Mohon tunggu...
Ragu Theodolfi
Ragu Theodolfi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat seni, pencinta keindahan

Happiness never decreases by being shared

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendobrak Adat di Sumba, Menuju Hidup Sehat

10 Juni 2021   14:49 Diperbarui: 8 Maret 2023   16:25 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita sukses ini tidak terlepas dari peran seorang camat di dalamnya. Katala Hamu Lingu, masyarakat setempat menyebutnya Kahali, adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, NTT. 

Camat Kahali, Bapak Thomas Rihi adalah seorang camat yang visioner menurut Saya. Keberanian Camat untuk 'memangkas' adat istiadat yang telah berlaku turun temurun di Sumba bukanlah perkara yang mudah.  

Pasalnya, Pulau Sumba telah dikenal dengan  aturan-aturan adat yang  sangat solid dan dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan adat yang dibuat. Menurut beliau, acara adat yang ada, terutama pada saat kematian, butuh waktu berhari-hari dan butuh biaya yang sangat besar. 

Setiap keluarga,  paling tidak harus menyediakan dana  tambahan untuk pengurusan adat yang ada, tentunya ini memberatkan bagi sebagian kelompok masyarakat. Karenanya, Camat Kahali 'memberlakukan' aturan pemangkasan lama pengurusan adat di wilayahnya. Ternyata hal ini berimbas pada kondisi ekonomi masyarakat yang perlahan terbantu dengan aturan ini.

"Orang Sumba kalau yang namanya adat itu sangat lama bisa sampai 12 hari, dan itu butuh biaya yang sangat besar, harus potong hewan kerbau, kuda, babi.  Jadi Saya pikir bagaimana caranya supaya adat yang panjang itu bisa jadi pendek dan tidak makan biaya banyak. Wah, jadi Saya pikir bagaimana caranya supaya uang yang dipakai masyarakat untuk adat lebih baik dipangkas dan simpan untuk anak sekolah.

Karena masyarakat di sini lebih utamakan adat daripada anak sekolah. Jadi Saya mulai putar otak bagaimana caranya supaya adat itu jadi lebih ringkas. Jadi Saya buat adat kematian yang biasanya 12 hari Saya potong jadi 6 hari saja.  

Lalu Saya panggil ketua masing-masing klan, di sini ada 49 klan. Saya sampaikan kepada ketua klan dan pertama mereka kaget tapi akhirnya lama-lama mereka bisa terima....."

 Cakupan sumpah adat meliputi perang melawan penyakit, perang melawan kemiskinan, dan perang melawan kekerasan. Perubahan perilaku kolektif, pembuatan Rumah Tunggu bagi ibu yang akan bersalin tercakup dalam semangat memerangi penyakit. 

Sementara salah satu bentuk perang melawan kemiskinan diwujudkan dalam penyesuaian adat kematian, yang di dalamnya mengatur tentang lama waktu anggota keluarga yang meninggal akan dimakamkan.  

Awalnya, orang yang telah meninggal akan dimakamkan setelah 12 malam disemayamkan di rumah, dipangkas menjadi enam malam saja;  pemakaman harus dilakukan dalam waktu enam malam setelah meninggal. 

Penyimpangan dari ketentuan ini akan dikenakan sanksi adat. Dari pemangkasan jumlah hari sebelum pemakaman yang semula berlangsung 12 hari, masyarakat dapat menghemat sejumlah besar pengeluarannya dan dapat disimpan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. 

Perubahan perilaku BABS secara kolektif dapat diwujudkan berkat keberanian Camat untuk melakukan beberapa penyesuaian terhadap adat sehingga para tokoh adat bersedia memfasilitasi sumpah adat. 

Di tingkat rumah tangga, Camat menggugah masyarakat untuk berubah dengan menggunakan pesan "sayangi pantat istri" sebagai pintu masuk untuk memicu perubahan perilaku. 

Eitss, jangan berprasangka buruk dulu. Slogan ini digunakan oleh Camat karena wanita menjadi  lambang kehormatan, kesuksesan dan harga diri bagi laki-laki Sumba.

"Supaya masyarakat tidak 'taiwewar' -- itu taiwewar kalau dalam bahasa Sumba itu artinya kasar...buang air sembarangan _ maka Saya pakai istri atau perempuan supaya pesan bisa sampai.

 Jadi Saya bilang 'sayangi pantat istri'... Kenapa istri? Istri atau perempuan bagi orang Sumba itu sangat tinggi kedudukannya karena menjadi lambang kehormatan dan harga diri laki-laki. Saya bilang kamu mau istri dilihat orang lain?  Nah kalau tidak mau maka buat WC supaya orang tidak lihat.."

Slogan ini ternyata menggugah harga diri laki-laki yang ada di wilayahnya, sehingga Kahali  berhasil mendeklarasikan wilayahnya sebagai kecamatan ODF (open defecation free/ bebas dari buang air besar sembarangan) meskipun wilayah tersebut adalah wilayah yang mengalami kekurangan air bersih! 

Kahali berani membuktikan dirinya bahwa krisis air bersih tidak menghalangi niat masyarakat setempat untuk dapat melakukan BAB di jamban. Jangan berharap bahwa jamban yang ada adalah jamban leher angsa seperti yang ada di kota, namun jamban yang ada di Kahali adalah jamban sederhana dengan tujuan agar masyarakat tidak buang air besar sembarangan. 

Jadi, dengan air yang terbatas, masyarakat dapat tetap menjaga kesehatan mereka dengan tidak BABS.

Kecamatan Kahali menjadikan sanitasi total berbasis msyarakat (STBM) sebagai program prioritas dan menjadikan Kepala Puskesmas setempat sebagai penanggungjawab tercapainya ODF.  

Menurut  Camat Kahali, pencapaian status ODF kecamatan didukung oleh tiga modal dasar yang dimiliki yaitu tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi, gerakan tokoh masyarakat dan tokoh agama yang semangat yang bertujuan untuk mendorong masyarakat meningkatkan hidup bersih dan sehat, serta sinergi yang baik antara kecamatan dan kabupaten.

Perjuangan membebaskan masyarakat dari prilaku buruk BABS, tidak berhenti di situ. Masyarakat yang terpicu, secara mandiri akan membangun jamban. 

Untuk benar-benar memastikan bahwa jamban telah dibangun dan digunakan oleh masyarakat, ada tim khusus yang disebut sebagai 'Tim Tusuk' untuk monitoring penggunaan jamban.

 'Tim Tusuk' bertugas mengunjungi rumah dan menusuk lubang jamban untuk membuktikan penggunaan jamban oleh warga. Tim Tusuk terdiri dari Kepala Puskesmas (Ketua), Komandan Posramil, Kepala sub-sektor di kecamatan, seksi Kesehatan dan Sosial.

Warga yang ditemukan tidak memiliki jamban atau tidak menggunakan jambannya dikenakan sanksi sosial berupa pemasangan bendera hitam bergambar tengkorak selama 30 hari. 

Bendera tetap terpasang selama 30 hari walaupun warga sudah membangun jamban atau menggunakannya sebelum jangka waktu sanksi berakhir. Selain di rumah warga, bendera yang sama juga dipasang di rumah ketua RT, kepala dusun, dan kepala desa yang bersangkutan.

tim-tusuk-60c1be80d541df7dae73f0d2.jpg
tim-tusuk-60c1be80d541df7dae73f0d2.jpg

Semangat Camat Kahali semoga dapat menggugah pemimpin wilayah lainnya untuk membebaskan masyarakat dari prilaku yang tidak sehat. 

Bila engkau tidak menyukai sesuatu, ubahlah itu. Namun bila engkau tidak dapat mengubah sesuatu yang tidak engkau sukai, ubahlah prilakumu

(Maya Angelou)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun