Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Nenek yang Menghilang

26 Agustus 2020   11:54 Diperbarui: 26 Agustus 2020   12:02 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS NENEK YANG MENGHILANG

Pk. 10.30.

"Jangan mengeluh, Charles. Sedikit lagi kita sampai ke rumah itu."

"Huh, huh. Mudah bagimu mengatakan itu, Kilesa. Kau tadi tidak turun sampai ke bantaran sungai bawah. Butuh usaha untuk naik turun, tahu. Lagipula, keluarga mana yang membuat rumah di tengah hutan seperti ini? Jalanan menanjak, mobil tidak bisa masuk."

Aku dan Charles mengambil napas dulu saat kami berada di permukaan yang datar. Aku melihat ke sekeliling. Setidaknya rumah ini tidak terlalu terpencil, ada lima atau enam rumah lainnya di sekitar. Memang jaraknya berjauhan, karena kawasan ini diperuntukkan untuk plesiran atau liburan. Beberapa rumah bergaya villa dan wisma. Dan tujuan kita, kini sudah berada dalam penglihatan.

"Kuharap kau tidak salah alamat, Charles. Butuh waktu lagi jika kita harus mencari alamat yang benar, sementara kita dikejar oleh waktu kadaluarsa mayat."

Charles sedikit mencibir, "Waktu kadaluarsa mayat. Itu 'kan istilah yang kau buat sendiri, Kilesa. Sebentar." Charles membuka kantung sampelnya, dan mengeluarkan ktp yang berada di dalam dompet wanita. "Benar, Kilesa. Rumah itu adalah Villa Semanggi. Lihat saja, ada judulnya, bukan?"

Charles benar. Kami berdua lalu berjalan menuju villa ini. Villa Semanggi adalah sebuah villa kayu berlantai dua, yang dari ukurannya sebenarnya tidak megah dan besar, namun memiliki pekarangan yang amat luas, ditumbuhi oleh berbagai sayuran dan stroberi. Aku menduga sang pemilik villa adalah orang yang senang berkebun dan bercocok tanam. Sayang sekali ia harus meregang nyawa pagi ini di bantaran sungai.

Mayat yang ditemukan oleh tim polisi pagi ini pukul delapan adalah seorang nenek -- nenek yang hanya mengenakan daster bunga -- bunga, terbujur kaku di bantaran sungai yang menjorok ke daratan. Orang biasa akan menyimpulkan bahwa bisa saja itu merupakan kecelakaan, tapi tim forensik menemukan luka akibat benda tumpul di belakang kepalanya, sehingga tim detekftif dikirim untuk menangani kasus ini. Selain itu, korban membawa tas kecil yang berisi dompet sehingga kami dapat menemukan alamat ini.

Tubuh korban yang basah kuyup membuatku yakin bahwa ia tidak tewas di bantaran sungai itu, melainkan dari arah aliran atas. Ia dibunuh di tempat lain, lalu mayatnya dihanyutkan ke sungai. Oleh karena itu, kami tidak dapat menentukan TKP. Satu -- satunya petunjuk yang kami dapatkan adalah KTP korban. Kesialan kami bertambah. Mahmud sedang cuti, dan tim forensik penggantinya kurang cekatan, sehingga sidik jari dan waktu kematian belum kami dapatkan sampai sekarang. Keterangan ini penting karena bisa saja korban sudah berada semalaman di tempat itu, lalu ditemukan orang saat fajar menyingsing. Apa boleh buat, kami harus mengejar petunjuk secepat mungkin, sehingga kami memutuskan untuk mendatangi tempat ini.

Namun langit sepertinya tidak berpihak pada kami hari ini. Alamat yang kami tuju ternyata berjarak lumayan jauh dari bantaran sungai. Dua jam menuju arah perbukitan utara, lalu berjalan di tengah pepohonan tinggi. Sungguh sial sekali hari ini.

Seorang laki -- laki bertubuh gemuk sedang mencangkul di kebun ketika kami datang. Ia mengelap keringatnya dan mendatangi kami. Mimik wajahnya berubah ketika kami menunjukkan identitas kami sebagai polisi. Kami tidak membuang waktu lama. Charles langsung menunjukkan KTP korban kepadanya. Ia mengangguk.

"Benar, ini ibu. Winda adalah ibuku. Ada apa dengan ibu?"

Sepertinya lelaki ini belum tahu jika ibunya telah tewas. Aku membenci pekerjaanku di bagian ini, karena harus memberikan belasungkawa kepada pihak keluarga. Charles meletakkan topinya di dada, namun tetap akulah yang harus bersuara.

"Pak, tolong dengarkan aku baik -- baik, dengan hati yang tenang. Ibu dari bapak sudah tiada. Ibu Winda Yuliati pagi ini pukul delapan ditemukan di daerah Utomo Jaya dalam kondisi tidak bernyawa. Saya turut berduka cita, pak."

Namun laki -- laki itu mengernyit. Namanya adalah Reyner. "Tidak mungkin, pak. Tidak mungkin. Ibu masih ada di kamarnya. Tadi jam sembilan saya masih sekilas melihat dia di kamar, sedang melihat album keluarga. Tidak mungkin."

"Tenang dulu, pak. Tolong terima kenyataan."

Namun Reyner tidak menggubris perkataan kami. Ia menerobos dan masuk ke dalam rumah dengan terburu -- buru, tanpa melepas sepatu boot kotornya. Kami pun mengikutinya. Ruangan Winda terletak di belakang, setelah lorong tengah. Pintu kamar terbuka, dan di dalamnya ada sebuah kursi kosong dan album yang terbuka di samping tempat tidur. Tidak ada wanita bernama Winda. Namun Reyner masih bersikeras.

"Ibu! Ibu!" Ia berseru sambil keluar ruangan. Pertama -- tama Reyner naik ke lantai dua, mendobrak setiap pintu yang berada di lantai itu. Ia turun tangga dengan terburu -- buru, sehingga kami tahu Winda tidak ditemukan di kamar mana pun. Aku mendesah. Untuk menenangkan orang yang berduka adalah sebuah kesulitan tersendiri, namun meredam orang yang tidak terima adalah sebuah kemustahilan. Pengalamanku telah berbicara.

Reyner kini mengitari pekarangan rumah sambil berteriak. Ia lalu berlari, berkeliling menuju bagian -- bagian lain komplek hutan. Charles sudah tidak sabar. Kami memang tidak punya banyak waktu. Ia ingin mengejar Reyner, namun aku menyergah. Mengejar satu orang saja sulit, apalagi mengejar dua nantinya. Untungnya, beberapa saat kemudian Reyner kembali. Wajahnya kini sudah menahan tangis.

"Ibu...ibu...tidak ada di manapun."

Aku mengangguk, lalu mengeluarkan handphone dan menunjukkan gambar. "Tolong tenangkan dirimu, Reyner. Sekali lagi aku mohon, kuatkan dirimu. Ini adalah ibumu, bukan?"

Reyner tersedak ketika aku menunjukkan gambar, lalu jatuh ke tanah dan menangis. Aku dan Charles memberinya waktu untuk bersedih. Namun ia kembali berdiri. Ia mengusap air matanya.

"Tidak mungkin, tidak mungkin. Lalu siapa yang kusaksikan di kamar ibu saat aku turun tangga tadi? Tidak mungkin, pak polisi. Aku benar -- benar melihat ibu di dalam kamar jam sembilan pagi tadi."

"Ya, aku tahu, Reyner, kadang -- kadang kita memang suka melihat sesuatu."

Reyner menggeleng. "Bagaimana kalian bisa menemukan rumah ini?"

"KTP Bu Winda berada di dalam tas kecil yang dibawanya."

"Tidak mungkin."

Reyner sudah berjalan kembali ke arah kamar Winda, sementara kami merongrong dari belakang. Charles berkata, "Kedatangan kami ke tempat ini untuk meluruskan sesuatu, tuan Reyner. Apakah Winda memiliki masalah dengan orang lain, yang berpotensi mencelakai dirinya, sehingga kami bisa mengejar orang tersebut."

Namun Reyner sekali lagi tidak menggubris ucapan kami. Kami tiba lagi di dalam kamar Winda. Ruangan itu sebenarnya minimalis. Hanya ada satu rak buku, satu meja rias, dan satu tempat tidur. Di atas meja rias, aku melihat ada satu album foto yang terbuka. Dan ada secarik foto yang tergeletak di atas lantai kayu. Reyner sedang memungut foto itu ketika kami tiba kembali di kamar Winda.

Foto itu sedikit membuat Reyner sentimental. Foto itu merupakan foto portrait, menggambarkan seorang ibu muda yang dikelilingi oleh empat orang anak remaja, tiga perempuan dan satu laki -- laki. Aku cepat memahami. Foto itu adalah foto jaman dulu, Winda dikelilingi oleh keempat anaknya. Reyner tampak masih muda sekali, berusia belasan.

"Ibuku...ibuku...sedang memerhatikan ini ketika aku turun tadi. Ia sedang merindukan anak -- anaknya." ujar Reyner sambil menitikkan air mata.

Jadi, menurut orang ini, Winda ada di sini jam sembilan? Tidak mungkin. Jarak dari villa ini menuju bantaran sungai Utomo Jaya saja sekitar dua jam. Tidak mungkin Winda bisa berkendara secepat itu. Belum lagi rentang aksi pembunuhannya. Sayangnya kami tidak memiliki Mahmud yang bisa cepat menentukan waktu kematian. Sedari tadi aku menunggu laporan tim forensik. Sialan sekali, ini akan menjadi kasus yang sulit. Untungnya, Reyner kini mau terbuka terhadap kami.

Ia duduk di kursi rias. Sambil mendesah, ia bercerita. "Ibuku memang memiliki hati yang lembut. Aku anak terakhir. Kakakku yang ketiga, yang paling kanan di foto itu, bermasalah dengan keluarganya. Namanya Nisrina, ia ditipu oleh orang kredit. Mereka berhutang sekitar dua M. Akibatnya rumahnya disita. Sekarang bahkan ia sedang diajukan cerai oleh suaminya. Anak -- anaknya tidak tahu mau ikut siapa. Hati ibuku hancur memikirkan mereka."

"Sudah berulang kali ibu memintaku untuk turun ke bawah, ke kota, dan menengok mereka. Saya menyanggupi permintaan ibu. Namun ketika kami bertemu keluarga Nisrina, terlihat bahwa keluarga mereka diambang kehancuran. Tidak ada lagi kata damai. Yang ada hanya kata makian dan cacian. Bahkan kasus perceraian sudah mencapai tahap akhir. Itulah sebabnya ketika ibu berulang kali lagi memintaku untuk mengunjungi mereka, aku tidak mau. Suami Nisrina sudah menyebutku dengan sebutan anjing jalang. Sakit hati aku dibuatnya. Tapi, jika saja aku tahu ibu nekat untuk turun ke bawah seorang diri..."

Reyner kembali menangis. Namun aku tidak punya waktu untuk hal -- hal sentimental. Aku segera bertanya. "Di rumah ini, kalian hidup berdua saja?"

"Betul, pak polisi. Aku hanya hidup berdua dengan ibuku saja. Sejak ayahku meninggal aku tinggal di sini dan mengurus ibu, juga pekarangan dan perkebunan ini. Ada seorang pembantu yang pulang pergi mengurus cucian dan bersih -- bersih."

"Dan katamu tadi Winda jam sembilan masih ada di tempat ini?"

Reyner memandangku dengan penuh harap. "Ya. Aku melihatnya di sini jam sembilan. Pasti! Tidak mungkin ia berada di Utomo Jaya dalam waktu hanya sejam. Lagipula, mau naik apa? Mobilku masih ada di garasi."

Aku memandang Charles yang mengangguk, yang sebelumnya mengecek bahwa di dalam garasi ada sebuah mobil sedan tua. Aku mendesah. Reyner tidak punya motif untuk membunuh ibunya sendiri, jadi kemungkinan besar semua yang dikatakannya itu adalah kebenaran. Dan yang memiliki motif di kasus ini adalah Winda sendiri. Ia sengaja berkendara ke bawah untuk menemui keluarga anaknya, lalu karena hal yang tidak diharapkan ia menemui ajal di tangan suami anaknya. Hanya saja, timelinenya kacau akibat keterangan Reyner.

Aku berkeliling ruangan Winda dan berpikir sementara Charles menanyakan hal -- hal trivial kepada Reyner. Nenek yang menghilang. Kasus ini cukup unik. Di samping album foto, aku memerhatikan ada sebuah roti panggang yang baru termakan sebagian. Aku tahu bahwa bukti itu lemah, namun keterangan Reyner semakin berdasar. Winda ada di ruangan ini pagi ini, dan ia menghilang dalam sekejap, berpindah dalam jarak lima puluh kilometer, ditemukan tidak bernyawa di bantaran sungai daerah Utomo Jaya. Menakjubkan.

Aku menatap album keluarga yang terbuka. Keluarga itu adalah keluarga Winda. Hanya ada dirinya, suaminya, dan anak -- anaknya di album itu. Namun tiba -- tiba aku melihat sesuatu di pojok lembar album. Sebuah foto yang akan mengubah segalanya.

"Reyner, apakah ibumu memiliki saudara kandung? Atau lebih tepatnya...saudara kembar?"

Mata Reyner tiba -- tiba  membesar. Ia seperti menemukan sesuatu. "Benar! Ah, mengapa aku melupakan hal besar seperti ini? Ibu memiliki dua saudara kembar. Yang pertama, sudah almarhum. Yang kedua, kakak ibu, namanya Angelia. Dia tinggal di kota bersama suaminya. Dan, pak polisi, ia juga bermasalah sama seperti kakakku. Ia dikejar -- kejar oleh debt collector. Minggu lalu ia mengirimkan surat kepada kami, meminta bantuan. Ini, aku bisa tunjukkan suratnya."

Ia segera keluar ruangan, namun di ambang pintu ia berbalik. "Itu artinya polisi belum memastikan bahwa yang meninggal di Utomo Jaya adalah ibu? Ada kemungkinan bahwa ibu masih hidup?"

Aku benci mengakui kelemahan tim polisi. "Benar, Reyner. Tim forensik mendapat kendala hari ini sehingga pengidentifikasian terlambat. Bahkan sekarang aku pun sedang menunggu konfirmasi dari pusat."

Reyner hanya mengangguk, keluar dan kembali dengan sepucuk surat. Di surat itu tertanda pengirim bernama Angelia. Isinya kurang lebih menyatakan bahwa dirinya butuh uang, dan keluarganya kini dikejar -- kejar oleh debt collector. Debt collector adalah sebuah masalah tersendiri dalam dunia kriminal. Aku sering berhadapan dengan mereka dalam kasus pembunuhan. Percayalah, bukan kasus yang menyenangkan jika sudah harus berhadapan dengan orang -- orang itu, karena mereka kadang tidak peduli dengan hukum.

Aku menyadarkan diri. Apa itu artinya kami berada di tempat yang salah? Kriminal tidak terjadi di hutan konyol ini. Artinya Winda masih hidup. Lalu di mana dirinya sekarang? Ah, bukan urusan kami. Aku dan Charles saling bertatapan. Kami paham bahwa mungkin kami berada di tempat yang salah. Charles melempar pertanyaan asal -- asalan kepada Reyner.

"Kau terlihat begitu senang, berbeda dari sebelumnya. Apakah kau tidak menyukai Angelia, bibimu?"

Di luar dugaan, Reyner menjawab cepat. "Tidak, aku sama sekali tidak senang dengan bibiku itu. Dalam kenyataannya, di keluarga besar kami tidak ada yang menyukainya. Suka meminta duit, lalu habis dibelanja dan difoya -- foyakan. Ia pernah tinggal setahun di rumah ini bersama suaminya. Tingkahnya seperti parasit. Sampai -- sampai almarhum ayah yang harus berbicara baik -- baik kepadanya agar angkat kaki."

Baiklah, sepertinya kami berada di tempat yang salah. Bukan Winda yang tewas, melainkan saudaranya akibat ular debt collector. Hanya tinggal menunggu konfirmasi saja dari tim forensik. Mengapa mereka lama sekali?  Aku bertanya pada Charles dan sepertinya ia pun setuju denganku. Akhirnya Charles berbincang -- bincang dengan Reyner mengenai kemungkinan bahwa yang menjadi korban di bantaran Utomo Jaya. Ia mengakui bahwa ada kemungkinan polisi melakukan kesalahan. Sementara itu aku keluar ruangan dan menyusuri lorong. Menangani kasus demi kasus membuat kepalaku sakit.

Aku berjalan ke bagian depan, di ruang tamu, di mana ada meja kecil di tengah -- tengah. Beberapa surat tergeletak di atasnya, satu dengan amplop terbuka. Nampaknya itulah isi surat yang dibawa oleh Reyner kepada kami. Aku mengecek pengirimnya, dan benar, berasal dari Angelia. Namun di bawahnya ada beberapa tumpuk surat. Aku mengecek salah satu surat itu. Pengirimnya adalah Agustina, amplopnya berwarna cokelat terang. Nama itu terdengar familiar. Walau membaca surat adalah perbuatan tidak sopan, namun jiwa detektifku tidak bisa dilawan. Isi surat itu mengatakan bahwa ia akan datang untuk menjemput ibunya lusa tanggal 29 Januari, menuju ke kota. Aku langsung paham.

Pada saat itu kebetulan Reyner dan Charles keluar dari kamar Winda dan menyaksikanku membaca surat cokelat. Aku memerhatikan wajah Reyner. Ia tiba -- tiba terlihat merasa bersalah. Tidak ingin berlama -- lama, aku langsung memberinya tekanan. "Surat ini adalah bukti, Reyner. 29 Januari adalah hari ini, tepat ketika ibumu menghilang. Kakakmu akan datang ke rumah ini. Mengapa?"

"Ya, kakak memang seharusnya datang hari ini. Ibu memintanya untuk mengantarnya ke kota. Kami seharusnya akan bertengkar hebat sekarang. Dan, lihatlah, pak polisi, itu orangnya datang."

Sebuah mobil jeep berwarna ungu terparkir di luar pekarangan. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan keluar dari mobil. Sama sekali berbeda dengan  Reyner yang bergaya pedesaan, busananya parlente. Dengan mengenakan kaca mata hitam, hal pertama yang diucapkannya di ambang pintu adalah sebuah keluhan.

"Reyner dungu! Sudah berapa kali aku bilang! Jaga kebersihan di rumah ini! Hal ini yang membuat ibu tidak betah bersamamu."

Namun nadanya berubah menjadi sopan ketika menyaksikan ada orang lain di belakang adiknya. "Dengan siapa, pak? Ada yang bisa kami bantu?"

Tanpa basa -- basi kami memperkenalkan diri kami. Tanpa basa -- basi pula kami langsung memberikan brief singkat mengenai apa yang terjadi. Agustina terlihat terkejut. Reaksinya sama seperti Reyner, ia sangat syok dan terpukul. Agustina jatuh ke lantai. Namun, seperti mengalami dj vu, ia dengan cepat berdiri. Yang terjadi berikutnya adalah sebuah penyangkalan.

"Ti, tidak, tidak mungkin, pak polisi. Tidak mungkin. Aku baru saja menelepon ke rumah ini jam sembilan pagi tadi, dan ibu menjawabnya. Aku tahu bahwa bedeng Utomo Jaya berada dua jam perjalanan dari tempat ini, jadi tidak mungkin jika ia menjawab pada pukul sembilan pagi dan berada di sana pagi ini. Tidak mungkin. Adakah waktu kematian korban?"

Lagi -- lagi. Kami tidak bisa menjawabnya. Hari ini sungguh konyol sekali. Saat kami sangat membutuhkan Mahmud, ia malah cuti. Kasus seperti ini akan membuktikan ketidakkompetenan kepolisian. Tapi Reyner membantu kami dengan memberikan penjelasan bahwa ada kemungkinan yang terbunuh adalah adalah Angelia, bibi mereka. Reaksi Agustina sama.

"Ah, sungguh berita yang menyenangkan! Sudah lama aku menginginkan orang itu mati. Aku minta maaf sebelumnya, pak polisi. Tapi ini berita baik. Orang itu terlalu menjadi parasit di keluarga besar. Lalu, di manakah ibu berada, kalau begitu?"

Reyner menganggukkan bahu tanda ia pun tak tahu menahu. Ia mengatakan bahwa Winda hilang begitu saja. Agustina yang tidak terima memintanya untuk melanjutkan pencarian ibunda yang tercinta. Reyner menyanggupi.

"Kau sudah mengecek kamar atas? Yakin bahwa ia tidak ada di sana? Terpaksa kita mencarinya di sekitar hutan, kalau begitu."

Keduanya lalu bergerak keluar pekarangan setelah meminta ijin dari kami. Aku menatap Charles. Kami berdua geleng -- geleng, seakan saling memahami. Hari ini kami berdua menemui jalan buntu. Kasus ini mengingatkan kami terhadap kasus petir legenda. Tidak ada pemecahannya. Sampai sekarang pun, kasus itu belum terselesaikan.

Hari ini kesialan demi kesialan terus menimpa kami. Yang pertama, Mahmud cuti. Yang kedua, kami salah mengejar tempat kejadian perkara. Bukan di villa ini, melainkan di suatu tempat di aliran atas sungai. Yang ketiga, kami salah menetapkan korban. Bukan Winda, melainkan Angelia.

Karena kesal, aku mencoba melimpahkan perhatian pada tumpukan surat. Aku mengacak -- acak surat -- surat itu. Sebagian besar adalah tumpukan tagihan: listrik, air, telepon, internet, dan lain -- lain. Namun mataku yang jeli memerhatikan sesuatu. Tagihan -- tagihan itu sudah berlangsung beberapa bulan, dan belum dibayar. Lalu di tumpukan paling bawah, terdapat sesuatu yang amat fatal. Ya, surat tagihan dari debt collector. Aku dan Charles saling berpandangan.

Tiba -- tiba muncul sebuah benang merah di kepalaku. Selama ini aku sudah memperhitungkan hal ini, namun kekurangan suatu motif. Kini motif -- motif itu sudah berada di tanganku sendiri. Aku berseru kepada Charles, namun sepertinya sudah terlambat. Di luar, terdengar deru dari dua buah kendaraan. Kami berlari ke ambang pintu. Sebuah jeep berlari menuruni jalan bukit diikuti oleh sebuah sedan biru.

Aku tidak ingin kalah. Aku segera menghubungi tim kepolisian yang berada di pintu masuk komplek bawah. Sebagian dari tim forensik memang mengikuti kami, namun kami instruksikan untuk menunggu di bawah, karena kami sendiri belum yakin dengan TKP. Ternyata absennya Mahmud membawa berkah tersendiri. Jika Mahmud bersama kami, pasti ia ngotot untuk memeriksa rumah ini bersamaan dengan kedatangan kami.

Tim kepolisian di bawah mengonfirmasi perintah dari kami. Sekarang aku dan Charles hanya bisa berharap bahwa kedua kakak beradik Agustina dan Reyner bisa diringkus oleh polisi. Sedari awal aku sudah mencurigai mereka sebagai biang keladi, namun satu -- satunya kelemahan mereka adalah tidak adanya motif. Dan secara kebetulan motif itu kami temukan sendiri. Itulah mengapa Reyner berwajah pucat saat aku menemukan surat Agustina. Bukan surat itu, melainkan tumpukan surat di bawahnya yang membuatnya pucat.

 Sebuah pesan masuk ke handphoneku. Isinya dari tim forensik yang memberitahukan identitas dan waktu kematian korban. Aku hanya tersenyum melihat layar handphone, karena aku sebenarnya sudah tahu jawabannya.

"Winda Yuliati. Alamat: Villa Semanggi, Komplek Bangun Wijaya. Waktu kematian: Pk 00.30, 29 Januari 2036."

***

***

Kasus lain dapat disaksikan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun