Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Bayi Tertawa (Detektif Kilesa)

7 Juli 2021   16:04 Diperbarui: 7 Juli 2021   16:15 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS BAYI TERTAWA

Pk. 07.45.

Aku terduduk melamun di belakang meja kerjaku. Di hadapanku, Charles dengan rokok yang menempel di mulut, menaikkan kakinya di atas kursi yang lain. Sebenarnya aku tidak suka dengan kebiasaan ini, baik merokok juga ketidaksopanannya, dan biasanya aku akan segera menghardiknya, namun kali ini aku tidak terlalu peduli. Dua wajah muram menjadi pertanda bahwa kami sedang menghadapi kasus pelik.

Satu lagi wajah muram berada di ambang pintu, membawa berita yang menjadi sumber kegelisahan kami. Mahmud berdiri sambil membawa dokumen DNA yang berasal dari rumah sakit, dan kata -- katanya tidak menyenangkan. Aku mencoba memastikan.

"Benarkah yang kau katakan itu, Mahmud? Coba ulangi sekali lagi."

Mahmud menggeleng, "Kelima kalinya, Kilesa. Bayi yang kita temui kemarin di apartemen itu, tidak ada hubungan darah dengan Andrea Marsudi."

"Lalu bayi siapa itu?" tanya Charles.

"Juga kelima kalinya pertanyaan yang sama, Charles. Aku tidak tahu. Tidak ada data yang cocok pada direktori orang hilang."

"Tidak ada orang tua yang maju ke kantor polisi untuk menanyakan bayinya?"

Mahmud menggeleng. Aku hanya bisa mengulang kasus ini. "Andrea Marsudi ditemukan terbunuh pada pukul 16.15 di hari Minggu kemarin dengan luka sayatan di leher. Pintu apartemen terbuka dan barang -- barang tersusun rapi serta barang berharga utuh menandakan bahwa kasus ini bukanlah maling yang mendobrak masuk. Nyawa Andrea Marsudi memang sudah menjadi target pembunuhan."

"Dan satu lagi fakta penting Kilesa." ujar Charles.

"Apa?" tanyaku.

"Kau tahu, kau terganggu saat aku selalu mengulang pernyataan ini kemarin di apartemen. Tapi nampaknya sekarang fakta ini menjadi penting."

"Apa?" sekali lagi ujarku sambil memberi penekanan.

"Bayi itu ditemukan dalam pelukan Andrea ketika kita sampai ke sana kemarin. Dan ia tertawa tanpa henti."

Aku mendesah.

***

Ada baiknya kuceritakan dulu secara lengkap kasus ini, dari kemarin. Mulai dari apartemen. Seorang wanita menelepon kantor polisi menyatakan bahwa ada pembunuhan di sebuah apartemen bertingkat di tengah kota. Sebenarnya daripada apartemen, tempat ini lebih cocok disebut kos -- kosan bertingkat, atau bahkan mungkin rumah susun. Bau apek dan kotoran serta sampah di mana -- mana, menandakan bahwa penghuninya merupakan warga kelas menengah ke bawah.

Ketika kami tiba di lantai lima, orang -- orang sudah berkerumun di depan kamar TKP. Untung kami menginstruksikan kepada sang penelepon untuk tidak membiarkan seorang pun masuk ke dalam kamar. Ia menyambut kami dengan wajah gelisah.

"Andrea...Andrea...sudah meninggal."

"Kau kenal dengan orang ini?"

Ia mengangguk. Tim kepolisian pun segera mengamankan TKP. Ketika Mahmud akan segera mengecek kondisi medis korban, terdengar sebuah suara tertawa. Suara bayi. Aku bersegera masuk. Untuk pertama kalinya aku melihat korban. Lantai sudah dipenuhi oleh darah merah, bersumber dari leher Andrea yang sudah tidak bernyawa, sembari memeluk seorang bayi yang terbungkus kain selimut. Dan bayi itu terus tertawa tanpa henti. Aku hanya bisa menghela napas. Di samping, Charles menggodaku.

"Kau lihat, ibunya sudah tiada, tapi anaknya terus -- menerus tertawa. Sebuah ironi, bukan? Kalau saja bayi itu bisa mengerti bahwa ibunya sudah meregang nyawa..."

Aku hanya mendesah dan mengabaikan pernyataan konyol Charles. Sebuah tindakan yang kuakui saat ini ada sebuah kesalahan. Ketika masuk ke ruangan itu, aku selalu menganggap Andrea adalah ibu dari bayi itu. 

Mengapa? Lihatlah ke seluruh penjuru ruangan kamar Andrea. Box bayi beserta gantungan imut yang menempel dari atap, lalu kumpulan selimut bayi yang tersusun rapi di pojokan, wangi bedak bayi, dan peralatan -- peralatan lainnya seperti botol susu, kemping, dan topi bayi yang juga tersusun rapi. 

Untuk topi bayi itu aku memberikan perhatian khusus karena bentuknya sangat ikonik. Ya, itu adalah minatur dari topi Sherlock Holmes. Nampaknya Andrea adalah penggemar detektif legendaris fiktif itu.

Dan kini muncullah fakta bahwa bayi itu bukanlah bayi Andrea, bahkan tidak ada hubungan darah. Jadi bukan bibi, saudara, atau kakak.

Aku lanjutkan lagi. Tim kepolisian segera mengamankan bayi itu dan membawanya ke kantor polisi. Sementara itu Mahmud memastikan bahwa luka yang menewaskan Andrea adalah luka gores oleh pisau kecil. 

Fakta ini menguatkan pendapatku bahwa yang pembunuhnya adalah orang yang dikenal oleh Andrea. Tidak ada tanda -- tanda perlawanan, juga barang -- barang yang tersusun rapi, aku bertanya pada Charles bahwa adakah barang berharga yang diambil dan ia mengonfirmasi tidak ada. Aku mengangguk. Sejak awal aku tahu bahwa tidak mungkin seorang pencuri menargetkan apartemen kelas menengah. Ia kuminta melanjutkan penggeledahan barang.

Mahmud masih mengurusi korban ketika aku mulai mengumpulkan saksi mata. Orang yang memberitahu polisi bernama Surti, yang merupakan tetangga dari Andrea. Pekerjaannya adalah pembantu rumah tangga pulang pergi, dan hari ini sedang libur. Ia bercerita bahwa Andrea adalah teman dekatnya. Dan di sinilah mulai sebuah keterangan aneh. Kami tidak menganggapnya aneh dulu ketika mendengarnya, namun ketika kami tahu bahwa Andrea bukanlah ibu dari sang bayi, semuanya menjadi janggal.

"Andrea adalah teman baik saya. Ia pindah ke sini lima bulan yang lalu, bersama bayinya. Ia bilang bapaknya laki -- laki tidak bertanggung jawab, jadi ya sudahlah. Pekerjaannya adalah akuntan di perusahaan yang cukup ternama. Ah, saya lupa nama perusahaannya. Dan menemukan ia meninggal seperti itu...ah, rasanya menyedihkan. Pak polisi bisa menemukan pembunuhnya?"

Aku mendesah. "Kami mengupayakan segala cara, Bu Surti. Namun, yang lebih penting, bagaimana ibu bisa menemukan Andrea dalam keadaan tewas seperti itu? Adakah sesuatu yang janggal, atau seseorang yang mencurigakan?"

"Pak polisi mencurigai saya? Saya bukan siapa -- siapa, pak, hanya seorang pembantu. Untuk apa pula saya menghabisi nyawa teman baik saya sendiri? Tadi pun saya tidak sengaja menemukan Andrea ketika akan menjemur pakaian di depan. Pintu kamarnya terbuka. Saya tidak sengaja masuk."

Aku hanya mengangguk -- angguk. "Tidak ada yang mencurigakan?"

Aku mencoba berjalan keluar menuju lorong untuk memberikan penglihatan yang jelas kepada Surti. Surti adalah saksi utama dalam memecahkan kasus ini, dan untungnya apartemen itu memiliki lorong terbuka. Maksudku, kita bisa melihat ke bawah, ke jalanan dari celah yang memisahkan teras kamar Surti dan Andrea dengan kamar seberang. Kamar Andrea terletak di pojokan, orang yang lalu -- lalang akan terlihat oleh tetangga -- tetangganya.

"Kalau mencurigakan tidak ada, pak, paling tadi sekitar jam satu Gunawan, ya, yang kamarnya di lantai empat itu, naik ke atas dan masuk ke kamar Andrea. Lalu tadi jam dua Andrea keluar kamar untuk jemur -- jemur pakaian. Saya lihat dari celah pintu kamar saya."

"Dan Gunawan ini adalah..."

"Oh, dia itu sedang pdkt kepada Andrea, pak. Kalau saya sendiri ogah sama Gunawan. Orangnya genit, juga pekerjaannya serabutan tidak jelas. Lagi mau -- maunya kesengsem dengan wanita beranak satu."

Namun pertanyaanku selanjutnya membuat Surti sedikit berpikir. "Dan ibu tidak melihat Gunawan keluar kamar?"

"Tidak, pak. Ya, mungkin tidak terlihat oleh saya. Saya 'kan juga memasak di belakang."

"Tidak ada orang asing yang masuk?"

Surti menggeleng. Aku meyakinkan diri bahwa sudah cukup keterangan yang dihimpun, sehingga aku bergegas menuju kamar seberang. Sebelum pergi, Surti bertanya.

"Bagaimana dengan bayi itu, pak?"

"Akan diamankan oleh pihak kepolisian."

Aku mohon diri dan menuju kamar seberang. Penghuninya lagi -- lagi seorang wanita. Dalam perjalanan, Charles menyusulku. Ia telah selesai melakukan penggeledahan kamar. Aku bertanya.

"Benar -- benar tidak ada barang berharga yang diambil?"

"Tidak ada. Dompetnya berada di kantong celananya, buku -- buku tabungan dan surat berharga lainnya berada di dalam dokumen di laci meja. Tidak ada yang diambil."

Kami pun bergegas. Penghuni kamar seberang adalah ibu rumah tangga, bekerja di rumah dan mengurusi anak, sementara suaminya adalah seorang taksi online. Suaminya sedang bekerja, sedangkan anaknya sedang bermain bersama teman -- temannya di luar, sehingga meninggalkan ia sendiri di kamar. Namun, sungguh sial bagi kami karena ia mengaku bahwa pintunya tertutup sepanjang waktu, selama waktu kejadian. Namanya adalah Nadira. Untungnya ia sangat ramah dan senang bercerita.

"Mari, pak, silakan duduk di ruang tengah." ucapnya sopan ketika kami menjelaskan maksud kedatangan kami.

"Apakah ibu tidak merasa sedih ketika tetangga ibu, Andrea Marsudi, sudah tewas oleh perampok?"

Charles mengerti ini. Aku memang senang memancing orang dengan keterangan palsu untuk mendapatkan opini mereka tentang korban dan pelaku.

"Tentu saja saya sedih, pak polisi, tapi sepertinya ia layak mendapatkannya. Tunggu, biar saya jelaskan."

Aku mengernyit. Ia bergegas membawa cangkir teh ke hadapan kami. Wajahnya sepenuhnya sumringah, seperti tidak ada tanda -- tanda kesedihan.

"Andrea Marsudi tampak sebagai orang baik -- baik. Ia bilang bahwa ia bekerja di perusahaan terkenal di tengah kota. Lalu datang ke sini lima bulan lalu dengan membawa bayi kecil, tanpa ayah. 

Sekarang pak polisi pikirkan, mana ada orang yang bekerja di perusahaan terkenal datang ke tempat seperti ini tanpa seorang suami? Bukankah ini aneh? Saya sudah curiga sejak awal ia datang. Tampilannya seperti orang terhormat, bajunya selalu rapi, tapi tidak bisa menjaga hubungan dengan suaminya. Ia pasti perempuan nakal."

Aku mendesah di dalam hati. Masalah hidup orang bukankah berbeda -- beda? Ingin sekali kujawab begitu. Tapi muncul pertanyaan lain, "Maksud ibu, ia adalah seorang pelakor, lalu dicampakkan oleh lelakinya begitu ia melahirkan?"

Nadira melipat tangan lalu menjawab, "Saya tidak berkata seperti itu, bapak sendiri yang menyimpulkannya. Nanti tetangga lain mendengar, nama saya ikut tercoreng."

Charles ikut nimbrung, "Mungkin ibu tidak pernah berbincang dengannya. Dari yang kami dengar pada Bu Surti, Andrea Marsudi terkesan sebagai orang baik yang merawat anaknya seorang diri."

"Untuk apa, pak polisi? Sudah cukup aku berbicara sekali dengannya, ketika ia pertama kali datang. Orang tuanya tidak jelas siapa, suaminya ia sembunyikan, pekerjaannya eksklusif, anaknya tidak pernah diperlihatkan kepada kami, jadi untuk apa saya mengganggunya? Mana sekarang, si Gunawan itu mulai mendekat kepadanya. Saya akui ia cantik dan menarik, dan semakin yakin kalau ia adalah seorang perempuan simpanan."

Ia menutup mulutnya di akhir kalimatnya menandakan ia merasa keluar batas. Namun, jelaslah bagi kami bahwa sebenarnya Nadira hanya seorang wanita yang iri dengan keberhasilan Andrea. Dan itulah pertanda bahwa sudah cukup wawancara ini dilaksanakan. Kami pun memohon diri dan menganjurkan kepada Nadira untuk tidak ke mana -- mana sebelum kasus terpecahkan.

Kami melangkah ke kamar sebelah, yang terletak persis di seberang kamar Andrea. Dari sini seharusnya kamar Andrea terlihat jelas. Semoga penghuninya tidak menutup pintu seperti Nadira. Kami beruntung. Penghuninya adalah seorang pelajar sekolah yang sedang menyiapkan diri untuk ujian sekolah. Sepanjang waktu ia membuka pintu karena mengaku jenuh dengan buku pelajaran. Keberuntungan kami yang lain adalah pemuda ini jarang bergaul dengan penghuni setempat sehingga keterangannya menjadi objektif. Namanya adalah Wirahadi.

Ia menatap kami dari balik kacamatanya di depan pintu kamar. "Ya, keterangan Bu Surti memang benar. Saya melihat seorang lelaki, kalau tidak salah penghuni di lantai empat, saya sering melihatnya ketika naik, di jam satu-an tadi. Dan ia keluar kamar sekitar jam tiga. Sekitar jam itu pula saya melihat Bu Surti jemur -- jemur di teras depan. Saya tidak menyangka bahwa pemuda itu telah membunuh Bu Andrea. Saya turut berduka, pak polisi."

"Bagaimana kau tahu bahwa pemuda itu yang telah membunuh Andrea?"

Wirahadi merentangkan tangan, "Siapa lagi? Ia yang berada di dalam kamar dari antara jam satu hingga jam tiga. Sayang sekali di tempat ini tidak ada cctv, tapi saya yakin dengan penglihatan saya. Hanya pemuda itu yang berada di situ pada jam segitu."

"Bayi?" ujar Charles, kembali dengan selaan yang tidak penting.

"Bayi? Maksudnya?"

"Bukankah ada bayi juga di dalam?"

"Tentu saja ada. Apakah bapak menganggap bayi itu sebagai pelaku pembunuhan?"

Ekspresi wajah Wirahadi terlihat kesal dengan pertanyaan Charles, sehingga aku menugaskannya untuk segera menuju lantai empat dan meringkus pemuda bernama Gunawan. Aku meneruskan wawancaraku.

"Apakah kau mengetahui ada orang menyimpan dendam, misalnya tetangga -- tetangganya, sehingga berencana untuk membunuh Andrea?"

"Sudah kubilang, pak polisi, saya tidak terlalu mengenal orang -- orang ini. Jadi, selain keterangan penglihatan ke kamar Andrea, saya tidak bisa memberikan keterangan lain. Yang kutahu adalah wanita itu, Andrea, selalu berpakaian klimis ke manapun ia pergi. Ia selalu tampil rapi di pagi hari ketika berangkat kerja."

Aku menatap kamar Andrea dari arah teras kamar Wirahadi. Pintu itu terletak di pojok kanan ruangan sehingga tidak mungkin ia menyaksikan apa yang terjadi di dalamnya, walaupun pintu itu terbuka sepanjang waktu. Ada satu lagi yang harusnya terjadi ketika tindakan kriminal berlangsung.

"Tidak adakah terdengar suara teriakan? Atau suara wanita yang melawan?"

Wirahadi menggeleng. Dan usailah sudah wawancara itu. Tidak banyak yang bisa kusimpulkan. Semua petunjuk mengarah pada Gunawan, ialah tersangka utama kasus ini. Aku pun bergegas menuju anak tangga, Charles menyapaku di tengah -- tengah anak tangga.

"Orangnya sudah pergi. Pintu kamarnya terkunci. Entah kapan ia akan kembali lagi."

"Sudah kauperintahkan tim untuk selalu mengawasi kamarnya?"

Charles mengangguk. Kami berdua pun berjalan pelan kembali ke TKP. Sementara itu orang -- orang sudah mulai kasak -- kusuk di ujung lorong. Kami paham, kami tidak bisa lama -- lama lagi berada di tempat ini. Garis kuning harus segera dipasang. Di dalam TKP, tim forensik telah usai memindahkan tubuh korban. Kamar kini terpampang lebih jelas.

Aku menatap sekeliling. Kamar Andrea sebenarnya merupakan kamar yang sederhana. Tidak ada furnitur berlebihan. Hanya ada satu meja makan dan kursi -- kursinya, satu rak buku kecil, satu lemari pakaian, dan satu meja rias, sisanya adalah pernak -- pernik bayi seperti box dan sebagainya. Ada pula tas -- tas wanita dan satu tas koper. Aku merasa Andrea tidak ingin lama -- lama tinggal di tempat ini.

Aku berjalan menuju rak buku dan mendapatkan buku -- buku yang sebagian besar bersifat agronomi dan psikologi. Bagiku hal ini cukup mengejutkan karena kami sama sekali tidak menemukan tanaman di dalam kamar Andrea, juga kedua hal ini cukup jauh dari bidang yang ditekuni Andrea yaitu akuntansi. Ini membuatku bertanya pada Charles.

"Charles, apakah kau menemukan sesuatu yang berkaitan dengan akuntansi di tempat ini? Hasil audit, atau neraca keuangan, atau buku akuntansi misalnya?"

Charles menggeleng, "Sama sekali tidak ada berkas keuangan di tempat ini. Mungkin saja ia menyimpannya semuanya di tempat kerjanya. Tapi yang aku bingungkan juga adalah Andrea bahkan tidak memiliki laptop atau PC. Kalau saja ia memiliki itu, kita melacak berkas -- berkas akuntansinya, juga berkas -- berkas lainnya yang mencurigakan."

Aku menghela napas. Kembali menatap sekeliling, aku mendudukkan diri di kursi kayu. Topi Sherlock itu berada di kakiku sekarang. Dengan sebuah tongkat aku memungut topi itu dan memutarnya di udara. Melihat kelakuanku, Charles tersenyum dan menggodaku.

"Bagaimana, kapten? Biasanya kau langsung bisa memecahkan kasus pada saat pertama kali mengunjungi TKP? Bagaimana sekarang? Gunawan bukan pelakunya, bukan?"

Aku hanya tersenyum dan menggeleng. "Kita belum bisa menyimpulkan apa -- apa. Kasus ini terlalu abstrak. Satu lagi yang hilang adalah motif. Kita tidak tahu mengapa Andrea dibunuh."

Charles melempar sebuah buku ke atas meja di sebelahku. "Bacalah itu, Kilesa. Satu -- satunya buku yang berhubungan dengan kriminologi di ruangan ini. Mungkin kau bisa memecahkan kasus ini. Kuberi nama apa sebaiknya? Kasus bayi tertawa. Ah, nama yang bagus. Ingat, bayi itu tidak berhenti tertawa di depan ibunya yang terhunus pisau."

Aku mendesah dan menendang Charles. Kutatap buku itu. Kasus kriminologi anak. Judul yang aneh, lebih aneh lagi Andrea yang memilikinya. Namun ini tidak menyimpulkan apa pun. Keterangan ini tidak berguna.

Begitulah pikiranku pada saat itu.

Namun hari ini lain lagi. Setelah mengetahui bahwa sang bayi tidak punya hubungan darah dengan Andrea, aku bisa berasumsi banyak. Mungkin saja buku itu mengindikasikan bahwa Andrea hendak melakukan yang buruk kepada bayi itu. Mungkin saja Andrea menculik bayi itu, lalu hendak menjualnya kepada tempat penadahan anak. Mungkin saja Andrea hendak meminta tebusan kepada orang tuanya, namun belum yakin sehingga ia perlu banyak membaca buku psikologi dan kriminologi. Ah, terlalu banyak kemungkinan.

Aku menatap Charles, "Bagaimana dengan Gunawan? Apakah ia sudah ditemukan?"

Charles menggeleng, "Sama sekali tidak ada. Kami bahkan sudah menanyakan kontaknya kepada warga sekitar, dan tahu apa? Ponselnya tidak bisa dihubungi, bahkan sudah tidak aktif ketika kami melacaknya dari tracer. Di kasus ini ialah yang paling mencurigakan. Aku sudah menyebarkan keterangan orang dicari di mana -- mana. Semoga ia cepat ditemukan."

Aku terdiam mendengar ucapan Charles. Dalam keheningan, Mahmud memecah, "Kau tidak menganggap Gunawan yang membunuh Andrea, bukan?"

Aku menggeleng, "Tidak. Satu -- satunya yang hilang adalah motif. Di kasus ini aku tidak bisa menemukan motifnya. Dan satu lagi keanehan, Andrea memiliki pekerjaan yang mapan dari keterangan tetangga -- tetangganya, mengapa ia tinggal di tempat seperti itu? Apakah Gunawan mengetahui bahwa Andrea memiliki harta simpanan sehingga ia merampasnya? Ah, aku tidak suka berasumsi tanpa kenyataan."

Charles menanggapi, "Kau melupakan satu keanehan lagi, Kilesa. Bayi itu. Bayi itu tidak hentinya tertawa sementara ibunya tidak lagi bernyawa di atas lantai. Bayi itu titisan dari neraka."

Mahmud membenarkan, "Sudah bukan lagi ibunya, Charles, tes DNA sudah menyimpulkan."

Sudah bukan lagi ibunya. Sudah bukan lagi ibunya. Kata -- kata itu terngiang berulang -- ulang di telingaku, sehingga aku mengabaikan Charles yang menepok jidatnya saat itu. Aku bertanya pada Mahmud.

"Bayi itu, Mahmud, di mana ia sekarang?"

"Berada di tempat penitipan rumah sakit, Kilesa. Kepolisian tidak memiliki tempat penitipan khusus bayi. Kita masih mencari jati dirinya atau berpikir untuk memasukkannya ke panti asuhan."

Aku berdiri, lalu memungut topi Sherlock yang kini tercantum sebagai barang bukti dengan tongkatku. Topi itu lalu kuputar di udara. Aku berseru.

"Ayo, kawan -- kawan, mari kita pergi ke apartemen itu lagi."

"Untuk apa, Kilesa? Jangan katakan bahwa kau telah memecahkan kasus kini." tanggap Charles.

"Tidak, tidak. Masih jauh, namun ada sebuah kemungkinan besar yang telah aku pikirkan. Dan jika semuanya cocok, maka kita harus memeriksa orang ini lebih jauh."

"Dan ke apartemen lagi, untuk apa?"

Aku tersenyum.

"Untuk mengetahui, apakah bayi itu tertawa pada saat kejadian atau tidak."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun