Pada mulanya, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi. Dia tidak terwakilkan oleh apa pun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Tuhan mereka terlalu luhur untuk ibadah manusia yang dianggap tidak memadai sama sekali. Wilhelm Schmidt dalam The origin of to Idea Of God, yang pertama kali terbit pada tahun 1912 mengatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia  mulai menyembah banyak dewa. Pada awalnya mereka mengakui bahwa ada satu Tuhan Tertinggi, yang telah menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. (Armstrong, 2013).
     Jauh sebelum manusia di seluruh belahan bumi mulai menganut agama dalam pandangan ketuhanannya  masing-masing sebagaimana dewasa ini, manusia telah lebih dahulu mengasosiasikan sesuatu yang tertinggi yang dianggap sebagai Tuhan yang bagi mereka, Ia berkuasa atas langit dan bumi dan mengendalikan kehidupan manusia dan alam semesta. Terdapat suatu monoteime yang merupakan salah satu model tertua yang dikembangkan manusia untuk menjelaskan misteri kehidupan. Dalam gambaran monoteisme yang dianut manusia, ditemukan kesamaan dalam pandangan tetapi memiliki perbedaan dalam penyebutan dan teologi; seperti orang-orang Latin mengalami numina (roh-roh) dalam semak yang dianggap suci, orang Arab merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin. Orang-orang Pantai Selatan di Papua menyebut Tuhan dengan sebutan Dema, orang-orang Larantuka menyebutnya dengan sebutan Rera Wula, dan orang-orang di pulau Timor menyebut Tuhan dengan sebutan Usi Neno. Demikianlah bahwa sebelum adanya agama orang-orang Nasrani, Yahudi, Islam, Buddha dan agama-agama lain di dunia, manusia telah mempersonalisasikan kekuatan-kekuatan gaib dan menjadikannya tuhan-tuhan, mengasosiasikannya dengan pohon, matahari, laut, binatang-binatang dan gunung serta batu sebagaimana orang-orang Timor memandang Usi Neno. Pandangan-pandangan dan keyakinan itu disebut monoteisme.
    Dalam pemikiran monoteistik, Tuhan diasosiasikan sebagai wujud tertinggi, pencipta, pengendali kehidupan dan objek utama dalam kehidupan. Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan dalam ruang lingkup masyarakat universal sehingga ditemukan terdapat berbagai macam konsep ketuhanan yang meliputi teisme, deisme, panteisme. Dalam pandangan teisme tuhan merupakan pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta. Menurut deisme, tuhan pencipta alam semesta, tetapi tidak ikut campur dalam kejadian di alam semesta. Menurut panteisme tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Ada banyak nama untuk menggambarkan Tuhan, dan nama yang berbeda-beda melekat pada gagasan dan pengaruh dunia gaib sebagai akibat dari kuasa tertinggi Tuhan, terutama karena kultur dan sifat-sifat khas yang dimiliki Tuhan. Konsep tentang Tuhan sangat bervariasi. Semua itu tergantung pada kultur dan cara pandang masing-masing. (Wikipedia.org)
    Jelas bahwa manusia mencari Tuhan berarti manusia berupaya untuk mendapatkan dan memperoleh suatu Dzat yang menciptakan makhluk dan seluruh alam semesta yang wajib disembah. Pencarian akan suatu wujud tertinggi merupakan hasrat lain dari manusai dalam memenuhi kebutuhannya. Disebutkan bahwa proses pencarian akan Yang Tertinggi, yang menciptakan dan mengadakan manusia dan seluruh makhluk di muka bumi merupakan kebutuhan di mana manusia merasa memerlukan keberadaan benda atau objek di luar dirinya agar kontinuitas kehidupannya dapat berjalan dengan baik. (Lusi, 2022).
    Permasalahan fungsi religi dalam replika monoteistik secara arketipal merupakan suatu problematika yang menimbulkan pertanyaan. Mengapa manusia percaya kepada adanya kekuatan supranatural yang dianggap lebih tinggi dari pada manusia dan mengapa manusia melakukan berbagai cara untuk membangun komunikasi dan mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisi tertentu dari bentuk-bentuk religi yang dianut oleh umat manusia sejak zaman dahulu, ketika kebudayaan masih primitif. (Sihotang, 2022).
    Sebagaimana uraian di atas, orang-orang Timor memiliki kepercayaan dalam lajur monoteistik sebagai dasar kepercayaan bahwa di luar dirinya, terdapat suatu wujud tertinggi yang menjadi penyelenggara atas hidupnya. Menelisik lebih jauh untuk mengenal konsep Tuhan dalam kepercayaan orang Timor, sejarah keagamaan sebelum masuknya tiga agama besar yakni Kristen Katolik, Kristen Protestan dan Islam, orang-orang Timor menempatkan Usi Neno sabagai Tuhan. Usi Neno secara etimologis berasal dari bahasa Dawan, bahasa asli orang-orang Timor. Usi yang  artinya Tuhan dan Neno yang artinya Langit. Secara harafiah Usi Neno adalah Tuhan Langit yang dalam linguistik orang-orang dawan adalah pencipta langit. Di samping sebutan itu, Usi Neno memiliki pengertian lain yang didefinisikan berdasarkan kuasanya yakni Usi Pah di mana Pah artinya Bumi. Usi Neno diasosiasikan selain sebagai penguasa langit juga merupakan penguasa bumi dengan sebutan Usi Neno dan Usi Pah dalam bahasa dawan. Kepercayaaan monoteistik tersebut merupakan wujud keterikatan manusia yang kompleks akan konsep-konsep sakral dan profan dalam hidupnya, sebab manusia memiliki hasrat akan sesuatu yang ada di luar dirinya.
    Sebelum penjajah masuk ke Indonesia, di wilayah Nusantara telah berdiri beberapa pemerintahan kerajaan, yang pada hakikatnya merupakan sebuah organisasi pemerintahan dengan sistem administrasi negara kerajaan. Pada saat itu, di samping kraton sebagai pusat pemerintahan juga berfungsi sebagai pembinaan dan pengembangan kebudayaan.
     Pada zaman dahulu, pulau Timor menjadi daerah jajahan bangsa Eropa. Pulau Timor bagian timur menjadi daerah jajahan bangsa Portugis dan masuk wilayah negara Portugal, sedangkan pulau Timor bagian barat menjadi daerah jajahan bangsa Belanda adalah masuk wilayah negara Indonesia. Pulau Timor bagian barat tidak seluruhnya masuk wilayah negara Indonesia, di bagian timur utara (kini bernama Ambeno) yang didiami suku Bunak merupakan wilayah negara Portugal. Penduduk pulau Timor, baik yang tinggal di wilayah Indonesia maupun wilayah Portugis terdiri dari beberapa suku bangsa khusus, yaitu orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang Belu, orang Kemak, orang Marae, dan orang Kupang. Yang membedakan suku-suku itu adalah bahasa dan beberapa unsur adat istiadat, serta sistem kemasyarakatannya.
     Pada zaman Belanda, pulau Timor bagian Indonesia (Timor barat) terbagi atas beberapa kesatuan pemerintahan (okal yang dinamakan vorstendom (kerajaan). Kerajaan-kerajaan fokal itu adalah Kupang, Timor Tengah bagian Selatan, Timor Tengah bagian Utara, dan Be!u-Kerajaankerajaan lokal atau swapraja-swapraja ini masingmasing terbagi lagi menjadi daerah kekuasaan administratif yang lebih kecil fagi bernama kefattoran, yang dikepalai oleh fettor. Di bawah kefattoran, ada desa-desa atau ketemukungan yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang dinamakan temukung. Sebuah ketemukungan biasanya terdiri atas sebuah desa-induk dengan beberapa desa-anak kecil-kecil lainnya yang masin dalam wilayah kekuasaannya. Kini, pulau Timor bagian barat yang dikenal dengan nama provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki daya tarik tersendiri untuk diteliti. Kuatnya mempertahankan tradisi dan menjalankan agama pada masyarakat Timor (NTT). Menjadikan orang Timor memiliki keunikan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. (Widiyarti, Sahda, Vohme I, Nomor 1, September 2006: 36 - 43).
     Secara administratif, suku Dawan kini berada di bawah pemerintahan Indonesia, mendiami sebuah pulau di propinsi Nusa Tenggara Timur yang ber-ibu kota di Pulau Timor-Kupang. Propinsi Nusa Tenggara Timur mencakup beberapa pulau besar yakni Pulau Timor, Pulau Flores, Pulau Rote, Pulau Sabu, Pulau Kera, Pulau Alor dan Pulau Semau. Sementara sebutan Banam, Oenam dan Onam merupakan tiga kerajaan  yang meliputi beberapa daerah yang kini berkembang berdasarkan sistem pemerintahan Indonesia, yakni Kecamatan Amanuban (Banam), Kecamatan Amanatun (Onam) dan Kecamatan Mollo (Onam). Ketiga kecamatan tersebut berada di dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Selatan yang ber-ibu kota di Soe. Walaupun secara definitif, kerajaan-kerajaan tersebut berada di bawah administrasi republik Indonesia, tetapi sistem kekerajaan yang membentuk identitas sebagai atoni meto (atoin meto), tetap melekat erat dalam kehidupan sosial budayanya. (Kemendikbud, 2022).
    Orang-orang yang mendiami pulau timor secara keseluruhan, di sebut atoni meto (atoin meto). Atoni di sebut Orang dan Meto di sebut Kering. Namun pengertian secara harafiah, Atoni Meto di sebut Orang Timor. Orang-orang Timor menyebut diri mereka sebagai orang yang menjunjung tinggi sistem kekerabatan. Menghayati eksistensi sebagai makhuk sosial, Atoni Meto memaklumatkan sebuah arketip metodis sosial sebagaimana hakekat manusia. Dalam sistem religi, Atoni Meto menyadari di luar dirinya, terdapat suatu emanasi yang secara fundamental merujuk pada yang profan demi kemakmuran dan kebaikan hidup sosial-imanen.  Â
     Dalam kepercayaan orang-orang Onam secara spesifik, meyakini suatu wujud tertinggi di luar dirinya sebagai suatu hasrat, bahwa manusia dan seluruh makhluk di dunia dikendalikan oleh kekuatan gaib yang oleh orang-orang Timor di sebut Usi Neno. Penyebutan Usi Neno tidak terdapat perbedaan yang signifikan, namun berbeda dalam penghayatan dan tata cara.  Penyembahan kepada Usi Neno bagi orang-orang Onam tidak secara gegabah dilakukan tetapi dilakukan dengan ritus tertentu, karena Usi Neno dianggap memiliki nilai transendental dan hanya dapat diakses dengan ritus-ritus yang pantas dan oleh orang-orang tertentu yang biasanya disebut usif atau raja. Penyembahan kepada Usi Neno mengandung arti yang secara sepintas merupakan kerinduan akan yang tertinggi. Menurut kepercayaan orang-orang Onam, Usi Neno berdiam ditempat-tempat yang tinggi seperti gunung yang dianggap keramat, seperti batu besar atau pohon besar. Usi Neno dalam konsep kepercayaan mereka, adalah yang mengatasi langit dan bumi sehingga secara universal Usi Neno dapat disebut juga Usi Pah.