Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tidak Ada yang Salah dengan Status Single Mom

9 April 2022   14:20 Diperbarui: 9 April 2022   19:55 5068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi single mom. Sumber: Pexels via Kompas.com

Banyak alasan mengapa seseorang menjadi seorang janda, ibu tunggal atau single mom. Ditinggal oleh pasangannya -karena kematian atau karena perceraian- atau memang  memilih untuk membesarkan anak-anak tanpa kehadiran suami (single mom by choice). Untuk yang terakhir ini, biasanya anak yang dibesarkan adalah anak yang diadopsi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga tahun 2015,  jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi orangtua tunggal lebih  tinggi dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang menjadi orangtua tunggal. Secara statistik disebutkan bahwa 12.04%  perempuan menjadi ibu tunggal atau janda sedangkan jumlah laki-laki yang menjadi ayah tunggal atau duda adalah 3.60 %.

Mengapa memilih bertahan dengan status single mom?

Bisa jadi, proporsi jumlah perempuan yang menyandang status janda lebih tinggi dibandingkan dengan status duda karena banyak alasan. Beberapa kelompok memilih untuk tetap tidak menikah lagi karena faktor usia. Budaya ketimuran seolah membatasi gerak ruang mereka. 

Dalam tananan norma dan etika masyarakat kita, perempuan yang sudah tua hanya layak untuk laki-laki yang usianya juga telah matang. Kalau berhubungan dengan pria yang lebih muda usianya dianggap hal yang sangat tidak pantas, memalukan, dan menjadi pergunjingan di sana-sini.

Berbeda dengan kelompok duda yang dianggap sah-sah saja ketika menikahi perempuan dengan beda usia yang begitu besar. Atau ketika mereka memilih untuk tetap menduda, tidak ada komentar  miring tentang itu. 

Kelompok lain yang tetap bertahan memilih hidup sendiri hingga akhir hidupnya karena alasan tidak ingin menyakiti perasaan anak-anaknya. Sudah cukup mereka menderita karena kehilangan sosok ayah dalam hidup mereka, kalau harus ditambah dengan menghadirkan orang lain dalam hidup tentu akan lebih melukai perasaan mereka. 

Bagi perempuan yang pernah mengalami perlakuan yang tidak adil, tidak menyenangkan, atau kekerasan dalam rumah tangga, trauma yang diakibatkan hal tersebut menjadi alasan mengapa mereka memilih untuk hidup menjanda.

Tantangan terbesar berasal dari lingkungan terdekat

Tidak ada seorang perempuan pun dalam hidupnya ingin menyandang status single mom. Kalau boleh memilih, mereka akan memilih menjadi pasangan seseorang.  Tidak yang ingin ditinggal mati oleh pasangannya, tidak ada pula yang ingin dicerai hidup. 

Lalu, apa yang salah dengan status baru tersebut? Memilih, atau terpaksa menjadi seorang single mom bagi beberapa kelompok perempuan bukanlah perkara mudah. Sangatlah tidak adil bagi perempuan yang menyandang status single mom, kemudian mendapatkan perlakuan yang mendadak 'istimewa'.

Ilustrasi seorang single mom (Sumber : Pexels.com)
Ilustrasi seorang single mom (Sumber : Pexels.com)

Entah kenapa, ketika sesuatu hal dikaitkan dengan single mom, reaksi yang ditimbulkan akan berkali-kali lipat bila   dibandingkan dengan single dad.  Seolah memiliki magnet tersendiri, menarik untuk dipergunjingkan. Semua gerak-gerik seakan diawasi kamera CCTV  24 jam. Semua mata tertuju padanya, bersiap-siap untuk 'diterkam' kapan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun