Sebelum acara prosesi beberapa kali kami bertemu dengan pertugas lain untuk latihan. Sehari sebelum prosesi kami di ajak suster datang ke biaranya untuk mencoba kebaya putih. Kebaya dari bahan katun yang distlika sangat licin dan di perkeras dengan tepung kanji.
Kami mencoba dan yang pas, disimpan suster kembali dan di tempeli kertas berisi nama kami.
Suster berpesan prosesi mulai jam 08. 00 pagi, berarti kami jam 06.00 harus sudah berkumpul di Aula Panti Asuhan untuk berganti baju.
Suster memesan, kami harus mandi , keramas dan memotong pendek kuku kami dan tidak lupa membawa kain batik sendiri, yaitu kain batik motiv Parikesit  Yogyakarta yang berlatar putih  dan setagen. Setagen yaitu kain untuk mengencangkan kain panjang yang di balut di perut kami.
Dari sini kami belajar, kebersihan yaitu mandi, keramas dan memotong kuku serta belajar dari kecil mencintai baju daerah, di sini kebaya dan kain panjang. Â
Dari sini pula meskipun saya tinggal di Jerman tidak segan dan canggung untuk mengenakan  kain panjang  dan kebaya di acara- acara tertentu.
 Apa saja yang  diajarkan suster melekat dihati sampai sekarang.  Saya sungguh bersyukur pernah mengenal beliau dan belajar langsung dari beliau. Sehingga saya saat ini, meskipun tinggal di Eropa, masih bisa berbahasa Jawa Kromo Inggil dengan baik, masih bisa menari jawa dan menabuh gamelan Jawa.
Tetap suka berkebun sampai hari ini, suka membaca dan mulai belajar menulis bersama Kompasiana.
Beberapa tahun lalu sebelum suster wafat, saya sempat mengunjungi beliau di  rumah Jompo Santa Anna di Susteran Carolus Boromeus Panti Rapih Yogyakarta.Â
Suster yang telah 90 tahun waktu itu masih ingat saya dan bercerita tentang teman- teman seangkatan saya, Wah hebat sekali, ingatannya masih cemerlang. Mungkin, keteraturan hidup di biara dan kesukaannya membaca dan menulis membuat ingatannya masih cemerlang.Â
Sekali lagi terimakasih Suster Boromeo, guruku teladanku dan  lebih dari seorang guru bagiku.
Dietzenbach, 11 Desember 2021.