon kuning dari kebun suaminya sudah menunggu di halaman rumah produksinya. Kotak rak besar berjejer di depan rumah produksi minuman lemonnya. Di dapur, tiga orang karyawannya terlihat membantu beres-beres dan menyiapkan konsumsi bagi kami, tamu dari Ibu Lina. Terlihat, ada yang mengasah pisau, menyiapkan botol, dan mempersiapkan air untuk mencuci lemon. Semuanya memberi bantuan tenaga bagi Ibu Lina untuk memulai produksi lemon olahannya jadi minuman siap konsumsi.

"Pagi, Bu," sapa salah satu dari mereka. "Hari ini target dua ribu botol, ya?"

 Lina mengangguk. "Iya. Kiriman ke Jakarta harus berangkat sore ini."

Lima tahun lalu, semua hal yang ia jalani saat hanyalah impian. Ia ingat betul bahwa dulu ia perlu berdiri lama sendirian di dapur kecil rumahnya, memeras lemon dengan tangan kosong, menjual 10 botol pertama ke tetangga di barisan terdekat dari rumahnya, berjalan mengitari kampungnya ke kiri dan kanan. Waktu itu, label ditempel manual, botol dicuci dari kemasan air mineral.

Perjalanan merintis baginya bukanlah permulaan yang mudah. Tapi  Lina bertahan dengan semua Upaya dan kerja kerasnya, karena ia tahu, bahwa di setiap botol lemon yang ia kemas, di dalamnya ada cita-cita yang besar yang ingin dicapai. Semua lemon yang suaminya datangkan dari ia peras bersama air mata harapan.

Apa titik balik perjalanan usaha yang  Lina jalani?

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
 

"Saya butuh lebih dari sekadar semangat," ujar Ibu Lina

 

Tahun 2022, titik balik itu datang.  Lina mulai kebingungan ketika pesanan mulai berdatangan dengan modal yang kurang. Botol baru mahal, dan produksi lemon terhalang oleh beberapa kondisi cuaca dan faktor alam lainnya. Sementara pelanggan mulai komplain soal keterlambatan kiriman.

 

Lalu datanglah tim lapangan dari Amartha, perusahaan teknologi keuangan digital yang membawa sistem pembiayaan mikro ke pelosok desa. kan sekadar pinjaman, tapi pendampingan, kelompok usaha, dan rasa percaya bagi UMKM rintisan yang membutuhkan sokongan dana.

 

"Waktu itu saya deg-degan," kenangnya. "Tapi ternyata... ini bukan pinjaman modal usaha biasa. Ini support system bagi saya."

 

Bersama sembilan perempuan lain di desanya, Ibu Lina membentuk kelompok tanggung renteng. Meski mereka memiliki usaha dengan bidang yang berbeda. Mereka saling percaya, saling dukung, dan saling memastikan satu sama lain bisa bertanggung jawab atas dana yang dipinjamkan.

 

"Dua tahun lalu saya masih pinjam 3 juta per tahun, dan tahun ini 5 juta per tahun," kenangnya.

 

Awalnya Ibu Lina menerima Rp3 juta, dengan cicilan yang baginya terasa amat ringan hanya Rp60 ribu per minggu. Perlahan, seiring pertumbuhan usaha dan bertambahnya modal produksi yang perlu disiapkan, pinjamannya naik menjadi Rp5 juta dengan cicilan mingguan Rp100 ribu. Tidak terasa berat. Karena setiap minggu, ada puluhan botol lemon yang dikirim, dan adanya omzet yang masuk yang terus bertambah.

 

Dan yang lebih penting adalah ada yang percaya padanya, mimpinya dan usahanya.

 

Mengapa Ibu Lina memberi nama usahanya Master Lemon?

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
 

"Master Lemon itu bukan cuma nama produk. Itu nama anak saya."

 

Ibu Lina tertawa ketika saya menanyakan arti nama produknya. "Suami saya kasih nama anak kami: Dewantara Master. Biar jadi orang besar, katanya. Nah, karena suami saya dipanggil Pak Master di kampung, ya sudah... usaha ini saya kasih nama Master Lemon."

 

Kini, dari rumah produksi sederhananya di Lembang, Master Lemon memproduksi 600 hingga 2000 botol per hari. Tiga karyawan di rumah, tiga karyawan di kebun, dan 50 petani binaan suaminya ikut terlibat. Produknya sudah menyebar ke Bekasi, Cirebon, Jakarta, dan bahkan punya pelanggan tetap tiap minggu.

 

Pandemi sempat membuat segalanya berubah. Orang-orang berbondong-bondong mencari vitamin dan minuman sehat. Produk lemon Ibu Lina jadi primadona yang diincar oleh banyak orang. Di masa Covid 19 Ibu Lina sempat kewalahan oleh besarnya permintaan pesanan dan pengiriman, dan justru di masa itulah, kepercayaan pelanggan pada minuman Lemon Ibu Lina terbentuk.

 

Apa kisah unik yang pernah Ibu Lina Lalui?

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
 

"Saya pernah gagal produksi, rasanya pahit. Tapi ada yang bilang, justru itu sari lemon paling murni," katanya. Ia tak menyangka, kegagalan kecil itu justru membuatnya mengerti adanya pasar baru dan bertambahnya pelanggan.

 

Kini, varian produknya pun bertambah. Ada sari lemon murni 500 ml tanpa tambahan apapun, yang bisa dijadikan lemon konsumsi untuk 50 gelas. Ada juga lemon madu, dan ada juga varian siap minum seperti UC1000. Harganya ramah di kantong, dengan harga dimulai dari Rp5.000 hingga Rp50.000 per botol, dengan 3 varian kemasan

 

Apa kesan Ibu Lina setelah 3 tahun beriring dengan bantuan modal yang Amartha Berikan?

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

"Yang saya dapat dari Amartha bukan cuma modal usaha, tapi juga rasa percaya diri."

 

Ibu Lina tak berhenti belajar. Dari pendampingan oleh Amartha. Kini, nama Master Lemon telah tersebar ke banyak telinga, baik bagi mereka yang berdomisili di Kabupaten Bandung Barat ataupun mereka yang berasal dari luar. Testimoni pelanggan yang puas juga menjadi dukungan baginya.

 

Legalitas usaha pun dituntaskan. PIRT sudah di kantongi. Dinas Pertanian dan UMKM Bandung Barat turut memberi dukungan. Langkah demi langkah, usaha ini semakin membuat Master Lemon tumbuh dan kokoh berdiri.

 

Melalui layanan Celengan dalam aplikasi AmarthaFin, siapa pun kini bisa turut menyokong usaha seperti Ibu Lina. Dengan dana terjangkau, kita bisa membantu UMKM lokal berkembang dan berdaya. Investasi yang aman dan membuat siapapun dapat menerima manfaat investasi. Dana dari masyarakat jadi pendanaan berdampak yang dapat langsung membuka lapangan kerja, memperluas distribusi, dan memperkuat ekonomi desa.

 

Di balik setiap usaha kecil yang tumbuh di pelosok desa, ada tangan-tangan yang setia membantu dari balik layar, dan salah satunya adalah Amartha. Selama lebih dari 15 tahun, Amartha hadir bukan hanya sebagai penyedia dana, tapi sebagai mitra yang memahami denyut nadi perempuan pengusaha di pedesaan.

 

Amartha telah membangun ekosistem keuangan digital yang ramah dan mudah diakses, Amartha menjangkau mereka yang selama ini jauh dari layanan formal. Teknologi yang dikembangkan pun tidak sekadar canggih, tapi dibangun dengan hati, yang berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan.

 

Di setiap langkahnya, Amartha membawa komitmen keberlanjutan melalui tiga pilar yang menjadi prinsip dasarnya, yakni Madani untuk memperkuat solidaritas sosial, Bestari untuk membuka akses pada pendidikan, dan Lestari untuk merawat lingkungan. Karena bagi Amartha, pertumbuhan bukan sekadar angka, tapi tentang bagaimana setiap harapan kecil bisa tumbuh menjadi perubahan yang besar.

 

 

Apa Harapan Ibu Lina Ke depan?

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

"Saya ingin suatu hari nanti Master Lemon bisa berkembang lebih besar lagi. Nambah banyak varian dan bisa jadi produk unggulan pas orang nyari minuman vitamin C," ujar Ibu Lina sambil menatap rak-rak botol yang tertata rapi.

 

Ibu Lina percaya, harapan yang ia bangun beriringan dengan kerja dan usaha yang selama ini ia jalani bukan mimpi ataupun khayalan. Karena di tangan Ibu Lina, lemon bukan sekadar buah. Tapi juga doa, proses, dan bukti bahwa kerja keras tak akan berujung sia-sia.

 

Dan siapa tahu, botol lemon yang kita minum hari ini, adalah hasil dari mimpi sederhana yang pelan-pelan mewujudkan karena ada yang bersedia percaya dan membantu.

 

 

Catatan Penulis

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Di antara deretan botol lemon yang tertata rapi di atas meja itu, saya belajar bahwa perubahan tidak harus dimulai dengan modal yang besar. Ia bisa lahir dari dapur berukuran kecil, dari kulit tangan yang tidak lelah memeras lemon setiap hari, dan dari semangat seorang ibu yang ingin menapaki mimpi dan memiliki kehidupan yang lebih baik.

 

Bagi saya, perjalanan usaha yang dilalui oleh Ibu Lina bukan sekadar dongeng, tapi tentang dorongan motivasi dan keberanian diri untuk memulai sesuatu dari hal yang paling sederhana, kesabaran menghadapi rintangan dan kegagalan, dan keyakinan dalam diri bahwa setiap Langkah, sekecil apapun, bisa membangun perubahan besar, dengan niat, proses, dan hasil yang ditampilkan dalam sebotol sari lemon.

 

Mari percaya bahwa perubahan selalu mungkin. Dan itu bisa dimulai dari satu botol lemon, satu kelompok usaha kecil, satu investasi berdampak.

 

Sebagai pembaca, kita juga bisa ikut menjadi bagian dari cerita ini. Melalui Celengan Amartha, siapa pun bisa menyalurkan modal ke para pengusaha seperti Ibu Lina. Tak perlu dana besar, tapi dampaknya nyata.

 

Kalau kamu percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil, mungkin inilah saatnya. Karena kadang, memberi dampak itu sesederhana percaya pada satu usaha kecil... dan membantu ia tumbuh jadi besar.

 

Perjalanan Kami Mengulas Kisah Wirausaha Inspiratif Belum Usai

 

Dan ketika kisah tentang sari lemon hasil produksi dari Master Lemon tuntas kami dengarkan, kami tahu bahwa perjalanan belum usai. Masih ada satu pintu lagi yang harus kami ketuk untuk kami sibak kisahnya dan dalami ceritanya. Bukan tanpa alasan, karena di baliknya, ada benang-benang harapan sedang dirajut perlahan oleh tangan seorang perempuan muda yang tinggal di area wisata di Cikole.

 

Rajutan Benang Harapan dari Cikole

 

Kami tiba di rumah Ibu Sherly Novita sekitar pukul dua siang. Siang itu, kabut Cikole sudah tergantikan terik sinar mentari yang menerangi tanah Lembang. Bahkan, diantara teriknya siang hari udara dingin Lembang masih terasa segar dan menyejukkan. Kalaulah bukan karena tuntutan tugas, mungkin kami dibuat kantuk dan terlelap oleh tenangnya suasana dan sejuknya Lembang.

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Menapaki jalan gang yang tak jauh dari area wisata Kopi Luwak Cikole, kami disambut hangat Ibu Sherly.

 

"Masuk aja, aa dan teh. Maaf ya rumahnya sederhana," ucapnya ramah.

 

Tentu, bagi saya tidak ada alasan bagi Ibu Sherly untuk minta maaf pada kami, karena dari rumah sederhana inilah telah lahir ratusan souvenir rajut handmade yang tersebar ke berbagai tempat wisata di Kota Bandung.

 

 

Sambutan Hangat Ibu Sherly

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Senyum hangatnya mempersilahkan kami masuk ke ruangan tamu dimana telah disuguhkan beberapa camilan dan minuman yang telah sebelumnya ia suguhkan untuk kami. Tanpa menunggu waktu lama, setiap dari kami mengisi tempat kosong di ruangan itu sebagai tempat kami akan mulai mendengarkan dan menulis setiap kisah dari perjalanan yang Ibu Sherly jalani selama ia menjadi pengusaha benang rajut.

 

"Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk hadir," ujarnya. Ia memulai kata pertamanya dengan perwujudan dan terima kasih atas kami yang telah menyempatkan diri untuk bertamu ke rumahnya. Ia melanjutkan dengan beberapa untaian kata perkenalan dan berbicara dengan cara yang lembut sebagai pengelana atas produksi aksesori rajut yang saat ini ia tekuni sebagai wirausaha utamanya.

 

Sejak usia sekolah dasar, Ibu Sherly sudah gemar merajut. Ia belajar dari ibu-ibu tetangga rumahnya, di desa ini. Di desa ini, kebiasaan anak kecil untuk membantu ibu-ibu merajut benang jadi berbagai aksesori handmade telah berlangsung dari lama dan pekerjaan merajut untuk dibuat sebagai souvenir untuk dijual ke beberapa tempat wisata telah jadi kebiasaan yang dianggap turun temurun.

 

"Dulu mainan saya bukan boneka, tapi benang. Seneng aja kalau lihat hasilnya jadi barang lucu," ujarnya dengan hangat dan sedikit tersenyum.

 

Ia melanjutkan cerita, dimana setelah menikah di usia muda pada 16 tahun, Ibu Sherly menjadikan hobi yang ia lakukan sedari kecil itu sebagai sumber penghasilan. Usahanya dimulai dari menjajakan dagangan menjual pouch kecil di area wisata Tangkuban Perahu dan Ciater. Modal awalnya hanya Rp5 juta. Kini, setelah berjalan hampir satu dekade, rumahnya menjadi tempat diproduksinya ribuan souvenir handmade setiap bulan.

 

Titik Balik Bersama Amartha

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Tahun 2023, menjadi titik balik bagi perjalanan wirausaha yang ia tekuni selama ini. Melalui kelompok wirausaha tanggung renteng yang ia kelola bersama 5 orang ibu-ibu lainnya, Ibu Sherly bergabung dengan Amartha. Melalui modal usaha senilai 5 juta rupiah pertahun yang Amartha berikan pada tahun pertamanya bergabung. Ibu Sherly maksimalkan pinjaman itu untuk membeli benang-benang rajut dengan kualitas premium, dengan berbagai varian rajut yang ia kembangkan menjadi model-model terbaru. Tidak lupa juga untuk membeli alat bantu produksi seperti jarum dengan kualitas yang baik dan peralatan tambahan yang mendukung produksi aksesori rajutnya.

 

"Dulu omzet saya sekitar enam sampai tujuh juta per bulan. Sekarang, alhamdulillah, bisa sampai tiga belas juta. Bukan cuma dari banyaknya pesanan, tapi juga karena saya bisa jaga kepercayaan pembeli lewat kualitas aksesori yang saya jual," ujarnya.

 

Setelah ia menemukan rasa percaya diri. Saat ini ia telah memulai merek aksesori rajutannya dengan nama SN Collection, yaitu inisial namanya, Sherly Novita. Pendanaan berdampak yang ia hasilkan dari bantuan Amartha membuat kini produk tersedia di outlet wisata D'Castello, dan mungkin di tahun mendatang ia akan mempromosikan produk jualannya melalui di media sosial.

 

Ia juga bertutur, kalau dalam grup usaha yang ia jalani saat ini bersama Amartha telah bertambah anggotanya jadi lebih dari 10 orang. Tentu hal ini terjadi karena kisah sukses para anggota lainnya yang jadi inspirasi ibu-ibu di desa ini untuk melanjutkan usaha dengan bimbingan usaha dari pinjaman di Amartha.

 

Melanjutkan Produksi Menggunakan Sistem Terukur

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Proses produksi dilakukan sepenuhnya di rumah. Ia dibantu tiga orang karyawan, semua tetangganya. Mereka dibayar per bungkus gulung benang dengan upah Rp100.000. Rata-rata seorang karyawan bisa menghasilkan aksesori dari 9--15 gulungan per hari.

 

"Kalau baru belajar, saya suruh bikin yang gampang dulu. Setelah itu baru naik ke yang sulit. Saya juga yang cek hasil akhirnya, supaya tetap rapi dan layak jual," kata Ibu Sherly.

 

Souvenir yang dibuat bervariasi, dari dompet koin yang ia jual dengan harga Rp30.000 per pcs-nya, pouch kecil, clutch bag, tas selempang, hingga dengan harga paling tinggi yaitu crop top rajut seharga Rp250.000 per buahnya. Limbah benang dijadikan gantungan kunci dan juga dijual.

 

Ia melanjutkan ceritanya, bahwa suaminya yang juga punya usaha brownies, ikut membantu di malam hari untuk packing. "Kalau saya bagian produksi, suami bantu kirim dan kemas. Jadi kami saling dukung aja," katanya.

 

Sampai saat ini Ibu Sherly memutuskan untuk belum mengelola toko online-nya sendiri karena keterbatasan waktu dan wawasan digital yang ia miliki.

 

"Kalau buka hp juga paling history pencarian saya di masalah rajut benang" ujarnya

 

Saat ini ia fokus pada produksi dan pesanan outlet. Tapi ke depan, ia bermimpi bisa punya toko offline dan memperluas pemasaran ke segmen pasar yang lebih luas.

 

Apa Makna Rajut Buatan Tangan Bagi Ibu Sherly? 

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Dalam rangkaian sarasehan yang dijalani ia menuturkan, kalau untuk saat ini ia belum tertarik untuk melakukan masifikasi produksi melalui mesin. Karena baginya hasil rajut tangan memiliki nilai estetika yang lebih tinggi, baik bagi pembeli sebagai konsumen, ataupun baginya secara keuntungan komersial.

 

"Kalau dirajut pakai tangan, hasilnya beda. Variasi rajutannya lebih banyak, tarikan antara benangnya lebih halus, kerapatan bisa diatur, dan pembeli bisa lebih menghargai hasilnya," ujarnya sambil menjelaskan.

 

"Karena ini hasil buatan tangan. Jarang yang nawar kalau tahu ini handmade," tambahnya

 

Namun, sebagai strategi bisnis yang ia pelajari lewat praktik selama 10 tahun terakhir, dari 25 model rajutan yang ia kuasai, hanya 10 yang ia jajakan sebagai barang jualan di tempat wisata.

 

"Takut ditiru," katanya.

 

Apa Dampak yang Terasa dari Usaha yang Ibu Sherly Tekuni?

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

 

 "Saya senang bisa bantu tetangga punya penghasilan tambahan. Mereka kerja di sini, anak-anak tetap bisa sekolah," katanya.

 

Tak hanya menghidupi diri dan keluarga rintisannya, usaha Sherly juga membuka lapangan kerja dan membentuk ekosistem ekonomi kecil di kampungnya.

 

Baginya, manfaat investasi yang diberikan Amartha dalam menyokong usaha yang ia jalani bukan hanya memberi bantuan berupa pendanaan, tapi juga pendampingan untuk mengembangkan lebih lanjut bisnisnya. 

 

"Kalau dulu saya nggak ngerti harga jual yang wajar. Sekarang saya tahu cara hitung modal dan untung. Jadi lebih pede jualan," ujar Sherly.

 

Selama lebih dari 15 tahun, Amartha telah hadir di tengah komunitas akar rumput, terutama memberdayakan perempuan di desa-desa Indonesia. Tak hanya memberikan akses permodalan, Amartha membangun ekosistem keuangan digital yang dirancang khusus sesuai kebutuhan lapangan.

 

Amartha telah membuktikan bahwa mereka bukan sekadar platform P2P lending, melainkan mitra tumbuh bersama dengan memberikan akses penyedia keuangan yang inklusif. Setiap pengembangan teknologi di Amartha lahir dari pemahaman akan kondisi nyata para pengusaha kecil, demi inklusi keuangan yang benar-benar menyentuh ke pengusaha di akar rumput.

 

Komitmen ini diperkuat dengan tata kelola bisnis yang bijak dan bertanggung jawab, serta diwujudkan melalui tiga pilar keberlanjutan, yakni Amartha Madani yang memperkuat ketahanan sosial, Amartha Bestari yang membuka jalan pendidikan, dan Amartha Lestari yang menjaga kelestarian lingkungan. Bersama Amartha, perubahan dimulai dari akar, karena masa depan Indonesia yang adil dan berdaya dibangun lewat langkah kecil yang konsisten.

 

Catatan Penulis

 

Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Foto: Dokumentasi Pribadi Milik Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Di antara susunan tas dan benang warna pastel yang terhampar di hadapan kami, saya melihat sesuatu yang lebih dari sekadar souvenir hasil produksi tangan, yaitu ketekunan, kesabaran, dan mimpi yang ia bangun dengan kerja keras yang konsisten.

 

Saat kami berpamitan, Sherly sempat menoleh kepada kami, dengan benang-benang yang ia merapikan Bersama dengan berbagai aksesori yang ditampilkan pada kami, ia berujar.

 

"Saya nggak buru-buru sukses. Yang penting jalan terus. Mimpi itu harus dirajut pelan-pelan," kata Ibu Sherly.

 

Kata-kata itu sederhana, tapi terasa sangat dalam terdengar di telinga kami. Sebab di balik setiap souvenir rajut yang ia buat, ada harapan yang disulam perlahan olehnya. Dan selama ada yang percaya, benang-benang asa itu tak akan pernah putus.

 

Kami pulang saat matahari sudah mulai tenggelam. Tapi benang-benang kisah yang ditinggalkan Ibu Sherly tetap hangat terpatri dalam ingatan kami. Bahwa perempuan muda dari sudut Lembang itu tak hanya merajut tas dan dompet, tapi juga harapan yang mengikat kehidupan banyak orang di sekitarnya.

 

Ibu Sherly adalah satu dari jutaan perempuan pengusaha UMKM yang diberdayakan lewat sistem tanggung renteng dan pendampingan oleh Amartha. Kita bisa ikut serta dalam cerita ini. Lewat fitur Celengan Amartha, kita bisa memberikan modal bagi perempuan tangguh seperti Ibu Sherly agar tetap berkembang.

 

Dukung mimpi Ibu Sherly, Ibu Lina, dan ribuan perempuan wirausaha lainnya melalui investasi berdampak di Amartha. Dengan sistem tanggung renteng, cicilan ringan, dan pendampingan menyeluruh, setiap kontribusi yang kita tanam bisa menjadi benih harapan bagi perempuan desa yang gigih dan tangguh.

 

Dengan satu langkah sederhana, yaitu mengunduh aplikasi Amartha, kamu bisa ikut menyemai harapan di desa-desa. Dukungan dapat berupa bantuan modal melalui investasi Celengan Amartha yang bisa pembaca akses melalui link di https://amartha.com/individu/celengan/ ataupun dengan melakukan unduh aplikasi melalui https://amarthafin.go.link/9deGY.

 

Investasi di Celengan Amartha bukan sekadar menanam uang. Tapi menanam harapan.

 

*Artikel ini ditulis sebagai bagian dari agenda Narativ Kompasiana dan Fintech Amartha di Platform Kompas.

Penulis: Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Thoriq Ahmad Taqiyuddin, adalah seorang penulis yang gemar menangkap kisah-kisah manusia di balik hal-hal sederhana. Ia juga salah satu contributor tulisan dan opini di Kompasiana. Baginya, menulis bukan hanya soal bercerita, tapi juga menjembatani pengalaman, membangun empati, dan mencatat perubahan, betapapun kecilnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun