Tiba -- tiba muncul sebuah benang merah di kepalaku. Selama ini aku sudah memperhitungkan hal ini, namun kekurangan suatu motif. Kini motif -- motif itu sudah berada di tanganku sendiri. Aku berseru kepada Charles, namun sepertinya sudah terlambat. Di luar, terdengar deru dari dua buah kendaraan. Kami berlari ke ambang pintu. Sebuah jeep berlari menuruni jalan bukit diikuti oleh sebuah sedan biru.
Aku tidak ingin kalah. Aku segera menghubungi tim kepolisian yang berada di pintu masuk komplek bawah. Sebagian dari tim forensik memang mengikuti kami, namun kami instruksikan untuk menunggu di bawah, karena kami sendiri belum yakin dengan TKP. Ternyata absennya Mahmud membawa berkah tersendiri. Jika Mahmud bersama kami, pasti ia ngotot untuk memeriksa rumah ini bersamaan dengan kedatangan kami.
Tim kepolisian di bawah mengonfirmasi perintah dari kami. Sekarang aku dan Charles hanya bisa berharap bahwa kedua kakak beradik Agustina dan Reyner bisa diringkus oleh polisi. Sedari awal aku sudah mencurigai mereka sebagai biang keladi, namun satu -- satunya kelemahan mereka adalah tidak adanya motif. Dan secara kebetulan motif itu kami temukan sendiri. Itulah mengapa Reyner berwajah pucat saat aku menemukan surat Agustina. Bukan surat itu, melainkan tumpukan surat di bawahnya yang membuatnya pucat.
 Sebuah pesan masuk ke handphoneku. Isinya dari tim forensik yang memberitahukan identitas dan waktu kematian korban. Aku hanya tersenyum melihat layar handphone, karena aku sebenarnya sudah tahu jawabannya.
"Winda Yuliati. Alamat: Villa Semanggi, Komplek Bangun Wijaya. Waktu kematian: Pk 00.30, 29 Januari 2036."
***
***
Kasus lain dapat disaksikan di sini.