Ada kelas yang menanam sayuran, ada kelas yang menanam bunga. Apa yang kami tanam, menurut kesepakatan kelas dan didukung  guru kelas masing- masing.
Suster menyediakan bibit- bibit bunga dan sayuran atau sumbangan dari orang tua murid.Â
Pemeliharaan, mencabuti rumbut- rumput yang tumbuh, menyiram tanaman, merupakan tugas kami dan dibagi menurut jadwal piket yang di buat berdasarkan kesepakatan di kelas kami masing- masing.Â
Setiap setengah tahun sekali diadakan perlombaan kebun dari kelas mana yang paling cantik dan terawat.
Saya ingat banyak bunga- bunga tumbuh di halaman sekolah kami. Dari bunga- bunga tersebut, kami bergiliran merangkai  bunga untuk di letakkan di depan patung Bunda Maria di sekolah kami.
Saya ingat betul, ketika saya juga mendapatkan giliran merangkai kembang kertas dan kembang kenikir.
Dari Suster Boromeo kami belajar bahasa Jawa Kromo Inggil
Pada tahun 1970 an  kami di sekolah dasar kami di desa Ganjuran dari kelas satu sampai kelas tiga pelajaran masih disampaikan dalam bahasa  Jawa. Bahasa Indonesia baru digunakan sebagai bahasa pengantar mulai kelas empat.
 Saat itu kami masih belajar menulis dan membaca huruf Jawa selain huruf latin. Suster selalu dengan telaten memperbaiki bahasa jawa kami. Misalnya, untuk mengatakan „ya“ dalam bahasa Indonesia „inggih“ dalam bahasa Jawa. Kebanyakan kami mengatakan „njih“" dan suster akan segera membetulkan supaya kami memakai bahasa Jawa yang benar yaitu „inggih" untuk mengatakan "ya"Â
Ada kata lain lagi, misalnya untuk kata „teman" dalam bahasa Indonesia, kebanyakan orang akan mengatakan „rencang" bahasa jawa kromo inggil untuk mengatakan „teman“. Suster mengatakan tidak benar, teman dalam bahasa jawa ngoko „konco" bahasa kromo inggil tetap „konco" bukan „rencang" karena rencang berarti "pembantu".
Dan masih banyak lagi, sehingga sampai sekarang, meskipun saya sudah hampir 30 tahun tinggal di Jerman, masih bisa berbahasa kromo inggil. Sayang bahasa kromo inggil ini jarang saya gunakan.Â