Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Petir Legenda [Detektif Kilesa]

11 Agustus 2020   08:46 Diperbarui: 11 Agustus 2020   08:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS PETIR LEGENDA

Pk 21.20.

"Mahmud Syahmuni sialan! Mahmud sialan! Sampah!"

Di sebelahku, Charles tiada hentinya mengumpat. Kami berjalan selangkah demi selangkah, di sebuah trotoar perumahan yang menanjak naik. Angin kencang bertiup, membuatku menutup badan rapat -- rapat dengan jaket kulitku. Charles tidak memakai jaket, melainkan jas polisi biasa. Itulah asal mula kutukannya, yang pertama.

Yang kedua, mobil kami tidak boleh masuk perumahan ini. Ya, cukup aneh. Walaupun aku telah menunjukkan ID polisi. Padahal komplek perumahan ini tidak elit -- elit amat. Aku yang tidak ingin berlama -- lama karena ingin segera melihat TKP, akhirnya mengalah dengan sekuriti depan. Lagipula, Mahmud bilang rumah itu cukup dekat, jadi kutinggalkan mobil di depan. Kenyataannya, jalan menanjak dan angin menjadi beban penghalang kami.

Yang ketiga, sudah jam sembilan malam. Gelap. Hujan. Angin. Kadang guntur. Bahkan kami berjalan dengan bantuan senter, walau ada penerangan di kanan kiri. Ini adalah cuaca terburuk dalam menjalankan tugas detektif.

Tubuhku termasuk lemah. Sejam saja aku berdiam dalam cuaca seperti ini, aku yakin lusa pasti sakit. Setengah dari diriku setuju dengan Charles yang mengumpat akibat telepon dari Mahmud sejam yang lalu, bahwa telah terjadi pembunuhan.

Dengan mengabaikan keluhan -- keluhan Charles, akhirnya kami tiba di rumah yang dimaksud. Rumah itu cukup besar, terdiri dari dua tingkat. Tebakan pertamaku adalah rumah itu bukanlah rumah yang ditinggalkan oleh penghuninya, karena semua masih terlihat seperti baru.

Di tengah remang -- remang lampu taman, aku melihat rumput yang rapi, cat rumah yang masih putih, pintu kayu yang berwarna cokelat terang. Mungkin penghuninya hanya memakai untuk pelesiran saja.

Mahmud menunggu kami di pintu gerbang dengan muka mengernyit. Kata -- kata pertamanya langsung memantik emosi.

"Kalian tidak memakai mobil ke sini?"

"Kau memakai mobil? Di mana?"

Mahmud menunjuk mobilnya di pojokan jalan. Lalu ia mengangguk, "Ah, aku lupa. Sekuriti depan memang orang jahil. Sebenarnya boleh bawa mobil masuk. Kebetulan aku kenal dengan orang itu, jadi aku kenal dengan keisengannya. Aku lupa memberitahu bahwa ada temanku yang akan datang. Maaf, Kilesa, Charles. Nanti turun kita naik mobilku bersama -- sama."

Terdengar suara menggeram dari belakang, aku tahu bahwa Charles menahan amarah. Begitu pula diriku. Namun aku berusaha untuk profesional. "Sudah, tidak perlu bertele -- tele, Mahmud. Kau tahu aku gampang sakit dalam cuaca seperti ini. Lebih baik kita cepat bereskan kasus ini. Gerimis juga semakin kencang."

Mahmud mengangguk tanda mengerti. Ia membimbing kami memasuki rumah. Tebakanku sepertinya benar. Di dalam, perabotan rumah terlihat baru tanpa adanya kotoran dan debu. Lantai mengkilap. Beberapa pajangan berada di dinding dan lantai. Lampu berlian mewah tergantung di langit -- langit.

"Yang mati adalah penghuni rumahnya? Apakah ia tinggal di sini?"

Mahmud mengangguk, "Namanya adalah Sena. Sena Fransiscus. Usianya 43 tahun. Ia adalah seorang pengusaha muda, di bidang properti. Jadi bisa dibilang, rumah ini adalah salah satu aset yang ia miliki. Ia tidak tinggal di sini. Dalam kenyataannya, ia tidak tinggal di mana -- mana. Ia berpindah -- pindah dari satu asetnya ke aset lain. Dan setelah kucek, memang ia cepat sekali melakukan jual beli aset."

Aku setengah tertawa, "Mungkin ia menghindari pajak? Menghindari debt collector? Dan ia dibunuh? Hati -- hati, Mahmud, aku tidak suka berhubungan dengan preman -- preman debt collector itu."

Mahmud tersenyum kecil, "Tidak, Kilesa, aku yakin kali ini bukan masalah debt collector. Tunggu sampai kalian lihat keadaan almarhum."

"Apa maksudmu?"

Mahmud tidak menjawab pertanyaanku. Ia membimbing kami menaiki tangga menuju lantai dua, dan terpampanglah bahwa lantai dua terdiri dari setengah ruangan tertutup, setengah ruangan terbuka.

Ada halaman yang berlantaikan semen dan batu di luar, dibatasi oleh kaca geser yang besar. Perabotan dapur, meja panggang, dan meja bundar serta pernak -- perniknya berada di dalam, jelaslah lantai ini dimaksudkan untuk dinner romantis atau barbekyuan.

Saat ini penerangan remang -- remang mencahayai ruangan luar, namun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang kucari -- kucari. Ya, di seluruh pelupuk mata, tidak ada mayat bernama Sena Fransiscus.

Dua orang anggota forensik masuk melalui kaca geser dari arah luar, datang dari sebelah kiri. Kami tidak melihat mereka sebelumnya. Aku mulai mengerti. Mayat itu berada di luar, di sudut mati tembok, sehingga tidak terlihat dari dalam. Aku dan Charles mulai melangkah keluar, namun Mahmud memberi kami peringatan.

"Apa pun yang terjadi, tolong jaga emosi kalian. Mayat ini berbeda dari yang lain."

Dengan wajah mencibir aku dan Charles mengabaikan perkataan Mahmud. Kami melangkah keluar. Gerimis menyambut kami. Dengan menudungi kepala, aku menyaksikan sebuah mayat yang berada di titik gelap.

Ketika kami menyorotnya dengan senter agar terlihat jelas, kami hampir terpelanting ke belakang akibat kaget. Kami terkejut. Sena Fransiscus terbujur kaku, terbaring dengan posisi yang aneh. Kakinya melipat tidak sesuai sendi, tangannya seperti hendak mencakar. Yang paling menyeramkan adalah wajahnya yang seperti melihat mahluk gaib. Setengah dari wajah itu terbakar.

Charles ketakutan, "Apakah ini perbuatan makhluk gaib? Mahmud sialan."

Namun aku cepat menguasai diri. "Tidak, tidak. Ia tidak mati oleh makhluk gaib atau sebangsanya. Bahkan ia tidak mati dibunuh."

Aku menatap Mahmud, "Adalah benar kau mengatakan agar kami tidak emosi. Sekarang aku benar -- benar emosi, Mahmud. Ia tidak mati dibunuh. Wajah orang itu menunjukkan bahwa ia mendapatkan tegangan listrik tingkat tinggi. Disetrum. Namun di tempat ini tidak ada kawat bertegangan tinggi. Kesimpulannya adalah ia dibunuh oleh alam. Ia disambar petir, Mahmud."

Charles terperangah. "Tersambar petir? Jadi, ini hanya kecelakaan belaka? Mahmud, aku benar -- benar tidak suka ini. Kami harus menempuh badai dan hujan, naik jalan menanjak, hanya untuk mendapatkan sebuah kecelakaan. Bukan pembunuhan. Ini bukan bagian kami! Tanggung jawab, Mahmud Syahmuni!"

Nampaknya Mahmud sudah mengantisipasi hal ini karena ia hanya membalasnya dengan senyum. Kemudian ia mengarahkan senternya pada sesuatu yang berada di samping mayat, yang lolos dari penglihatan kami. Lalu menjadi jelaslah mengapa ia memanggil kami kemari.

"Tadinya juga kupikir begitu, kawan -- kawan," ujar Mahmud menjelaskan, "namun benda itu menunjukkan bahwa dirinya disambar petir mungkin direncanakan. Bagaimana? Perlukah kita bahas di dalam?"

Aku berpikir cukup lama sebelum menjawabnya. "Kau benar, Mahmud. Mungkin ini direncanakan."

Kami bertiga akhirnya kembali memasuki ruang dalam untuk membahas kasus. Sebelum kembali masuk, aku melempar pandang kepada benda itu. Di sudut mati, ada tiang peredam petir. Mungkin saja tangan atau kaki Sena terikat pada tiang peredam petir oleh benda itu. Tentu saja, Kilesa. Fungsi dari benda itu adalah untuk mengikat anggota tubuh seseorang. Hanya saja, kali ini benda itu sudah hancur akibat dihantam petir.

Ya, sebuah borgol.

***

Charles merentangkan tangan, "Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin? Sekali lagi kuulangi, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seorang pembunuh mengetahui bahwa akan ada petir yang menyambar rumah ini, kuulangi, rumah yang beralamat di jalan Ancoran Megasanjaya nomor 31, antara pukul tujuh dan sembilan malam, tanggal 30 Juni 2035? Bagaimana mungkin ia tahu cuaca akan hujan berangin, berpetir pula? Tidak, Kilesa. Tidak, Mahmud. Ini hanya kebetulan belaka."

Aku merenung dan berpikir, sehingga yang menjawabnya adalah Mahmud. Ia juga merentangkan tangan. "Jelaskanlah borgol itu, Charles."

Tahu bahwa ia tidak punya jawabannya, Charles hanya melenguh. "Huh, sudah kubilang kebetulan saja ada borgol di sana."

"Timku sudah mengecek dan petir yang sama yang menyambar borgol dan yang membunuh Sena adalah petir yang sama. Jenis pembakaran, residunya, dan luka bakarnya sama. Sena Fransiscus sedang diborgol di tiang peredam petir ketika petir menyambarnya."

"Petunjuknya masih kurang, Mahmud. Adakah keterangan lain yang kaudapatkan?"

"Di rumah ini ada seorang penjaganya. Namanya Basri. Ialah yang melaporkan kejadian ini. Tunggu saja, ia sedang diinterogasi oleh timku, sedang ditanya tentang hal -- hal yang trivial. Setelahnya kita bebas untuk mewawancarainya. Selain itu, ada rekaman cctv yang sedang diperiksa oleh tim forensik juga, berasal dari pintu depan. Selebihnya rumah ini kosong. Tidak ada dokumen tersembunyi, tidak ada surat berharga, tidak ada perhiasan dan uang. Tidak ada tanda -- tanda penggeledahan. Mudah -- mudahan dari dua hal itu, ada yang bisa kita dapatkan."

Aku masih merenung dan berpikir. Charles benar. Tidak mungkin Sena diborgol di tiang peredam petir, lalu berharap ada petir yang akan menyambarnya. Atau mungkin penangkapnya hanya ingin mengikatnya di situ, tanpa bermaksud membunuhnya? Untuk apa? Mengapa di tiang peredam petir? Apakah ini semua serba kebetulan? Semua masih belum jelas. Semoga dua petunjuk berikutnya dapat menjelaskan ini semua.

Kami turun ke bawah untuk mendapatkan Basri sedang diinterogasi oleh tim forensik di ruang belakang. Ada sebuah saung serta kolam renang. Di bawah saung, ada kursi dan meja, dan di situlah dirinya berada. Basri sudah berumur. Tampangnya sayu dan lemah. Menurut penilaianku, ia bukanlah tipe orang yang suka macam -- macam. Namun pengalamanku sudah membuktikan bahwa anak rusa pun bisa membunuh.

Basri terlihat cemas dan gelisah. Ia seperti merasa bersalah. Tubuhnya gemetar, terlebih mengetahui bahwa pertanyaan tentang identitasnya telah usai, berganti dengan investigasi yang sebenarnya. Ia masih bisa menjawab dengan tata kalimat yang bagus ketika kami duduk di hadapannya.

"Jadi, bapak yang melaporkan kejadian di rumah ini," dibalas dengan anggukan oleh Basri, "pukul berapa bapak mengetahui bahwa Pak Sena Fransiscus telah tidak bernyawa?"

"Pukul setengah delapan malam, pak. Hujan badai dan petir telah mencemaskan saya sejak sore hari. Malam hari akhirnya saya mengecek ke atas dan sudah menemukan Pak Sena dalam kondisi tidak bernyawa. Saya langsung lapor polisi, pak."

Aku mengernyit. Ada banyak pertanyaan, namun semua harus dijelaskan secara runut. "Apakah bapak tahu penyebab kematian Pak Sena?"

Ia mengangguk dengan cemas, "Petir, pak. Ia disambar petir."

"Dan itu merupakan sebuah kecelakaan. Orang biasa akan menghubungi ambulans dibandingkan polisi saat menemukan orang tersambar petir, namun bapak malah menghubungi pihak yang berwenang. Mengapa, pak?"

Tubuh Basri mulai bergetar ketakutan. "Itu karena...karena..."

Belum selesai menjawab, Charles memotong. Sejujurnya aku tidak suka ini.

"Karena bapak tahu bahwa Sena Fransiscus telah dibunuh, daripada tewas karena bencana alam. Sudah, pak, mengaku saja, siapa yang sudah mengikat Pak Sena ke tiang peredam petir sore tadi? Apakah seorang yang membencinya? Saingan bisnis?"

Aku menyorongkan tangan ke arah Charles dan mengambil alih. "Apakah bapak tahu bahwa ada pengikat yang berada di samping mayat Sena saat petir menyambar?"

Basri mengangguk. Aku meneruskan, "Apa pengikat itu?"

"Sebuah...sebuah borgol, pak."

Charles kembali mengintimidasi, "Lalu siapa yang telah memborgol Sena ke tiang itu? Penagih hutang? Teman bisnis? Atau....bapak sendiri?"

Aku menatap Charles dengan kesal. Namun Basri menjawab dengan jelas. "Tidak, pak. Pak Sena sendiri yang mengikat tangannya ke tiang peredam petir. Kalau bapak tidak percaya, pak polisi bisa menemukan kuncinya di balik kantong celananya."

Aku terdiam mendengar jawaban Basri. Kalau benar ia yang sebenarnya membunuh Sena dengan mengikat tangannya ke tiang peredam, maka ini adalah sebuah pergerakan yang sangat berani. Namun pernyataannya tidak masuk akal. Untuk apa Sena mengikat dirinya ke tiang peredam petir?

Mahmud langsung mengambil tindakan. Ia meminta anak buahnya untuk menggeledah mayat Sena di atas. Sementara itu aku menyerah.

"Pak Basri, tolong bapak jelaskan dengan sebenar -- benarnya, apa maksud dari pernyataan bapak. Bagaimana mungkin Sena mengikat dirinya sendiri di tiang peredam petir?"

Basri mendesah, lalu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Baiklah, pak. Memang sepertinya semua ini membingungkan, jadi sebaiknya saya ceritakan dari awal. Pak Sena selain pengusaha properti, adalah seorang yang tergabung ke dalam komunitas kosmologi dan antariksa. Mereka sering berkumpul di tempat ini untuk bertemu. Saking seringnya, saya kadang -- kadang juga diperbolehkan untuk ikut kumpul -- kumpul, meski dari belakang. Itulah sebabnya saya bisa hapal nama komunitas ini. Bahkan saya juga hapal beberapa istilah aneh luar angkasa."

"Malam kemarin, mereka berkumpul -- kumpul lagi di lantai dua, sambil barbekyu. Saya memerhatikan dari belakang, sambil menyiapkan daging. Salah seorang, namanya Jainudin, adalah seorang ahli cuaca. Ia bilang bahwa besok di tempat ini, tepat di rumah ini, pada pukul 19.25, akan ada sebuah petir yang menyambar tiang peredam petir di samping itu. Semuanya tertawa mencemooh. Pak Sena bahkan berani bertaruh. Ia akan mengikat dirinya sendiri di tiang itu, lalu menyaksikan petir akan membunuhnya. Semuanya kembali tertawa, kecuali Jainudin."

"Saya memerhatikan, Pak Jainudin tidak lagi bersemangat dalam sisa pertemuan itu. Saya tebak, karena ia tahu bahwa Pak Sena adalah orang yang memegang ucapannya. Apa pun yang ia ucapkan, orang tidak akan bisa menghalangi. Pak Sena benar -- benar akan mengikat dirinya di tiang peredam petir. Di akhir pertemuan, Jainudin menghampiri saya. Ia bilang lakukan apa pun, agar Pak Sena tidak mengikat dirinya di tiang itu."

"Lalu apa yang bapak lakukan?" aku bertanya.

"Saya memperingati majikan saya. Tapi seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, Pak Sena adalah orang yang teguh pendirian. Dan setelah saya pikir, mana mungkin ada petir yang akan menyambar tempat ini secara kebetulan, di waktu yang pas juga? Mana mungkin ada hal seperti itu? Itulah sebabnya saya pikir Pak Jainudin hanya bercanda saja. Dan orang itu datang kembali, pak. Siang ini sekitar jam dua belas."

Tepat ketika itu seseorang anggota tim forensik mendatangi Mahmud dan memberikan laporan. Laporan itu adalah rekaman cctv. Ia memberitahu ada sekitar tujuh orang yang keluar masuk rumah pada malam kemarin, lalu ada seseorang yang memasuki rumah hari ini pada pukul dua belas siang. Tidak ingin bertele -- tele, aku menunjukkan rekaman itu pada Basri.

"Apakah ini yang bernama Jainudin?"

"Betul, pak," ujar Basri, "tapi ia langsung diusir oleh Pak Sena. Dua -- duanya adu teriak, pak. Saya jadi malu sama tetangga."

Sepuluh menit kemudian layar rekaman cctv memperlihatkan Sena beradu suara di ambang pintu dengan Jainudin, dan pada akhirnya Jainudin terpaksa keluar rumah, lalu pekarangan. Basri melanjutkan.

"Jam lima sore biasanya Pak Sena berada di ruang tengah dan menonton berita, namun setelah saya telisik ternyata ia berada di lantai dua, sebelah luar. Ia memandang ke arah pekarangan tetangga dari balkon, seperti sedang memikirkan sesuatu. Saat itu cuaca mulai gelap dan gerimis. Saya jadi khawatir. Saya mencoba memperingatinya. Tapi saya juga diusir, pak. Katanya, sebelum jam delapan, kalau saya memunculkan batang hidung saya di tingkat dua, saya akan dipecat. Saya takut. Akhirnya saya menuruti. Dan jam enam, angin mulai kencang. Petir mulai bermunculan."

"Tepat jam setengah delapan, saya naik ke atas. Dan ternyata Pak Sena sudah tidak bernyawa. Mukanya sangat menyeramkan, pak, seperti sudah melihat makhluk gaib. Saya panik, takut, pak. Saya langsung telepon polisi. Saya sama sekali tidak kepikiran untuk telepon ambulans. Saya takut saya juga dalam ancaman bahaya."

Basri menunduk. Suka atau tidak suka, penjelasannya sebenarnya masuk akal. Dalam suasana tertekan dan ketakutan, orang cenderung mencari jalan aman. Selain itu, aku tidak bisa mencari motif pembunuhan. Bagi siapapun. Bagi anggota komunitas, bagi Basri, bagi Jainudin. Apakah aku harus menyelidiki saingan bisnisnya satu persatu? Sungguh sialan sekali.

Pada saat ini seorang anggota tim forensik datang dan mengonfirmasi bahwa ada kunci borgol di balik kantung baju Sena. Semuanya klop. Akhirnya aku mengijinkan Basri untuk keluar. Namun ia masih ragu -- ragu. Sepertinya masih ada yang masih ingin diceritakannya. Aku mengangguk. "Katakanlah, Basri. Ada apa?"

"Anu, begini, pak. Saya sudah tinggal di tempat ini sebelum Pak Sena menjadi pemilik, bahkan beberapa pemilik sebelumnya. Tempat ini selalu dijadikan tempat pelesiran, oleh karena itu selalu terlihat seperti baru. Namun, pemilik sebelumnya adalah orang yang suka mendongeng. Ia suka ikut mendengarkan gosip -- gosip dari tetangga. Pada suatu kali, ia menceritakan kepada saya tentang legenda petir keramat. Petir itu hanya datang seratus tahun sekali."

Basri meneguk ludah sebelum kembali melanjutkan, "Saya baru ingat ketika kejadian ini sudah terjadi. Pak Harry, pemilik sebelumnya, mengatakan bahwa pada tahun 1935 ada sebuah petir yang menyambar menara radio di daerah ini. Dan ternyata setelah ia telusuri, menara radio itu adalah rumah ini sebelumnya. Persis. Menara radio itu terbakar, dan gosipnya lima orang meninggal. Orang -- orang bilang petir itu datang juga seratus tahun sebelumnya. Saya sebenarnya bukan orang yang percaya mitos, pak. Saya juga tidak ingin menakut -- nakuti. Namun saya harap bisa berguna bagi penyelidikan bapak."

Aku menggeleng -- geleng dalam hati mendengar cerita Basri. Tidak mungkin ada kebetulan berulang terjadi di tempat yang sama. Namun ketika aku memandang Charles, ia membeku dan bulu kuduknya berdiri. Akhirnya aku menanyakan Basri adakah yang ingin disampaikannya lagi. Ia menjawab tidak ada, dan ia pun keluar. Tinggallah kami bertiga membahas kasus yang terjadi.

"Sudahi takutmu itu, Charles. Bikin malu saja."

Charles malah semakin terlihat paranoia dan memandang sekitar. "Ada yang aneh di tempat ini, Kilesa. Aku bisa merasakannya."

"Hus. Lebih baik lihat saja ini."

Aku memegang rekaman cctv dan mengarahkan waktu menuju 19.25, saat terjadinya petir. Jika benar petir menyambar rumah ini, sekring akan putus sementara dan terjadi mati lampu. Namun yang terjadi adalah hal yang tidak bisa kujelaskan.

"Kacau, ini benar -- benar kacau. Apa maksudnya ini?" ujarku.

Alih -- alih menjadi gelap gulita akibat aliran listrik padam, layar cctv berubah menjadi mode gelap. Semua terlihat menjadi bayangan hitam putih. Tidak ada yang terjadi hingga sepuluh menit kemudian, lampu kembali menyala. Sepertinya saat itu Basri sudah menyambungkan sekring kembali. Derap kaki terdengar dari tangga, tanda ia mengecek ke lantai dua. Sepertinya saat itulah ia menemukan Sena sudah dalam kondisi tidak bernyawa.

Aku mendesah. Kasus ini sulit. Sama sekali tidak ada titik terang. Petunjuk tidak mengarah pada sesuatu, juga motif tidak muncul ke permukaan. Aku hendak mematikan layar rekaman cctv ketika kulihat Basri keluar pekarangan sambil mengacungkan handphone. Apa maksudnya? Padahal masih ada gerimis dan angin. Sepertinya ia hendak menelepon seseorang. Mengapa ia melakukan di luar rumah? Tidak dapat sinyal? Ah, tidak bisa kujelaskan.

Setelah berunding, kami memutuskan untuk melakukan investigasi lebih lanjut esok hari. Dilanjukan pun tidak ada titik terang. Saat ini kepalaku pusing. Hujan sudah menyerap ke dalam tubuhku. Mungkin di kantor polisi besok, kami dapat berpikir lebih jernih. Hari sudah malam, dan tidak baik untuk memaksakan diri.

Aku menutup pintu mobil tim forensik, memerhatikan rumah itu sekali lagi. Garis kuning polisi sudah melintang di depan gerbang, tanda tempat itu adalah TKP. Aku melihat ke atas, ke lantai dua. Dua buah lampu sorot berada di masing -- masing pojokan, menyinari bagian luar lantai dua sehingga tempat itu terlihat temaram. Sebenarnya pemandangan itu memberikan kesan artistik, dan memanjakan mata, jika kami tidak tahu bahwa ada mayat di sana.

Di bawah lantai dua, ada lampu sorot yang menyinari taman. Di sampingnya, ada tempat cctv bernaung. Aku berpikir. Ada berapa banyak rumah pribadi memiliki cctv sendiri? Di rumah konglomerat sekalipun, aku jarang menemukan cctv terpasang. Namun aku akui, memiliki cctv di rumah sendiri bukanlah sebuah hal yang aneh. Mungkin tujuannya untuk mencegah pencuri.

Aku menarik napas panjang. Kasus ini belum terselesaikan. Tapi yang kutahu, seseorang jelas telah berbohong dalam kasus ini.

***

***

Kasus lain dapat dilihat di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun