Mohon tunggu...
Money

Pendapatan Masyarakat Meningkat 566%, Fakta atau Fiksi?

10 Januari 2017   22:40 Diperbarui: 10 Januari 2017   22:55 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

I.          Pendahuluan

Di era reformasi ini tercatat pendapatan masyarakat selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berikut saya memberikan data atau hitung hitungan yang langsung diambil dari BPS (Badan Pusat Statistik) mulai tahun 2000 sampai 2015.

Pada tahun 2000 pendapatan perkapita penduduk indonesia tercatat senilai Rp 6.775.000/Th atau sebesar Rp 564.583/bln, sedangkan pada tahun 2015 pendapatan perkapita penduduk indonesia tercatat senilai Rp 45.180.000 / Th atau sebesar Rp. 3.765.000/bln.

Artinya pendapatan masyarakat semenjak era reformasi meningkat sebanyak 566% atau 6 kali lipat. Ini angka yang cukup mengherankan sebenarnya, karna pada saat tahun 2000 (5th) sampai tahun 2015 (20th) saya tidak melihat adanya tanda tanda kesejahteraan tetangga ataupun kerabat saya yang meningkat sebanyak 6 kali lipat.

Memang benar saya baru berusia 5 tahun pada saat itu, tapi saya masih ingat betul kalau harga cemilan kebanggaan saat itu atau yang sering kita sebut mie sakura seharga 500 Rupiah, saya juga ingat saat itu saya di berikan uang saku sebesar 500 rupiah ketika saya masih SD kelas 1 sampai kelas 2, dan itu cukup. Bagaimana dengan sekarang?

II.         Fakta atau fiksi

  • Berapa sebenarnya gaji kita?

Sebenarnya uang yang kita pegang hari ini hanyalah selembar kertas, yang untuk membuatnya hanya di butuhkan dana kira kira Rp 400/lembarnya, berapapun nilainya, tetap saja untuk membuatnya hanya membutuhkan dana 400 rupiah perlembarnya, kita semua juga tau itu, karena di sekolah sering kita sebut dengan nilai instrinsiknya. Yang membedakan hanya nilai nominalnya saja.

Lalu, kenapa sebegitu susahnya untuk mencari lembaran yang sebenarnya tidak sebernilai itu? Ini karna BI (Bank Indonesia) selaku Bank Sentral di Indonesia menjamin Rupiah sebagai mata uang yang sah. Bank Indonesia punya hak untuk menjamin nilai rupiah, artinya Bank Indonesia juga punya hak untuk mencetak dan mengatur jumlah lembaran rupiah yang beredar.

Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi bahwa peningkatan pendapatan masyarakat meningkat bahkan sampai hampir 566%. Tapi kenapa masih saja banyak masyarakat yang merasakan sengsara, beban hidup yang semakin berat, masih saja harus ada pembagian beras miskin? Barang pokok dan non-pokok pun juga naik berlipat ganda, bahkan yang baru baru ini pajak STNK juga di kabarkan naik, padahal inflasi hanya berkisar 5% pertahunnya. “Katanya”, logikanya kalau inflasi hanya berkisar 5% pertahun harusnya harga barang barang di pasaran hanya meningkat sebanyak kisaran 5% pertahunnya, tapi nyatanya?

Tapi bagaimana jika kita menggunakan emas sebagai tolak ukur? Mungkin pertama kali mendengarnya, kita akan bertanya tanya, kenapa harus emas? Kenapa tidak USD? Jawabannya ya karena USD itu sama saja dengan rupiah yang nilai intrinsiknya hanya kisaran 400 rupiah saja per lembarnya. Dulunya memang USD merupakan mata uang yang baik di karenakan setiap 35 Dollar yang di cetak memiliki backup sebanyak 1 ons emas, tapi setelah tahun 1971 mencetak dolar tidak lagi di back up dengan emas, yang artinya juga, USD tidak lagi sebernilai itu. Kenapa? Karena mereka bisa saja mencetak uang seenak mereka, siapa yang tau? Siapa yang perduli? Karena yang kita rasakan hanya uang 500 rupiah yang dulunya bisa kita belikan sebungkus mie sakura, sekarang membutuhkan 2.000 rupiah untuk membelinya. Ini inflasi atau hilang? Kalau hilang, siapa yang mengambil? Tidak ada yang tau? Atau, tidak ada yang mau tau?

Henry Ford pernah berkata, “Barangkali ada bagusnya rakyat Amerika pada umumnya tidak mengetahui asal-usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi.”

Berbeda dengan emas, menurut referensi 1400 tahun yang lalu yang saya dapatkan;

Dari Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya mendengar penduduk bercerita tentang Urwah, bahwa Nabi S.A.W memberikan uang satu dinar kepadanya agar di belikan seekor kambing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga 1 dinar. Ia pulang dengan membawa 1 dinar dan seekor kambing. Nabi S.A.W mendoakan dalam keberkatan jual belinya. “Seandainya Urwah membeli debupun, ia pasti beruntung”. (HR. Bukhori)

Dari Hadist ini bisa kita ambil satu kesimpulan yaitu harga 1 ekor kambing adalah 1 Dinar, jika kita lihat berat 1 dinar adalah 4,25 gr emas, yang jika di konversikan ke rupiah adalah Rp 2.303.631 (Emas harga 10 Januari 2017). Jadi kalau nenek kita menyimpan uang 1 dinar pada tahun 1975 dan mewariskannya kepada kita sekarang, nilainya tetap masih bisa membeli 1 ekor kambing hari ini juga, beda halnya kalau nenek kita menyimpan uang di bank sebesar 2.500 rupiah pada tahun 1975, lalu mewariskannya kepada kita sekarang, kebanyakan kita mungkin akan berkata “gak usah nek, buat nenek aja” padahal uang 2.500 di tahun 1975 bisa di pakai untuk membeli 1 ekor kambing. Mengherankan? Ini kah inflasi yang sering di sebut orang sebagai hal yang biasa terjadi? Atau hilang? Kalau hilang, siapa yang mengambil? Tidak ada yang tau? Atau, tidak ada yang mau tau?

Setelah kita mengerti bahwa emas merupakan nilai tukar yang stabil, dan tentunya adil untuk masyarakat seperti kita, kita ambil data tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2015 dari BPS tentang pendapatan masyarakat perkapita per tahunnya.

Tercatat pada tahun 2000 pendapatan perkapita sebesar; Rp 6.775.000/th atau setara Rp 565.000/bln, jika di emaskan (Rp 75.245/gr) menjadi 7,50 gr Emas/bln (menggunakan nilai tengah antara harga tertinggi dan terendah emas di tahun 2000). Sedangkan data tahun 2015 pendapatan perkapita sebesar Rp 45.180.000/th atau setara Rp. 3.765.000/bln, jika di emaskan (Rp. 507.250) menjadi 7,42 gr Emas/bln (menggunakan nilai tengah antara harga tertinggi dan terendah emas di tahun 2000). Dari sini bisa kita lihat, ternyata pendapatan kita sebenarnya bukan meningkat, tapi hanya segitu gitu saja, justru malah menurun. Kalau memang inflasinya hanya berkisar 5% per tahun, kenapa rupiah menjadi tidak seberharga itu? Ataukah angka angka statistik hanya sebuah kebohongan?

Mark Twain mengatakan; “There are lies, damn lies and statistics”

Tidak usah jauh jauh mempertanyakan angka inflasi yang “Katanya” hanya 5% pertahun, dari angka Rp 3.765.000/bln perkapita saja sudah cukup mengherankan untuk saya, kenapa? Karena beberapa kerabat saya saja yang bekerja sebagai tenaga honorer di gajih kisaran angka Rp 350.000/bln atau setara dengan 0.69 gr Emas, bukankah angka Rp 3.765.000 terlalu berlebihan? Ya walaupun mereka mendapatkan insentif dari pemerintah sebesar Rp. 1.000.000/bln tapi mereka harus menunggu sampai 3 bulan untuk bisa mencairkannya, dan yang lebih parahnya lagi, di potong pajak! Keterlaluan, bahkan sangat keterlaluan menurut saya.

3.765.000/bln memang hanyalah sebuah angka, tapi sudah seharusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri, benarkah sebesar itu pendapatan kita dalam satu bulan? Bagaimana dengan jumlah pengangguran yang ada? Apa mereka tidak di hitung? Atau memang benar kata Mark twain? Kita tidak tau, yang tau adalah Lembaga pemerintah, yang “Katanya” Pro rakyat.

Mark Twain mengatakan; “There are lies, damn lies and statistics”

  • APBN sebenarnya untuk si - apa?

Kita sebagai masyarakat seharusnya tau, dan mau tau, APBN itu di gunakan untuk apa saja. Setelah saya mencari tau APBN tahun 2017 dari situs kementrian keuangan, penerimaan negara sebesar 1.750 T ternyata 1.490 T berasal dari pajak, atau dengan kata lain 85% pendapatan negara berasal dari pajak. Jadi, jika kita bersatu, sebenarnya kita tidak lemah, kenapa? Karena kita bisa meruntuhkan satu negara tanpa menggunakan senjata, bahkan tanpa menggunakan bambu runcing. Caranya bagaimana? Hanya dengan 1 cara mudah,yang semua orang bisa melakukannya, apa? “berhenti membayar pajak”.

Saya tidak menganjurkan kita untuk berhenti membayar pajak, saya hanya menganjurkan agar kita tau, dan mau tau, uang pajak yang di ambil dari kantong kita itu sebenarnya di pakai untuk apa? Atau untuk siapa?

Mungkin kebanyakan dari kita sudah gak perduli lagi dengan hal ini, kebanyakan kita akan berfikir, yang penting hari ini makan aja udah syukur. Saya tidak terlalu mempermasalahkan pemikiran skeptis seperti ini, tapi coba tanyakan lagi pada diri kita sendiri, kalau uang yang sebegitu banyaknya di pakai untuk membuat beberapa pabrik, apa tidak cukup untuk menampung banyaknya jumlah tenaga kerja yang sekarang berstatus pengangguran? Tidak perlu di gajih sebesar Rp 3.750.000/bln seperti “katanya” BPS, cukup UMK saja Rp 2.400.000/bln, itu saja sudah cukup untuk menenangkan pikiran mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.

Setelah saya perhatikan lebih lanjut terdapat hal hal yang janggal tentang APBN 2017 yang sudah di sahkan. Yang kalau di tanyakan langsung kepada masyarakat, apakah kita setuju atau tidak terhadap anggarannya? Padahal kebanyakan kita bahkan tidak mau tau tentang APBN. Saya sendiri baru tahun ini melihat APBN itu untuk apa saja.

Satu hal yang menurut saya janggal terhadap APBN 2017 adalah anggaran belanja pegawai yang hanya mencapai 343,3 T, letak kejanggalannya bukan karena jumlahnya terlalu besar, tapi justru karna jumlahnya yang kecil, “lho kok?”. Setelah mengetahui jumlah anggaran ini, saya mencoba mencari tau sebenarnya berapa jumlah pejabat tinggi negara (Hanya pejabat negara saja, tidak termasuk Gubernur, Walikota ,DPRD, DPRK, Gubernur BI dll). Saya agak kesulitan untuk mendapatkan besarannya secara lengkap dari situs resmi pemerintah, tapi saya berhasil mendapatkan dari situs kerja.com, bisa kita lihat sama sama. Setelah itu saya mencari jumlah anggotanya, seperti jumlah DPR, Jumlah Wakil Ketua KPK, jumlah Mentri, jumlah wakil ketua MA, jumlah ketua muda MA dll, dan setelah semua itu di kalkulasikan ternyata keluarlah angka yang sangat mencengangkan yaitu Rp. 553 T, atau 25% dari jumlah APBN yangAPBN . Perlu di garisbawahi, bahwa ini belum termasuk Gaji pejabat Bank Indonesia, belum termasuk Gaji Gubernur dan Walikota, Belum temasuk gaji DPRD dan DPRK, belum termasuk gaji Camat dan Lurah.

Tapikan, gaji camat dan lurah tidak sebesar gaji DPR RI, benar, gaji mereka memang tidak sebesar itu, tapi perlu di perhatikan, jumlah mereka banyak, sampai saat ini jumlah Provinsi di indonesia ada 34 Provinsi, 514 Kota, 6.793 Kecamatan, 79.075 Kelurahan (Data dari Wikipedia.com). Dan sebagai kabar gembira-nya pemerintah terus terusan mendengungkan pemekaran wilayah. Tujuannya apa? Menambah kesejahteraan masyarakat kah? Atau menambah jumlah pejabat negara?

Sekarang gampangannya kita hitung saja, gaji lurah menurut Badan kepegawaian daerah DKI jakarta dengan pangkat III/C dengan masa kerja 20th mendapatkan gaji pokok sebesar Rp 3.009.500 kalau di kalikan dengan jumlah kelurahan di Indonesia dan di kalikan 12 bulan, maka hasilnya 2.856 T (Tolong koreksi saya kalau saya salah hitung karna saya juga sangat bingung) 2.856 T itu bahkan lebih besar dari APBN 2017, ini hanya gaji dasar, karna besarnya insentif dan juga tunjangan di tetapkan dari pendapatan daerahnya, bahkan berita yang baru saya baca menerangkan gaji lurah di DKI Jakarta mencapai 33jt/th. Ini baru gaji lurah, belum gaji camat, belum gubernur dan wakil gubernur, belum DPRD dan DPRK.

Pertanyaan saya hanya satu benarkah para pejabat di gaji menggunakan APBN dan APBD? Ataukah sebenarnya negara mempunyai anggaran lain untuk menggaji pejabatnya. Saya tau membicarakan besaran gaji seakan adalah hal tabu untuk masyarakat indonesia. Tapi masyarakat perlu tau, karena sekali lagi, 85% dari pendapatan negara, adalah hasil dari kantong kantong masyarakat.

Tapi kenapa justru masyarakat yang susah bernafas di negrinya sendiri, negri nenek moyang kita. Padahal kita semua sama sama indonesia, kita semua sama sama merah putih, hanya saja kita tidak duduk di kursi para pejabat. Kita hanya duduk di bawah seperti orang yang tidak perduli, bahkan jika kita perduli, kita tetap merasa ketakutan, benarkah?

Bukankah kita menyisihkan uang kita untuk membiayai TNI? Bukankah kita menyisihkan uang kita untuk membiayai Polisi (kabar terakhir yang saya dengar sebelum tv saya rusak terkena petir, adalah polisi berhasil mengamankan Bom dari panci yang memiliki daya ledak 300m kalau tidak salah, saya harap polisi dapat berkonsentrasi lebih seius lagi untuk memproduksi masal bom panci ini, karna seperti di ketahui, daya ledak yang besar ini hanya membutuhkan modal yang terhitung sedikit, dan jika di jual di luar negri, saya yakin akan laku keras karena daya ledaknya yang terkenal besar itu, saya harap ini dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar lagi untug indonesia)?

  • Kemana harta kita?

Mungkin sebagian besar dari kita hanya sekedar heran ataupun sudah ada yang bertanya tapi hanya di jawab dengan 1 kata saja,sudah. Seakan itu sudah menyelesaikan permasalahan yang ada. Pertanyaanya selalu sama, “kenapa di tahun 1975 bisa di belikan 1 ekor kambing sekarang Cuma bisa dapat 1 tusuk sate kambing?” jawabannya “inflasi” seakan akan ini adalah hal yang lumrah pasti terjadi, bahkan di semua negara, inflasi memang jawabannya, tapi benarkah segampang itu?

Coba kita perhatikan baik baik kali ini, di tahun 2000 kita punya uang sebesar 500 rupiah yang pada saat itu kita sama sama tau, bisa kita belikan satu bungkus mie sakura (perlu di catat bahwa saya bukan sales mi sakura). Lalu uang 500rupiah tersebut kita depositokan dengan asumsi bunga deposito sebesar 6.7% pertahunnya dan dengan opsi hasil di tambahkan kembali ke nilai deposito, maka 16 tahun kemudian tepatnya tahun 2015 kita akan mendapatkan uang sebesar Rp. 1.323 (cara perhitungan mengikuti cara perhitungan manajemen keuangan I di semester III Program studi Manajemen) padahal pada saat itu, harga mi sakura sudah mencapai Rp 2.000/bks.

Bisa kita lihat fakta dari fiksi yang “katanya” rata rata inflasi Indonesia 5% pertahun. Bagaimana mungkin bunga deposito yang lebih besar dari besaran bunga inflasi dikalahkan oleh inflasi? Siapa yang bertanggung jawab atas angka inflasi 5% pertahun ini? Siapa yang membuatnya? Dan yang terpenting, apa motifnya? Kalau kita melihat 687 rupiah memang kecil, tapi bagaimana dengan jumlah uang yang nilai nominalnya jauh lebih besar, apakah ini perampokan? Apa saya terdengar mengada ngada? Jika memang iya, silahkan cek lagi data data yang sudah saya berikan, berkali kali, benar saya memang bukan pejabat yang berhak menghitung angka angka ini, saya sendiri pun belum lulus dari Program studi saya. Tapi saya yakin, bahwa anak SMP pun bisa menghitung ini.

Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa jumlah Pendapatan Negara tahun 2017 kisaran 1.750 T sedangkan anggaran belanja kita sebesar 2.050 T, lalu bagaimana cara pemerintah menutupi kekurangannya? Ada dua cara, yang pertama adalah dengan meminjam uang atau dengan hutang luar negeri dan yang kedua adalah mencetak uang lagi. Coba kita tanyakan pada diri kita sendiri, sudah tau kah hal ini? Atau masihkah kita tidak mau tau?

Pada APBN 2017 di sebutkan bahwa untuk membayar bunga pinjaman/ utang luar negeri, indonesia memiliki anggaran kisaran 223 T, hanya untuk membayar bunganya saja, sekali lagi, masyarakatlah yang paling di rugikan di sini, kenapa? Karena jika uang itu di gunakan untuk pembangun infrastruktur saja untuk daerah daerah perbatasan kalimantan, saya rasa itu adalah angka yang cukup untuk menguatkan loyalitas masyarakat perbatasan terhadap Tanah Airnya, tapi justru hanya di buang buang hanya untuk membayar BUNGAutang negara indonesia.

Yang kedua adalah dengan cara mencetak uang, saya yakin pejabat pejabat bank BI tidak akan mau mengaku bahwa uang yang mereka cetak melebihi tingkat permintaan uang di indonesia. Kalaupun memang ini adalah sebuah tudingan, saya rasa angka yang “katanya” 5% pertahun ini cukup kuat untuk di jadikan dasar tudingan yang di tujukan pada para pejabat pejabat bank BI.

Dan kalau memang benar mereka tidak melakukannya, lalu dengan instrumen apa pemerintah bisa menggajih para pejabat pejabatnya? Karna menurut hitung hitungan di atas kertas, untuk gaji lurah saja, pemerintah tidak bisa menggajihnya bagai mana mungkin pemerintah bisa menggaji presiden? Menggaji anggota DPR, menggaji MPR.

Kita bisa menghitung ini dengan mudah sebenarnya, kita langsung ambil datanya saja, Pada tahun 2000 pendapatan perkapita penduduk indonesia Rp 6.775.000/Th, tahun 2015 pendapatan perkapita penduduk indonesia Rp 45.180.000 / Th, kalau kita kalikan jumlah penduduk kita yang mencapai 250jt jiwa;

(45.180.000*250.000.000) - (6.775.000*250.000.000) = 9.601 T, dengan fakta bahwa, 1 gram emas di tahun 2000 adalah 75.245/gr sedangkan 1 gram emas di tahun 2015 Rp 507.250/gr, lantas dari mana angka 9.601 T itu muncul? Kalau kita sering bertanya, untuk apa Bank Sentral itu mengarang cerita fiksi tentang menstabilkan nilai Rupiah? Ada 9.601 T alasan untuk itu.

Seperti itu kah demokrasi kita berjalan? Benarkah aspirasi kita di dengar oleh para penguasa? Yang tanpa sadar dengan berlakunya sistem pemerintahan saat ini, pelan pelan mencuri uang dari rakyatnya, tanpa ada satu payung hukum pun yang dapat menindak ini.

Saya berkata seperti itu, karna sampai saat ini indonesia belum pernah menghukum pejabat negara akibat mencuri uang rakyat menggunakan instrumen INFLASI ataupu HIPER INFLASI. Satu instrumen perbankan yang sangat baik, lahir di dalam kelemahan suatu sistem, dan dapat di manfaatkan oleh oknum berkuasa dengan sangat baik pula.

“Kita dirampok, Tapi kita tak perduli.” Penulis

III.       Penutup dan saran

Kalau memang kita berdiri di atas demokrasi, dimana semua yang pihak penguasa lakukan adalah untuk rakyat, maka apa salahnya kalau kita kembali lagi menggunakan emas sebagai alat penyimpan kekayaan kita? Agar semua pihak merasa di untungkan, tidak ada lagi kata kata mencetak uang yang hanya bisa di lakukan oleh segelintir orang saja, kalaupun satu atau dua pihak mau mencetak emas sebanyak banyaknya, silahkan saja, itupun kalau bisa.

Apakah alasan bahwa menggunakan Rupiah adalah merah putih? Sehingga ketika kita meninggalkan Rupiah sama saja kita meninggalkan merah putih? Bukankah kita sudah pernah melakukan itu sebelumnya? Mengganti ORI dengan RP? Bukankah mata uang kita yang pertama kali itu ORI? Lantas kenapa di tinggalkan? Karena nilainya jatuh? Siapa yang membuat nilainya jatuh? Kita yang jumlahnya banyak ini sebagai rakyat kecil? Atau justru penguasa yang jumlahnya sedikit? Lantas siapa yang di untungkan?

Terima kasih.

Samarinda, 10 Januari 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun