Bahasa adalah cermin perjalanan suatu bangsa. Setiap kata yang kita gunakan menyimpan kisah, entah tentang budaya, sejarah, maupun cara pandang masyarakat di masanya. Begitupula "Cempera"
Bahasa Indonesia merupakan hasil perkembangan panjang dari bahasa Melayu yang kaya akan kosakata, baik yang berasal dari tradisi lokal maupun hasil serapan bahasa asing seperti Sanskerta, Arab, Belanda, hingga Inggris. Dari ribuan kata tersebut, sebagian masih aktif digunakan, sedangkan sebagian lainnya tergolong arkais karena sudah jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Kata-kata arkais ini sering kali mengandung nilai sejarah dan budaya yang penting untuk dipahami. Salah satu di antaranya adalah kata “cempera”, sebuah istilah yang kini jarang digunakan, tetapi tetap memiliki makna yang signifikan dalam khazanah bahasa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cempera merupakan kata kerja yang berarti berhamburan atau bercerai-berai. Kata ini juga dapat digunakan dalam bentuk bercempera. Salah satu contoh kalimat yang tercantum dalam KBBI adalah: “penjudi-penjudi itu pun cempera karena ada polisi yang mendatanginya.” Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kata cempera dipakai untuk menggambarkan kondisi ketika sekelompok orang atau suatu benda terpisah secara tiba-tiba dan berpencar ke berbagai arah. Situasi ini biasanya terjadi akibat gangguan yang mendadak, rasa takut, atau suasana panik.
Dalam hal semantik, cempera memiliki sejumlah padanan makna dengan kosakata yang lebih umum digunakan pada masa kini, seperti bercerai-cerai, berhamburan, berpencaran, bubar, atau kocar-kacir. Kendati demikian, masing-masing istilah tersebut memiliki nuansa yang berbeda. Kata bubar misalnya, kerap dipakai untuk menggambarkan perpisahan yang relatif tenang dan teratur. Sebaliknya, kata kocar-kacir lebih menekankan pada kekacauan dan kepanikan. Sementara itu, cempera berada di antara keduanya, yakni mengandung makna bubarnya suatu kerumunan secara cepat, namun dengan nuansa klasik yang tidak lagi lazim dalam percakapan sehari-hari.
Seiring perkembangan bahasa, cempera kini digolongkan sebagai kata arkais karena penggunaannya semakin jarang ditemukan. Dalam percakapan maupun tulisan kontemporer, masyarakat lebih memilih kosakata yang lebih akrab di telinga seperti berhamburan atau tercerai-berai. Meski demikian, keberadaan kata ini tetap memiliki nilai penting karena merupakan bagian dari perjalanan bahasa Indonesia. Kosakata arkais pada dasarnya mencerminkan dinamika perkembangan bahasa sekaligus merekam cara berpikir dan gaya komunikasi masyarakat pada masa lampau.
Dari sisi etimologi, cempera diperkirakan berasal dari bahasa Melayu klasik. Bahasa Melayu pada masa lalu dikenal memiliki kosakata yang deskriptif dan konkret, yang sering digunakan untuk menggambarkan situasi sosial, peristiwa politik, maupun peperangan. Dalam berbagai naskah kuno dan karya sastra tradisional, kata-kata semacam ini berfungsi memperkuat gambaran narasi yang sedang dituturkan. Cempera, dalam konteks tersebut, kerap digunakan untuk melukiskan keadaan kacau atau tercerai-berai, misalnya ketika pasukan perang mundur karena kalah strategi atau masyarakat sipil berlarian menyelamatkan diri akibat datangnya serangan musuh. Dengan demikian, kata ini tidak hanya memiliki makna leksikal, tetapi juga menjadi bagian dari rekaman budaya dan sejarah masyarakat pada masa lampau.
Kata cempera memperlihatkan bahwa setiap kosakata dalam bahasa bukanlah sekadar simbol bunyi, melainkan juga representasi pengalaman kolektif. Pada masa lalu, keberadaan kerumunan atau perkumpulan merupakan hal yang sangat lazim, baik dalam konteks perdagangan, upacara adat, maupun peristiwa politik. Oleh karena itu, pecahnya kerumunan secara mendadak dianggap sebagai peristiwa penting yang memerlukan istilah khusus untuk menggambarkannya. Dalam hal inilah cempera menjadi relevan, karena mampu menyampaikan makna yang lebih spesifik dibandingkan istilah umum lainnya.
Kata cempera memperlihatkan bahwa setiap kosakata dalam bahasa bukanlah sekadar simbol bunyi, melainkan juga representasi pengalaman kolektif.
Dalam konteks modern, penggunaan kata cempera memang sudah sangat terbatas. Akan tetapi, kata ini masih memiliki potensi untuk dipertahankan, terutama dalam bidang sastra, puisi, atau tulisan yang mengadopsi gaya bahasa klasik ataupun tua. Selain itu, dalam kajian akademis seperti linguistik dan filologi, cempera dapat menjadi contoh menarik mengenai bagaimana sebuah kata bertahan, berubah makna, atau bahkan ditinggalkan oleh penutur bahasa. Dengan memahami kosakata arkais, kita tidak hanya mempelajari bahasa, tetapi juga merekonstruksi cara hidup dan pandangan dunia masyarakat yang menggunakannya.
Pelestarian kosakata arkais, termasuk kata cempera, penting dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga kekayaan bahasa Indonesia. Kata-kata semacam ini merupakan warisan budaya yang mencerminkan keindahan ekspresi serta kekayaan imajinasi bangsa. Kehadirannya dapat memperluas wawasan kosakata penutur bahasa Indonesia dan mengingatkan kita pada perjalanan panjang bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Walaupun mungkin tidak lagi relevan dalam komunikasi praktis, nilai historis dan estetikanya tetap patut diapresiasi.