Abdul terdiam beberapa saat, seperti sedang berpikir. Ia lalu menjawab, "Sebenarnya mesinnya sudah tua. Sudah mulai ngadat. Paling kuat tahan setahun dua tahun lagi. Apakah kau yakin ingin membelinya? Atau sebaiknya kuberikan saja secara cuma -- cuma?"
Aku tertawa miris, "Pak tua, untuk seorang pemilik mobil VW kodok keluaran tahun 1971, tidak baik untuk mengatakan mobil itu tidak berhar..."
Perkataanku terpotong dengan sebuah seruan pemuda dari dalam rumah. Itu suara Johnny, pikirku. Sebenarnya aku malas untuk mengecek apa yang menyebabkan teriakan histeris dari anak tunggal keluar Abdul Budiman. Oleh karena itu aku adalah orang yang terakhir masuk ke dalam ruangan. Johnny berada di samping rak sepatu dengan tampang memendam amarah. Di bawahnya, sepasang sepatu chukka berwarna abu -- abu di tergeletak sembarangan. Dan sepatu itu rusak. Rusak dalam artian ada yang sengaja merusaknya, karena bagian tumitnya sudah terbelah dua bagian seperti kena gunting. Tali di bagian depan juga sudah tergunting.
Leni dan Bambang yang baru masuk ke lorong tengah terperangah melihat kelakuan Johnny, juga Abdul dan anak -- anak yang berasal dari kolam renang. Lauren kemudian datang sambil mengenakan celemek dari arah dapur, dan terakhir adalah diriku yang datang dengan muka datar. Kadang -- kadang aku benci dengan sikap empati lemahku. Idris berseru.
"Paman Johnny, lihat! Sepatumu rusak!"
Johnny membalas berseru, "Tentu saja, dongo! Aku tahu! Sepatuku rusak! Sialan, sialan semuanya! Arrgh."
"Siapa yang merusak sepatu ini? Tapi...lagipula, apakah perlu membesar -- besarkan seperti ini? Ini hanya sepasang sepatu saja, Johnny."
"Kau katakan agar aku cepat menikah, papa. Ya inilah usahaku. Kenanga suka dengan sepatu ini. Dan sekarang...ahh."
Lenguhan Johnny diikuti dengan Abdul yang berjanji akan segera membelikan sepatu lagi, juga Lauren yang mencibir dan menyatakan Johnny adalah manifestasi dari budak cinta yang sebenarnya. Sementara itu Leni yang sepertinya kenal dengan sifat Johnnya memilih untuk tidak ambil pusing dan segera naik ke lantai dua bersama suaminya untuk beristirahat. Pada akhirnya, semua meninggalkan Johnny yang terduduk kecewa di lorong tengah. Semua, kecuali diriku.
Aku berjalan dengan tenang. Hal kedua yang kubenci dari diriku adalah sifat detektifku merupakan sifat yang alamiah.
"Sepatumu itu tidak rusak karena bencana alam, atau alam gaib, Johnny. Ada yang merusaknya."