Mohon tunggu...
Mohammad Thoriq Bahri
Mohammad Thoriq Bahri Mohon Tunggu... Lainnya - Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi

Analis Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi, yang mencoba memberi warna dengan tulisannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan Pencari Suaka, Kelompok Ekonomi Rentan dalam Masa Pandemi COVID-19

13 Mei 2020   16:35 Diperbarui: 26 Januari 2021   09:07 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Ahmed akacha from Pexels

Pandemi COVID-19 telah mengurangi lalu lintas Internasional di seluruh Dunia. Pembatasan penerbangan yang beroperasi di seluruh dunia menjadi sesuatu yang lumrah, maskapai penerbangan yang sebelumnya menjadi primadona sektor ekonomi formal, saat ini harus memutar otak agar dapat bertahan di tengah merebaknya pandemi COVID-19. Implikasi dari pembatasan penerbangan membuat langit yang dulu penuh sesak menjadi hampa seketika, hanya pesawat udara yang mengangkut kargo peralatan medis dan kebutuhan pokok yang boleh beroperasi. Kondisi ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada mobilitas manusia di seluruh dunia, yang tentunya memiliki dampak yang tidak dapat di pandang sebelah mata.

Antara COVID-19 dan Flu Spanyol 1918.

"Mohon maaf bapak, saat ini paspor hanya dilayani untuk keperluan mendesak, sedangkan permohonan paspor untuk keperluan bekerja keluar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) untuk sementara ditiadakan". Seorang Customer Service Officer di sebuah Kantor Imigrasi menjawab pertanyaan dari seorang pemohon paspor, sembari menunjukkan sebuah peraturan terkait yang berisikan ketentuan pembatasan permohonan paspor yang berlaku di seluruh Kantor Imigrasi di Indonesia. 

Edaran yang dikeluarkan oleh Plt. Direktur Jenderal Imigrasi, dengan nomor IMI.GR.01.01-2114 Tahun 2020 tentang Pembatasan Layanan Keimigrasian dalam rangka Mencegah Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di lingkungan Kantor Imigrasi. Surat Edaran tersebut menyebutkan bahwa permohonan paspor hanya dilayani untuk mereka yang sakit, serta membutuhkan rujukan segera keluar negeri dan kebutuhan lain yang tidak dapat ditunda, seperti penugasan sebagai tim medis dalam rangka penanganan COVID-19. Praktis, permohonan paspor regular tidak dapat dilaksanakan, sehingga mobilitas manusia keluar wilayah Indonesia ke luar negeri menjadi sangat terbatas, atau bahkan terhenti sama sekali.

Disisi lain, melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi, dengan nomor IMI.GR.01.01-2325 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing untuk masuk ke Wilayah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia melarang lalu lintas mobilitas manusia masuk ke wilayah Negara Indonesia, termasuk di dalamnya adalah Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia. Peraturan ini tentu saja membuat beberapa perusahaan asing yang bergantung pada tenaga ahli dari luar negeri berhenti beroperasi. 

Penerapan beberapa peraturan terkait ini merupakan upaya positif pemerintah untuk membatasi penyebaran COVID-19. Diketahui bahwa COVID-19 hingga saat ini telah menjangkiti sebagian besar negara utama yang menjadi Investor terbesar di Indonesia. Kedua peraturan tersebut membuat mobilitas menusia keluar dan masuk wilayah Indonesia menjadi sangat minim, terutama untuk mereka para Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) maupun para pekerja asing yang mengais rejeki di wilayah Republik Indonesia.

Pembatasan lalu lintas internasional memang sangat penting, sebagai salah satu pelajaran berharga dari pandemik yang terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu. Pandemi "Flu Spanyol" sempat menjadi pandemi global pada tahun 1918 dengan jumlah infeksi mencapai 500 juta orang. Pandemi tersebut menegaskan bahwa pembatasan sosial merupakan langkah penting untuk mengurangi penyebaran sebuah Virus.

Kondisi pandemi pada saat flu spanyol merebak bebarengan dengan terjadinya Perang Dunia I. Hal ini membuat tidak diterapkannya pembatasan apapun, mobilitas tentara antar negara di negara terjangkit dalam titik yang maksimal, dan tidak ada upaya-upaya preventif yang dilaksakan pemerintah untuk masyarakat sipil. Kondisi pendemi flu spanyol  memberikan pelajaran bahwa pendekatan yang berbeda perlu diterapkan dalam penanganan pandemi COVID-19. Upaya maksimal guna mengurangi dampak pandemi diterapkan oleh Pemerintah berbagai negara di dunia, melalui berbagai pembatasan sosial, dan upaya-upaya preventif secara medis dan sosial yang di dimplementasikan secara masif.

Pembatasan yang Berdampak

Pembatasan mobilitas internasional sebagai upaya preventif dalam pencegahan penyebaran COVID-19 tersebut memiliki dampak terhadap sektor Kemigrasian secara global. Salah satunya adalah status Keimigrasian dari para Pekerja Migran yang tidak jelas, hal ini dapat dilihat pada pekerja migran yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di luar negeri sedangkan penerbangan untuk kembali ke negara asal sudah tidak tersedia. Sebagian negara akan memberlakukan kebijakan repatriasi bagi Pekerja Migran asal negara mereka, termasuk Indonesia yang mengirimkan beberapa armada penerbangan carter untuk menjemput Pekerja Migran di beberapa Negara terdampak.

Namun, sebagian besar pekerja Migran, terutama mereka yang berstatus illegal. akan memilih untuk tetap bertahan akan mencoba mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan jenis Visa yang mereka miliki, dan tinggal di tempat penampungan sementara.  Salah satu negara yang memiliki tempat penampungan semetara untuk Pekerja Migran adalah Singapura. 

Kondisi di tempat penampungan sementara ini secara prosedur kesehatan sangat rentan, hal ini dikarenakan kondisi sanitasi yang tidak layak, dan sebagian besar dari mereka harus tinggal berdesakan dan saling berbagi fasilitas antara pekerja satu dengan pekerja lainnya.F Fenomena ini cukup menarik, karena Singapura yang sebelumnya mengklaim memiliki angka infeksi COVID-19 terendah di ASEAN, tiba-tiba melonjak tajam dan menjadi negara dengan tingkat infeksi COVID-19 tertinggi di ASEAN, yang disebabkan karena tingginya infeksi para Pekerja Migran yang tinggal di tempat penampungan sementara, serta menjadi episentrum penyebaran COVID-19 yang teridentifikasi baru-baru ini.

Kemudian, dampak berikutnya adalah semakin tingginya angka ketimpangan global.  Negara-negara seperti Filipina, Bangladesh, Ghana, dan Honduras sangat bergantung pada pengiriman uang dari warga negara mereka yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. 

Bahkan, menurut data yang dirilis oleh Bank Dunia pada tahun 2018, negara berkembang secara keseluruhan menerima $ 529 miliar dalam bentuk remitansi, atau sebesar 75 persen dari total arus masuk investasi asing langsung diterima pada tahun yang sama. Dapat dibayangkan, dengan pembatasan selama pandemik COVID-19, maka sumber-sumber pendapatan untuk keluarga di negara-negara berkembang akan terkena dampak, menciptakan efek domino pada perekonomian negara yang bergantung pada remitansi, dan, pada gilirannya, semakin memperluas kesenjangan antara negara kaya dan miskin.

Dampak ekonomi berupa PHK massal, yang terjadi di negara destinasi pekerja migran dan terhentinya arus remitansi internasional akan menciptakan dampak yang lebih luas dalam jangka panjang. Meningkatnya angka kemiskinan dan kelompok ekonomi rentan akan mendorong meningkatnya angka kejahatan dan kriminalitas, terutama di negara yang menggantungkan perekonomian mereka terhadap pekerja migran mereka di luar negeri.

Work from Home (WFH), Apakah juga untuk Pekerja Migran?

Pada masa Pandemi COVID-19 ini, banyak dari Pemerintah di dunia memberlakukan kebijakan WFH, terutama bagi negara yang terdampak COVID-19. Penetrasi infrastruktur digital yang masif mempermudah penerapan kebijakan ini, namun pertanyaannya adalah apakah semua pekerjaan dapat dilaksanakan secara online?. 

Diketahui bahwa sebagian besar pekerja migran yang berasal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan bekerja di sektor-sektor informal. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja migran, terutama bagi mereka yang memiliki tingkat keterampilan yang rendah, mengharuskan mereka untuk bekerja secara fisik, dikarenakan pekerjaan seperti pekerja konstruksi hingga Asisten rumah tangga membuat WFH tidak dapat diterapkan. 

Pekerjaan sehari-hari para pekerja migran yang mengharuskan secara fisik pergi bekerja, menempatkan mereka pada risiko lebih besar tertular dan menyebarkan COVID-19 dan menempatkan mereka dalam kelompok rentan, karena banyak dari pekerja migran yang tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan yang layak.

Resiko Pembatasan dari Sisi Migrasi Internasional

Repatriasi, tanpa disertai kesempatan untuk mendapatkan penghasilan di tengah pandemic COVID-19, akan menjadi bom waktu bagi Pemerintah setempat. Berbagai dampak mulai dari ekonomi, ketimpangan, dan pembatasan mobilitas akan meningkatkan keputusasaan para pekerja migran yang dipulangkan tanpa jaminan ekonomi, sedangkan di saat yang sama, akses untuk bekerja secara prosedural keluar negeri semakin minim.

Dalam skenario seperti itu, para pekerja migran yang belum tersentuh bantuan ekonomi akan semakin sering menggunakan penyelundup, pedagang manusia, dan kelompok terlarang lainnya. Migrasi akan meningkat di jalur tikus yang tidak terdeteksi oleh pemerintah. Pekerja Migran Non Prosedural yang bekerja secara illegal akan melintasi batas internasional tanpa dokumentasi atau pemeriksaan kesehatan, yang tentu saja akan meningkatkan kejahatan transnasional antar negara.

Semakin suburnya migrasi illegal ini salah satunya dapat terdeteksi dari jumlah pencari suaka illegal, yang sesuai dengan data yang dirilis oleh UNHCR pada bulan Februari 2020 jumlahnya mencapai 14.000 orang, dan terus bertambah. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka banyak mengandalkan bantuan dari masyarakat sekitar dan bekerja di bidang informal, dimana sesuai peraturan yang ada, mereka tidak diperkenankan untuk bekerja secara formal. Kebijakan pembatasan menimbulkan kelompok rentan baru selain para pekerja migran yang tidak bisa melanjutkan pekerjaan mereka.

Saran dan Solusi

Pemerintah sebagai pihak yang memiliki sumberdaya, terutama dalam bidang ekonomi, memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan dampak yang ditimbulkan karena pemberlakukan pembatasan sosial terhadap para pekerja migran dan keluarga mereka. Sebelum terjadinya pandemi COVID-19, banyak dari pekerja migran yang tidak termasuk dalam penerima Bantuan Sosial maupun dalam Program Keluarga Harapan (PKH) karena mereka memang tidak termasuk dalam ekonomi miskin. Remitansi yang dikirimkan secara reguler membuat pendapatan keluarga pekerja migran tergolong berkecukupan. 

Namun yang terkadang dilupakan adalah adanya karakteristik dari keluarga pekerja migran yang termasuk dalam golongan ekonomi rentan. Dimana mereka secara ekonomi tidak dalam kelompok miskin, namun ekonominya mudah terdampak baik secara eksternal dan internal.  Selain itu, keberadaan dari para pencari suaka illegal juga tidak dapat dilupakan, karena jumlah mereka yang semakin meningkat dan adanya Pandemi COVID-19 yang membatasi pergerakan mereka, membuat para pencari suaka yang sebagian besar berasal dari daerah konflik ini juga termasuk dalam golongan ekonomi rentan.  

Pemerintah disarankan untuk memperhatikan kedua kelompok rentan, yang sebelumnya tidak menjadi sasaran utama dari bantuan sosial dari Pemerintah sehingga dampak COVID-19 baik secara jangka pendek maupun panjang dapat ditanggulangi lebih dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun