Oksigen Kedua yang Mengikat
Di zaman ini, hampir tak ada momen yang luput dari genggaman benda pipih bercahaya itu—handphone. Ia seperti oksigen kedua, dianggap vital, tetapi sering dipakai tanpa pikir panjang. Kita menentengnya ke mana pun, kapan pun, bahkan di waktu dan tempat yang seharusnya bebas dari distraksi. Racun ini begitu halus menyusup, membuat orang nyaris tak sadar bahwa ia tengah ketagihan.
Masjid dan Layar yang Tak Lepas
Coba perhatikan ketika ibadah Jumat. Waktu khotbah hingga shalat berjamaah biasanya hanya 30–60 menit. Sebentar, bukan? Namun, tak jarang terlihat jamaah datang dengan menenteng handphone. Seolah tak rela berjauhan. Di sela-sela khotbah pun masih sempat mengecek notifikasi, bahkan scroll media sosial. Pertanyaannya, niatnya ke masjid untuk apa? Apakah benar tak bisa melepaskan diri dari layar selama setengah jam demi fokus beribadah?
Lampu Merah dan Scroll Otomatis
Kebiasaan tak lepas dari ponsel juga terlihat di jalan raya. Begitu lampu lalu lintas berubah merah, refleks banyak pengendara adalah—bukan memeriksa kondisi sekitar—tetapi buru-buru membuka handphone. Jari-jari lincah menari di layar, scrolling tanpa arah. Lagi-lagi, buat apa? Jika memang pesan yang masuk begitu mendesak, bukankah voice call lebih cepat dan aman? Atau sebenarnya itu hanya kebiasaan otomatis tanpa tujuan jelas, sekadar membunuh waktu yang bahkan tak sampai satu menit?
Ritual Tidur yang Salah Kaprah
Ironisnya, kebiasaan ini tak berhenti di luar rumah. Saat hendak tidur, handphone tetap setia di pelukan. Sebagian orang menganggapnya “ritual” sebelum memejamkan mata: scroll media sosial, cek chat, tonton video pendek. Sampai tak sadar, mata tertutup sendiri, layar masih menyala. Apakah ini cara tidur yang sehat? Bukankah sebelum tidur seharusnya menjadi momen untuk menenangkan pikiran, merenung, atau sekadar menarik napas dalam dan melepas penat?
Toilet pun Tak Aman dari Layar
Lebih ekstrem lagi, handphone bahkan ikut masuk ke ruang yang mestinya menjadi wilayah pribadi penuh privasi: toilet. Banyak orang mengaku “lebih nyaman” buang hajat sambil memegang ponsel, membaca berita, menonton video, atau membalas pesan. Pertanyaannya, apakah kita sudah sedemikian takut sendirian tanpa distraksi, sampai momen di kamar mandi pun harus diisi dengan layar biru?
Hilangnya Momen Introspeksi