Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Roti Kembang Waru, 400 Tahun Semarakkan Cita Rasa Nusantara

20 Januari 2021   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2022   05:47 2054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan roti kembang waru yang baru saja matang di atas tampah | Dok. pribadi/ Thomas Panji

Dari segi tekstur dan rasa, roti kembang waru buatan Basis memiliki tekstur roti yang cukup padat, namun masih cukup empuk dan halus ketika dikunyah. Karena teksturnya yang cukup empuk dan halus, maka roti kembang waru buatan Basis pun juga terasa cukup membal ketika dipegang. 

Rasanya seperti tangan kita sedang memegang dan meremas sebuah squishy yang cukup empuk. Rasa legit pun sangat mendominasi saat roti ini dikunyah dan bersentuhan dengan lidah.

Namun, rasa manis yang muncul sama sekali tidak mengganggu selera lidah dan tidak serat ketika harus ditelan. Aroma tepung dan wangi hasil pembakaran dari arang masih tertinggal betul di dalam adonan roti ketika dikunyah. 

Roti kembang waru menurut penulis adalah teman yang tepat untuk waktu minum teh atau kopi di sore hari, bersama teman atau kerabat dekat. Sembari asik menyantap, Basis pun juga ikut asik bercerita soal sejarah dari roti legendaris ini.

Menurut cerita Basis, pada awalnya roti kembang waru lahir atas kreativitas para juru masak Keraton Kotagede yang saat itu sedang mencari menu makanan baru. 

Akhirnya mereka pun terinspirasi dari banyaknya pohon waru yang hidup di sekitar maupun di luar lingkungan Keraton, yang pada saat itu masih dikelilingi oleh hutan. 

Ada beberapa jenis pepohonan yang tumbuh, seperti pohon mentaok, pohon randu, pohon nangka, pohon kelapa dan termasuk juga pohon waru.

“Pohon waru itu kan ndak berbuah mas, jadi juru masak Keraton atau abdi dalem bujana saat itu memanfaatkan bentuk bunganya, yang nanti akan dijadikan contoh untuk membuat cetakan kue. Cetakan kuenya itu terbuat dari bahan seng”, tutur Basis.

Saat ibu kota Kerajaan Mataram Islam beberapa kali dipindahkan, mulai dari Kotagede ke Karta saat masa pemerintahan Sultan Agung; dari Karta ke Plered saat masa pemerintahan Amangkurat I. Lalu dari Plered ke Kartasura saat masa pemerintahan Amangkurat II, tradisi menyajikan roti kembang waru dalam setiap acara Keraton pun tetap dilaksanakan. Namun, setelah Kerajaan Mataram Islam runtuh, tradisi membuat roti kembang waru akhirnya kembali ke Kotagede.

Menurut sepengetahuan Basis, di Kotagede masih terdapat banyak sekali peninggalan sejarah awal Kerajaan Mataram Islam, seperti Masjid Gedhe Mataram; Kompleks Pemakaman Panembahan Senopati; tempat pemandian; Watu Gilang; Hasto Renggo dan lainnya. Karena ada banyaknya peninggalan tersebut, maka secara tidak langsung segala sesuatu yang awalnya berasal dari Kotagede juga harus ikut dilestarikan, termasuk roti kembang waru.

“Jadi ya karena Kampung Bumen sendiri juga dulunya adalah tempat dimana pengerajin seng dan cetakan roti kembang waru berasal, jadi saya dan semua warga setempat berusaha mewarisi peninggalan kuliner Mataram tersebut”, tutur Basis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun