Mohon tunggu...
Thomas Arkananta Basirin
Thomas Arkananta Basirin Mohon Tunggu... Siswa Kolese Kanisius Jakarta

Sudut Pandang Baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senandika: Yang Tersisa dari Kita

30 Juli 2025   08:46 Diperbarui: 6 Agustus 2025   08:17 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senandika itu sebenarnya kata yang menarik. Bagaimana dalam suatu kisah penuh dialog, kata-kata paling mengena adalah mereka yang dilagukan dalam senandika monolog? Tapi, entahlah, baru-baru ini seseorang mungkin saja menemukan makna yang lebih dalam dari kata itu, karena dia. Atau lebih tepatnya: karena kepergiannya, dan keheningan yang tertinggal.

Sejak itu, senandika menjadi teman yang setia. Tidak banyak bicara, tapi selalu hadir. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus berjalan, ia seperti ruang kecil yang tak terlihat oleh siapa pun, tempat segala perasaan disimpan diam-diam, karena tak tahu harus dibagikan kepada siapa lagi.

Orang-orang di sekitarnya jatuh cinta. Mereka tertawa di telepon, membagikan perasaan terdalam mereka, menyebut "kita" dengan mudah, seolah dunia memang diciptakan untuk dua orang, bukan satu. Mereka menggenggam tangan, bertukar pandang, dan berjalan beriringan menuju sesuatu yang tampaknya hangat dan penuh kemungkinan.

Sementara dia duduk sendiri, menyaksikan semuanya seperti penonton yang tertinggal di akhir pertunjukan.

Ia tak iri. Setidaknya bukan dalam makna buruk. Tapi ada jeda di dalam dadanya setiap kali melihat dua pasang mata saling bicara dalam diam yang penuh pengertian. Ia bertanya dalam hati, "Apakah aku akan pernah seperti itu lagi?" dan lebih sering dijawab dengan potongan kenangan yang terlalu tajam untuk disentuh.

Dalam senandika itulah cinta terus berbicara.

Kini, cinta bukan lagi sesuatu yang dibicarakan dengan suara lantang. Ia menjadi suara lirih di kepala, hadir saat malam mulai sunyi dan kota mulai tidur. Ia menjadi bayangan samar saat melihat pasangan lain tertawa kecil di halte, berbagi jas hujan, atau sekadar duduk berdekatan di taman.

Dalam senandika itulah cinta terus berbicara. Ia mengulang nama yang sama, membayangkan skenario yang tidak pernah terjadi daripada apa yang sudah. Tapi semua itu tinggal gema. Karena yang mendengarkan hanyalah dirinya sendiri.

Dan mungkin itulah yang paling menyakitkan, bukan karena sendiri, tapi karena begitu banyak kata yang ingin diucapkan, tapi tidak punya tujuan. Karena ia tahu, tak ada siapa pun di ujung sana yang sedang menunggu kabar darinya.

Senandika adalah cinta yang tidak lagi punya lawan bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun