Mohon tunggu...
Theodorus Widodo
Theodorus Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat kebangsaan, anak 3, 2 cewek 1 cowok

Mantan dosen Univ Nusa Cendana Lulusan Univ Kristen Petra Tinggal di Kupang Besar di Ende Flores Tamat dari SMA Syuradikara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat buat Gus Dur

1 Januari 2020   13:08 Diperbarui: 1 Januari 2020   13:52 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SURAT BUAT GUS DUR
(10 tahun in memoriam)

Selamat pagi Gus.

Tak terasa, sepuluh tahun sudah panjenengan meninggalkan kami. Pergi untuk selamanya menghadap sang Khalik, pemilik kehidupan ini.

Sepuluh tahun tentu bukan waktu yang singkat.

Aku masih ingat sore itu. Tepatnya tanggal 30 Desember 2009 atau sehari jelang tutup tahun. Jarum jam di tangan menunjukkan angka 06.45. Hujan baru saja turun. Aroma tanah basah dan bunga flamboyan kota Kupang di bulan Desember mengingatkan pada hari Natal yang baru saja lewat. Dan aku sedang bersiap-siap berangkat menuju luar kota untuk suatu urusan. Aku lupa itu urusan apa.

Tiba-tiba saja tayangan televisi di sela breaking news. Gus Dur, budayawan, humanis, mantan presiden, tokoh dunia, bapak pluraris dan multikulturalis sejati dipanggil pulang untuk selamanya. Gusti Allah, sang pemilik kehidupan ini memanggil pulang panjenengan. Sosok perkasa. Tokoh besar. Pelindung siapa saja yang tertindas.

Kami kaget Gus.

Kami tahu, waktumu mestinya memang tidak lama lagi. Panjenengan sakit-sakitan. Tapi kami masih mengharapkan pengertian baik dari Gusti Allah. Membiarkan panjenengan tetap bersama kami. Paling tidak untuk beberapa waktu lagi. Melewati hari-hari yang berat itu Gus. Sungguh. Kami masih sangat membutuhkanmu.  Kami berharap semoga Gusti Allah masih lama memilih-milih waktu yang tepat untuk memanggilmu pulang. Dan harapan kami, waktumu itu belum tiba.

Tapi astaghfirullah. Rupanya waktu bagi kami tidak sama dengan waktu bagi Gusti Allah. Sang pemilik kehidupan ini  punya pertimbangan lain. Apa mau dikata. Panjenengan harus pulang.

Langit terasa runtuh. Dada ini sesak. Lorong lorong RS Cipto Mangunkusumo jadi saksi betapa semua orang berduka. Indonesia berduka. Dunia berduka. Semua  pencinta damai berduka. Mereka yang mendorongmu dalam keranda itu bagi kami terlihat seperti malaekat pencabut nyawa yang kejam. Sungguh Gus. Walau kami tahu, wajah mereka juga tidak bisa menyembunyikan duka.

Hari ini, dihaulmu yang kesepuluh, di saat banyak orang mulai lupa, aku coba membolak-balik lagi buku kehidupanmu. Bagiku buku itu selalu bertuliskan tinta emas. Bukan untuk apa apa. Hanya untuk mengingat-ingat kembali semua cerita tentang panjenengan. Terutama nasehat nasehatmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun