Mohon tunggu...
Thoriq AbdhiRamadhan
Thoriq AbdhiRamadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saya baru memahami bahwa dengan menulis dapat menghilangkan keresahan yang selama ini ada pada diri.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Restoratif Justice Sebagai Solusi Penegakan Hukum Yang Revolusioner dan Berkelanjutan

15 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 15 Mei 2023   00:05 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

Dalam penegakkan hukum kejaksaan pemiliki peran yang amat vital, selain menjadi wakil negara dalam setiap persidangan, kejaksaan juga dapat menentukan suatu tindak pidana dapat diteruskan ke meja hijau atau tidak.  Kejaksaan tidak selalu sebagai corong undang-undang, tetapi dapat bertindak lebih jauh dengan menciptakan penegakkan hukum yang humanis melalui penerapan keadilan restoratif.

1. Kaidah Hukum yang Menjadi Dasar Penerapan Keadilan Restoratif di Indonesia

Menurut Mardjono Reksodipoetro sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.[1] Setiap tindakan kejahatan yang masuk ke peradilan akan diidentifikasi, dituduh, diadili, dan kemudian dihukum sesuai ketentuan. Dalam sistem peradilan pidana terdapat 5 institusi/lembaga yang berperan yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. Keadilan restoratif dapat dilaksanakan tanpa harus menggelar persidangan. Kasus dapat dihentikan pada saat penyelidikan, penyidikan, ataupun saat dilimpahkan ke Kejaksaan. Pada ranah penyelidikan dan penyidikan keadilan restoratif dapat diterapkan dengan syarat dan kondisi tertentu. Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana menyatakan sebagai beritut :

  • Tindak pidana tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat untuk menerapkan keadilan restoratif.
  • Tidak menimbulkan konflik sosial.
  • Para pihak pelaku, korban, dan pihak terkait tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya dihadapan hukum.
  • Pelaku bukan merupakan residivis dan tingkat kesalahan relatif ringan.
  • Surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum dilimpahkan ke Kejaksaan.

Sementara pada ranah Kejaksaan penghentian penuntutan dapat dilakukan berdasarkan Pasal 14 huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penghentian tersebut dilakukan oleh karena kepentingan hukum.  Keadilan restoratif dapat dilakukan dengan syarat yang terdapat dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 sebagai berikut :

  • Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
  • Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 tahun.
  • Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Keadilan restoratif sejatinya sudah sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28D “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa akan menyebabkan sarana pemidanaan itu menjadi suatu pengancam yang utama.[2] Penjara akan dijadikan sarana balas dendam diantara masyarakat yang berkonflik. Padahal tujuan dari pemidanaan adalah agar seseorang tidak mengulangi kesalahannya lagi, dan pembinaan sekaligus kepada pelaku dan masyarakat. 

Keadilan restoratif saat ini hanya bisa dilaksanakan pada kasus tindak pidana ringan. Hal itu karena pada tindak pidana ringan kerugian yang diderita korban tidak terlalu besar dan  tidak terlalu membahayakan korban. Setelah lahirnya PERMA Nomor 2 Tahun 2012, besar kerugian yang semula ditetapkan oleh KUHP Rp 250,00 untuk dikatakan sebagai tindak pidana ringan diubah menjadi Rp 2.500.000,00. Perubahan itu dilakukan karena dirasa nilai mata uang rupiah yang sudah tergerus oleh inflasi. Berkaca juga dari kasus Nenek Minah dimana 3 buah kakao yang ia ambil harganya tidak sampai Rp 10.000,00. Dalam KUHP tindak pidana ringan mencakup hal berikut :

  • Pasal 364 Pencurian
  • Pasal 373 Penggelapan
  • Pasal 379 Perbuatan Curang
  • Pasal 384 Perbuatan Curang
  • Pasal 407 Mengancurkan atau Merusak Barang Orang Lain
  • Pasal 482 Penadahan Ilegal

Kasus-kasus diatas merupakan kategori tindak pidana ringan yang diancam dengan penjara maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 2.500.000,00.

 

2. Implementasi Keadilan Restoratif Pada Tindak Pidana Ringan

Tindak pidana ringan merupakan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang relatif kecil dan tidak membahayakan korban. Utrecht mendeskripsikan tindak pidana ringan, menggunakan istilah kejahatan enteng terjemahan dari kata Lichte Misdrijven dalam bahasa Belanda.[3] Selama ini tindak pidana ringan telah mendapat reaksi yang cukup keras di masyarakat, karena penanganan kasusnya tidak sesuai proporsionalnya. Ketimbang pelaku korupsi miliyaran, pelaku tindak pidana ringan justru mendapat perlakuan yang kasar dan bengis dari aparat penegak hukum. Berdasarkan sebuah penelitian bahwa pemberian sanksi pidana pada tindak pidana ringan tidak berjalan sesuai semestinya, hal ini disebabkan karena[4] :

  • Pemberian efek jera yang dilakukan tidak berjalan dengan baik.
  • Kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah.
  • Rumusan peraturan yang diterapkan pada tindak pidana ringan banyak yang sudah tidak sesuai.
  • Pola pikir masyarakat dan penegak hukum yang masih beranggapan “ada uang masalah selesai” menyebabkan masih berulangnya tindak pidana ringan.

Selain itu, kegagalan dalam sistem peradilan pidana pada proses pemidanaan yang merampas hak merdeka manusia juga menimbulkan dampak negatif. Proses merendahkan manusia yang dinyatakan sebagai narapidan telah melekat dipikiran masyarakat, menyebabkan narapidana yang sudah menjalani proses menjadi sulit dalam menjalani kehidupan. Tahanan justru menciptakan mental penjahat antar narapidana, tidak berjalannya proses pemidanaan pada narapidana dengan masa hukuman pendek, justru malah menciptakan penjahat baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun